Saymen & Val:
Pangeran Kegelapan
Val dan seluruh prajurit Lyonne melakukan prosesi
pemakaman besar kedua. Mereka telah kehilangan beberapa kesatria terbaik
Vandalha termasuk Jesse, satu-satunya pria yang memiliki kemampuan untuk
memimpin pasukan Lyonne dalam menghadapi gempuran-gempuran Stalker yang tiada
henti. Meskipun Warchief secara mengesankan sanggup selamat dari kebrutalan
Merrick, namun tubuhnya terluka parah dan tak mampu lagi bertarung. Kini hanya tinggal
Val bersama Rosso yang harus memimpin segelintir pasukan tersebut mencapai
Daratan Utama, ditambah Beedhes yang kondisinya masih belum stabil.
Ketika jasad Jesse akan dimasukkan ke dalam ruang mausoleum,
tiba-tiba Beedhes merangsek ke depan barisan sembari membawa sebuah pedang
besar.
“Dhart’, Jess’, suatu saat aku pasti akan menyusul
kalian, tapi aku bersumpah hal itu takkan terjadi sebelum Lyonne kembali berjaya
seperti dulu!”
Ia kemudian menancapkan pedang tersebut tepat di depan
makam Jesse yang bersebelahan dengan makam Dhartu dan berteriak keras hingga
menggema di langit kota yang kini semakin menghitam.
“Val, ijinkan aku memimpin pasukan kita. Kau fokuskan
saja dirimu dengan nasib warga di Deadly Burrow.”
“Tidak. Aku sudah berjanji dengan Franc dan Jesse. Kalian
semua akan tetap selamat sampai ke Daratan Utama. Jika kita harus menghancurkan
kota ini agar kita bisa tetap hidup, hancurkan saja! Aku tidak peduli dengan
peninggalan peradaban masa lalu atau semacamnya.”
“Tidak. Peradaban masa lalu itu tidak boleh hancur,”
tiba-tiba seseorang muncul dari belakang Beedhes.
“Saymen? Dari mana kau datang? Kenapa kau bisa tiba-tiba
ada di sini?” tanya Val kebingungan.
“Kau belum bisa pergi dari sini. Kita harus menyelamatkan
Sephia sekarang juga.”
“Sephia? Apa yang terjadi dengannya? Di mana dia
sekarang?”
“Dia ada di duniamu yang sebenarnya. Kau juga harus
mengirim seseorang untuk membawa wargamu yang sudah akan mengungsi kembali.”
Jawaban Saymen membuat Val semakin kebingungan. Val
mencoba memutar otak untuk memahami kalimat tersebut kata per kata, namun ia
gagal untuk menterjemahkan informasi membingungkan tersebut ke dalam otaknya.
“Maaf, Saymen. Tapi sepertinya tak ada seorangpun di sini
yang sanggup memahami maksudmu. Duniaku yang sebenarnya? Lalu kita sedang
berada di mana? Dunia khayalan?”
“Kurang lebih begitu. Tak ada waktu untuk menjelaskan,
tapi kau harus menemuiku bersama seluruh wargamu di lapangan tengah kota tidak
kurang dari dua puluh empat jam lagi. Jika tidak, kalian akan terjebak
selamanya di tempat ini.”
Val semakin tidak memahami maksud teman barunya itu.
Membawa kembali seluruh warga ke tempat berbahaya ini hanya karena perkataan
dari seseorang yang kemungkinan besar adalah orang gila? Yang benar saja, pikir
Val.
“Aku tidak gila, kawan. Aku hanya berpikir jauh di atas
kalian, sehingga kalian mungkin tak bisa memahaminya. Tapi percayalah, semua
yang kukatakan itu benar adanya,” jawab Saymen seolah-olah mampu membaca
pikiran Val.
“Percaya? Entahlah. Mungkin kau harus menunjukkan dulu
beberapa bukti yang masuk akal agar kami mengerti.”
“Jam,” jawab Saymen, “periksalah jam kalian. Sudah berapa
lama kalian berada di sini?”
Val dan sebagian prajurit pun memeriksa jam yang mereka
bawa.
“Mati. Tepat pukul lima sore, beberapa saat setelah kemunculan
Laercdan di alun-alun kota. Apa maksudnya?” tanya Val.
“Kalian terjebak di dalam sebuah dimensi buatan di mana
waktu tidak berjalan. Perhatikan saja, bahkan cahaya matahari pun tidak
menghasilkan bayangan di tempat ini. Tempat ini palsu, dan akan segera hancur,”
terang Saymen.
“Ah...Kenapa tak ada seorangpun dari kita yang
menyadarinya? Tapi mengapa semua hal ini terjadi pada kami?”
“Aku belum bisa menjelaskannya. Seseorang berkekuatan
besar berniat membangkitkan sesuatu dari tempat ini, dan ia membutuhkan
persembahan dalam jumlah besar, hanya itu yang bisa kuberitahukan kepada
kalian,” terang Saymen.
“Jangan-jangan, persembahan itu adalah...”
“Ya. Jika dimensi ini lenyap, maka kalian akan terjebak
di dalam kekosongan selamanya dan dianggap tidak pernah ada di tempat kalian
yang sebenarnya. Persembahan inilah yang diinginkan oleh orang itu. Jadi,
apakah kalian ingin keluar dari sini atau kalian lebih memilih untuk melanjutkan
perjalanan dan menjadi tumbal?”
“Terserah apa katamu saja, Saymen. Kuharap kau tidak
berbohong kepadaku karena saat ini kau telah kami anggap salah satu pahlawan
kota kami,” tegas Val.
“Aku memang bukan bagian dari kalian, tapi percayalah.
Tugasku adalah menyelamatkan manusia dari kehancuran. Sekarang, ikuti seluruh
instruksi yang akan kuberikan,” Saymen kemudian menghadap ke arah Beedhes, “kau
yang bertubuh raksasa, sepertinya kau yang paling cocok untuk menjemput warga
kalian yang sudah mengungsi. Segera pergi dan gunakan alasan apapun untuk
membawa mereka kemari. Mengerti?”
“Hei, tunggu dulu. Bukankah lebih cepat jika seseorang
pergi ke sana menggunakan kuda atau kereta besi? Lihatlah ukuranku baik-baik.
Memangnya ada kuda yang ukurannya seimbang denganku?” sela Beedhes.
“Kau pernah menunggang kadal raksasa?” jawab Saymen
tenang.
Beedhes sedikit mengernyitkan dahi. Ia memberi sebuah
ekspresi wajah kepada Val yang seolah-olah berkata,
“Orang ini gila
ya?”
***
Beedhes masih sedikit mengumpat dalam hatinya sekaligus
heran dengan pria berpakaian mengkilat yang tiba-tiba saja datang dan
mengusulkan bahwa ia harus menjemput warga yang sudah terlanjur mengungsi
dengan menunggangi Rag’karnak. Orang macam apa yang sanggup menjinakkan makhluk
sebesar ini? Bahkan ia sempat-sempatnya menamai kadal ini Betsy!
“Apa kau kenal pria aneh itu, kapten? Kurasa aku belum
pernah melihatnya sejak perang pertama melawan makhluk-makhluk jelek, maksudku,
stalker,” tanya Beedhes kepada Rosso yang juga ikut bersamanya.
“Entalah. Tapi menurutku gayanya mirip dengan orang-orang
Persatuan Penyihir dari Slopherm. Atau mungkin saja dia berasal dari ‘daerah
tanpa nama’.”
“Daerah tanpa nama ya? Hm, aku juga sepintas memikirkan
kemungkinan itu. Banyak yang bilang kalau tempat itu merupakan gerbang neraka
yang penuh makhluk menyeramkan, tapi bagiku tempat itu cuma padang tundra yang
luar biasa luas. Tapi bukankah tempat itu tidak dihuni oleh bangsa manapun?
Untuk mendekat ke pantainya saja butuh perjuangan keras. Orang itu terlalu misterius.
”
“Ah, sudahlah. Yang penting kita jalankan dulu tugas ini.
Ngomong-ngomong, apa ini jalan yang benar menuju Deadly Burrow?” sela Rosso.
“Sepertinya begitu. Tapi...”
Rag’karnak mereka terhenti oleh sebuah lubang besar yang
menghalangi jalan. Beedhes kemudian turun dan memeriksa lubang tersebut. Ia
melempar sebongkah batu seukuran telapak tangan ke dalamnya untuk mengetahui
seberapa dalam lubang tesebut, namun setelah beberapa lama tidak terdengar
apapun.
“Lupakan saja lubang ini, masih ada hal yang lebih
penting yang harus kita lakukan.”
Belum sempat mereka beranjak dari tempat mereka berdiri,
terdengar suara seseorang dari dalam lubang.
“Hei, apa di sana ada orang?! Apa kau yang melempar batu
ini?!” Teriak orang tersebut.
“Ah, ya. Maafkan aku,” jawab Beedhes, “Ngomong-ngomong
sedang apa kau di bawah sana?”
“Hei, pertanyaan macam apa itu? Kalau dia ada di bawah
dan bertanya seperti itu pada kita, itu artinya dia sedang terjebak di dalam,
bodoh!”
Rosso menepuk kepala Beedhes dengan keras namun segera
menyesalinya karena ternyata kepala raksasa itu ditambal dengan lempeng besi
setebal dua senti.
“Sial, kau ini manusia atau bukan sih?” keluh Rosso.
“Bukan, aku raksasa suku laut,” jawab Beedhes polos.
“Jangan jawab pertanyaanku!” Rosso secara tidak sengaja
kembali menepuk kepala lapis besi tersebut karena kesal.
“Hei, kau yang di bawah, apa kau butuh bantuan?” tanya
Beedhes.
“Ya, kalau kalian berkenan. Aku akan sangat berterima
kasih jika kalian mau membantuku.”
“Tapi bagaimana caranya mengeluarkanmu dari situ? Tidak
ada tali atau benda lain di sekitar sini yang bisa kugunakan untuk...”
“Ah, tidak perlu. Berikan saja aku lempengan besi atau kayu,”
jawab suara tersebut.
“Aku tidak mengerti, tapi baiklah, kebetulan aku membawa
tameng,” jawab Beedhes sedikit kebingungan. Ia pun melempar sebuah tameng ke
dalam lubang tersebut.
Tak lama setelah itu, terdengar suara seperti angin yang
berhembus dari dalam lubang. Suara itu semakin mendekat hingga terlihat seorang
pria muncul dengan sangat mengejutkan.
“Hei, Rosso! Hei! Hei!!” panggil Beedhes, namun Rosso
masih sibuk memegangi tangannya yang lebam.
“Apa sih?! Kau ini lama-lama menyebalkan ya? Lihat,
tanganku bengkak karena kepalamu yang...” Rosso menghentikan ucapannya.
Wajahnya nampak takjub seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Sang pria melayang di atas tameng yang dilempar oleh
Beedhes barusan. Penampilan pria itu terlihat sangat mencolok dengan jubah
perak dan baju zirah putih mengkilat yang tetap terlihat mengesankan meski
sudah compang-camping, seakan ia baru saja kembali dari sebuah pertarungan
besar. Terdapat banyak luka di sekujur tubuhnya, namun ia masih berdiri tegak
dan menatap Beedhes dan Rosso yang terkesima melihat dirinya. Ia melayang maju dan
mendarat dengan perlahan di pinggir lubang
“Terima kasih, tuan-tuan. Kalian telah menyelamatkanku.
Entah apa jadinya kalau aku terjebak di lubang laknat itu lebih lama lagi.”
Pria itu kemudian turun dari tameng dan berjalan menghampiri Beedhes dan Rosso.
“Dia berjalan di tanah! Syukurlah, ternyata dia bukan
arwah penunggu hutan,” komentar Beedhes.
“Ternyata hanya itu yang kau pikirkan, hah?” jawab Rosso
kesal. Ia berniat menepuk kepala Beedhes lagi, namun batal ia lakukan.
“Dengar, kapten. Bahkan monyet terbodoh pun tidak akan
mengulang kesalahan yang sama, tapi lihatlah dirimu,” ejek Beedhes sambil
terkekeh.
“Diam kau!” bentak
Rosso, “Ng, tuan berjubah. Ngomong-ngomong bagaimana kau bisa terjebak di
lubang itu?”
“Panggil saja aku Grey. Ceritanya panjang, tapi intinya
aku baru saja dikalahkan oleh seseorang dan dibuang di tempat ini. Oh, ya. Apa
kalian melihat seseorang berkekuatan besar di sekitar sini? Ia memiliki
kekuatan mengendalikan angin, api dan semacamnya. ” jawab sang pria.
“Pria berkekuatan besar? Maksudmu Saymen? Dia ada di...”
Beedhes tidak melanjutkan ucapannya karena Rosso tiba-tiba menginjak kaki sang
raksasa.
“Dasar bodoh!” bisik Rosso, “Kau tidak dengar
penjelasannya barusan? Dia baru saja dikalahkan seseorang!”
“Ya, memangnya kenapa? Dan kenapa kita harus bisik-bisik
seperti ini?” jawab Beedhes.
“Apa bukan kebetulan kalau ternyata seseorang yang
mengalahkannya itu Saymen lalu ia ingin membalas dendam? Mereka berdua
sama-sama penyihir, bisa jadi dia itu orang jahat. Kita tidak mau ambil resiko
kan? Ingat, nasib Lyonne bergantung pada Saymen! Apa jadinya kalau seseorang tiba-tiba
membunuhnya, hah?” lanjut Rosso.
“Benar juga. Tapi aku sudah terlanjur menyebut namanya.
Bagaimana ini?” ujar Beedhes cemas.
“Ah, kau memang benar-benar tidak dapat diharapkan. Biar
aku saja yang bicara!”
“Hei, apa yang sedang kalian bicarakan? Tadi sepertinya kau
menyebut nama Saymen kan?” tanya Grey.
“Ahahahah! Bukan apa-apa kok. Soal Saymen, kami memang pernah
bertemu dengannya, tapi ia tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak. Sebenarnya
memang tidak ada jejaknya karena...karena dia terbang! Hahaha!” Jawab Rosso
sekenanya.
“Hm, begitu ya?” gumam Grey.
“Ah, baiklah,
lupakan saja pertanyaanku tadi. Sekarang, biarkan aku membalas kebaikan kalian.
Tapi aku tidak tahu harus membalas dengan apa. Aku bahkan tak punya uang
sepeserpun.”
Rosso memandangi tameng Beedhes yang tergeletak di tanah
dan tiba-tiba ia tersenyum seolah mendapat sebuah ide bagus.
“Sepertinya aku tahu bagaimana caramu membalas budi, tuan
berjubah.”
***
0 komentar:
Post a Comment