Pages

Friday, November 23, 2012

Vandalha Chapter 8



Saymen & Val:
Pangeran Kegelapan



Val dan seluruh prajurit Lyonne melakukan prosesi pemakaman besar kedua. Mereka telah kehilangan beberapa kesatria terbaik Vandalha termasuk Jesse, satu-satunya pria yang memiliki kemampuan untuk memimpin pasukan Lyonne dalam menghadapi gempuran-gempuran Stalker yang tiada henti. Meskipun Warchief secara mengesankan sanggup selamat dari kebrutalan Merrick, namun tubuhnya terluka parah dan tak mampu lagi bertarung. Kini hanya tinggal Val bersama Rosso yang harus memimpin segelintir pasukan tersebut mencapai Daratan Utama, ditambah Beedhes yang kondisinya masih belum stabil.
Ketika jasad Jesse akan dimasukkan ke dalam ruang mausoleum, tiba-tiba Beedhes merangsek ke depan barisan sembari membawa sebuah pedang besar.
“Dhart’, Jess’, suatu saat aku pasti akan menyusul kalian, tapi aku bersumpah hal itu takkan terjadi sebelum Lyonne kembali berjaya seperti dulu!”
Ia kemudian menancapkan pedang tersebut tepat di depan makam Jesse yang bersebelahan dengan makam Dhartu dan berteriak keras hingga menggema di langit kota yang kini semakin menghitam.
“Val, ijinkan aku memimpin pasukan kita. Kau fokuskan saja dirimu dengan nasib warga di Deadly Burrow.”
“Tidak. Aku sudah berjanji dengan Franc dan Jesse. Kalian semua akan tetap selamat sampai ke Daratan Utama. Jika kita harus menghancurkan kota ini agar kita bisa tetap hidup, hancurkan saja! Aku tidak peduli dengan peninggalan peradaban masa lalu atau semacamnya.”
“Tidak. Peradaban masa lalu itu tidak boleh hancur,” tiba-tiba seseorang muncul dari belakang Beedhes.
“Saymen? Dari mana kau datang? Kenapa kau bisa tiba-tiba ada di sini?” tanya Val kebingungan.
“Kau belum bisa pergi dari sini. Kita harus menyelamatkan Sephia sekarang juga.”
“Sephia? Apa yang terjadi dengannya? Di mana dia sekarang?”
“Dia ada di duniamu yang sebenarnya. Kau juga harus mengirim seseorang untuk membawa wargamu yang sudah akan mengungsi kembali.”
Jawaban Saymen membuat Val semakin kebingungan. Val mencoba memutar otak untuk memahami kalimat tersebut kata per kata, namun ia gagal untuk menterjemahkan informasi membingungkan tersebut ke dalam otaknya.
“Maaf, Saymen. Tapi sepertinya tak ada seorangpun di sini yang sanggup memahami maksudmu. Duniaku yang sebenarnya? Lalu kita sedang berada di mana? Dunia khayalan?”
“Kurang lebih begitu. Tak ada waktu untuk menjelaskan, tapi kau harus menemuiku bersama seluruh wargamu di lapangan tengah kota tidak kurang dari dua puluh empat jam lagi. Jika tidak, kalian akan terjebak selamanya di tempat ini.”
Val semakin tidak memahami maksud teman barunya itu. Membawa kembali seluruh warga ke tempat berbahaya ini hanya karena perkataan dari seseorang yang kemungkinan besar adalah orang gila? Yang benar saja, pikir Val.
“Aku tidak gila, kawan. Aku hanya berpikir jauh di atas kalian, sehingga kalian mungkin tak bisa memahaminya. Tapi percayalah, semua yang kukatakan itu benar adanya,” jawab Saymen seolah-olah mampu membaca pikiran Val.
“Percaya? Entahlah. Mungkin kau harus menunjukkan dulu beberapa bukti yang masuk akal agar kami mengerti.”
“Jam,” jawab Saymen, “periksalah jam kalian. Sudah berapa lama kalian berada di sini?”
Val dan sebagian prajurit pun memeriksa jam yang mereka bawa.
“Mati. Tepat pukul lima sore, beberapa saat setelah kemunculan Laercdan di alun-alun kota. Apa maksudnya?” tanya Val.
“Kalian terjebak di dalam sebuah dimensi buatan di mana waktu tidak berjalan. Perhatikan saja, bahkan cahaya matahari pun tidak menghasilkan bayangan di tempat ini. Tempat ini palsu, dan akan segera hancur,” terang Saymen.
“Ah...Kenapa tak ada seorangpun dari kita yang menyadarinya? Tapi mengapa semua hal ini terjadi pada kami?”
“Aku belum bisa menjelaskannya. Seseorang berkekuatan besar berniat membangkitkan sesuatu dari tempat ini, dan ia membutuhkan persembahan dalam jumlah besar, hanya itu yang bisa kuberitahukan kepada kalian,” terang Saymen.
“Jangan-jangan, persembahan itu adalah...”
“Ya. Jika dimensi ini lenyap, maka kalian akan terjebak di dalam kekosongan selamanya dan dianggap tidak pernah ada di tempat kalian yang sebenarnya. Persembahan inilah yang diinginkan oleh orang itu. Jadi, apakah kalian ingin keluar dari sini atau kalian lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan dan menjadi tumbal?”
“Terserah apa katamu saja, Saymen. Kuharap kau tidak berbohong kepadaku karena saat ini kau telah kami anggap salah satu pahlawan kota kami,” tegas Val.
“Aku memang bukan bagian dari kalian, tapi percayalah. Tugasku adalah menyelamatkan manusia dari kehancuran. Sekarang, ikuti seluruh instruksi yang akan kuberikan,” Saymen kemudian menghadap ke arah Beedhes, “kau yang bertubuh raksasa, sepertinya kau yang paling cocok untuk menjemput warga kalian yang sudah mengungsi. Segera pergi dan gunakan alasan apapun untuk membawa mereka kemari. Mengerti?”
“Hei, tunggu dulu. Bukankah lebih cepat jika seseorang pergi ke sana menggunakan kuda atau kereta besi? Lihatlah ukuranku baik-baik. Memangnya ada kuda yang ukurannya seimbang denganku?” sela Beedhes.
“Kau pernah menunggang kadal raksasa?” jawab Saymen tenang.
Beedhes sedikit mengernyitkan dahi. Ia memberi sebuah ekspresi wajah kepada Val yang seolah-olah berkata,
 “Orang ini gila ya?”

***

Beedhes masih sedikit mengumpat dalam hatinya sekaligus heran dengan pria berpakaian mengkilat yang tiba-tiba saja datang dan mengusulkan bahwa ia harus menjemput warga yang sudah terlanjur mengungsi dengan menunggangi Rag’karnak. Orang macam apa yang sanggup menjinakkan makhluk sebesar ini? Bahkan ia sempat-sempatnya menamai kadal ini Betsy!
“Apa kau kenal pria aneh itu, kapten? Kurasa aku belum pernah melihatnya sejak perang pertama melawan makhluk-makhluk jelek, maksudku, stalker,” tanya Beedhes kepada Rosso yang juga ikut bersamanya.
“Entalah. Tapi menurutku gayanya mirip dengan orang-orang Persatuan Penyihir dari Slopherm. Atau mungkin saja dia berasal dari ‘daerah tanpa nama’.”
“Daerah tanpa nama ya? Hm, aku juga sepintas memikirkan kemungkinan itu. Banyak yang bilang kalau tempat itu merupakan gerbang neraka yang penuh makhluk menyeramkan, tapi bagiku tempat itu cuma padang tundra yang luar biasa luas. Tapi bukankah tempat itu tidak dihuni oleh bangsa manapun? Untuk mendekat ke pantainya saja butuh perjuangan keras. Orang itu terlalu misterius. ”
“Ah, sudahlah. Yang penting kita jalankan dulu tugas ini. Ngomong-ngomong, apa ini jalan yang benar menuju Deadly Burrow?” sela Rosso.
“Sepertinya begitu. Tapi...”
Rag’karnak mereka terhenti oleh sebuah lubang besar yang menghalangi jalan. Beedhes kemudian turun dan memeriksa lubang tersebut. Ia melempar sebongkah batu seukuran telapak tangan ke dalamnya untuk mengetahui seberapa dalam lubang tesebut, namun setelah beberapa lama tidak terdengar apapun.
“Lupakan saja lubang ini, masih ada hal yang lebih penting yang harus kita lakukan.”
Belum sempat mereka beranjak dari tempat mereka berdiri, terdengar suara seseorang dari dalam lubang.
“Hei, apa di sana ada orang?! Apa kau yang melempar batu ini?!” Teriak orang tersebut.
“Ah, ya. Maafkan aku,” jawab Beedhes, “Ngomong-ngomong sedang apa kau di bawah sana?”
“Hei, pertanyaan macam apa itu? Kalau dia ada di bawah dan bertanya seperti itu pada kita, itu artinya dia sedang terjebak di dalam, bodoh!”
Rosso menepuk kepala Beedhes dengan keras namun segera menyesalinya karena ternyata kepala raksasa itu ditambal dengan lempeng besi setebal dua senti.
“Sial, kau ini manusia atau bukan sih?” keluh Rosso.
“Bukan, aku raksasa suku laut,” jawab Beedhes polos.
“Jangan jawab pertanyaanku!” Rosso secara tidak sengaja kembali menepuk kepala lapis besi tersebut karena kesal.
“Hei, kau yang di bawah, apa kau butuh bantuan?” tanya Beedhes.
“Ya, kalau kalian berkenan. Aku akan sangat berterima kasih jika kalian mau membantuku.”
“Tapi bagaimana caranya mengeluarkanmu dari situ? Tidak ada tali atau benda lain di sekitar sini yang bisa kugunakan untuk...”
“Ah, tidak perlu. Berikan saja aku lempengan besi atau kayu,” jawab suara tersebut.
“Aku tidak mengerti, tapi baiklah, kebetulan aku membawa tameng,” jawab Beedhes sedikit kebingungan. Ia pun melempar sebuah tameng ke dalam lubang tersebut.
Tak lama setelah itu, terdengar suara seperti angin yang berhembus dari dalam lubang. Suara itu semakin mendekat hingga terlihat seorang pria muncul dengan sangat mengejutkan.
“Hei, Rosso! Hei! Hei!!” panggil Beedhes, namun Rosso masih sibuk memegangi tangannya yang lebam.
“Apa sih?! Kau ini lama-lama menyebalkan ya? Lihat, tanganku bengkak karena kepalamu yang...” Rosso menghentikan ucapannya. Wajahnya nampak takjub seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Sang pria melayang di atas tameng yang dilempar oleh Beedhes barusan. Penampilan pria itu terlihat sangat mencolok dengan jubah perak dan baju zirah putih mengkilat yang tetap terlihat mengesankan meski sudah compang-camping, seakan ia baru saja kembali dari sebuah pertarungan besar. Terdapat banyak luka di sekujur tubuhnya, namun ia masih berdiri tegak dan menatap Beedhes dan Rosso yang  terkesima melihat dirinya. Ia melayang maju dan mendarat dengan perlahan di pinggir lubang
“Terima kasih, tuan-tuan. Kalian telah menyelamatkanku. Entah apa jadinya kalau aku terjebak di lubang laknat itu lebih lama lagi.” Pria itu kemudian turun dari tameng dan berjalan menghampiri Beedhes dan Rosso.
“Dia berjalan di tanah! Syukurlah, ternyata dia bukan arwah  penunggu hutan,” komentar Beedhes.
“Ternyata hanya itu yang kau pikirkan, hah?” jawab Rosso kesal. Ia berniat menepuk kepala Beedhes lagi, namun batal ia lakukan.
“Dengar, kapten. Bahkan monyet terbodoh pun tidak akan mengulang kesalahan yang sama, tapi lihatlah dirimu,” ejek Beedhes sambil terkekeh.
 “Diam kau!” bentak Rosso, “Ng, tuan berjubah. Ngomong-ngomong bagaimana kau bisa terjebak di lubang itu?”
“Panggil saja aku Grey. Ceritanya panjang, tapi intinya aku baru saja dikalahkan oleh seseorang dan dibuang di tempat ini. Oh, ya. Apa kalian melihat seseorang berkekuatan besar di sekitar sini? Ia memiliki kekuatan mengendalikan angin, api dan semacamnya. ” jawab sang pria.
“Pria berkekuatan besar? Maksudmu Saymen? Dia ada di...” Beedhes tidak melanjutkan ucapannya karena Rosso tiba-tiba menginjak kaki sang raksasa.
“Dasar bodoh!” bisik Rosso, “Kau tidak dengar penjelasannya barusan? Dia baru saja dikalahkan seseorang!”
“Ya, memangnya kenapa? Dan kenapa kita harus bisik-bisik seperti ini?” jawab Beedhes.
“Apa bukan kebetulan kalau ternyata seseorang yang mengalahkannya itu Saymen lalu ia ingin membalas dendam? Mereka berdua sama-sama penyihir, bisa jadi dia itu orang jahat. Kita tidak mau ambil resiko kan? Ingat, nasib Lyonne bergantung pada Saymen! Apa jadinya kalau seseorang tiba-tiba membunuhnya, hah?” lanjut Rosso.
“Benar juga. Tapi aku sudah terlanjur menyebut namanya. Bagaimana ini?” ujar Beedhes cemas.
“Ah, kau memang benar-benar tidak dapat diharapkan. Biar aku saja yang bicara!”
“Hei, apa yang sedang kalian bicarakan? Tadi sepertinya kau menyebut nama Saymen kan?” tanya Grey.
“Ahahahah! Bukan apa-apa kok. Soal Saymen, kami memang pernah bertemu dengannya, tapi ia tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak. Sebenarnya memang tidak ada jejaknya karena...karena dia terbang! Hahaha!” Jawab Rosso sekenanya.
“Hm, begitu ya?” gumam Grey.
 “Ah, baiklah, lupakan saja pertanyaanku tadi. Sekarang, biarkan aku membalas kebaikan kalian. Tapi aku tidak tahu harus membalas dengan apa. Aku bahkan tak punya uang sepeserpun.”
Rosso memandangi tameng Beedhes yang tergeletak di tanah dan tiba-tiba ia tersenyum seolah mendapat sebuah ide bagus.
“Sepertinya aku tahu bagaimana caramu membalas budi, tuan berjubah.”


***

0 komentar: