Sephia & Fiona:
Kutukan
Waktu
Aku masih berjalan tanpa arah di padang rumput yang amat luas ini. Sial,
ternyata tempat ini tak lebih baik dari ruangan putih tempatku terkurung tadi.
Pikiranku semakin melayang ke atas langit hingga terhenti pada sebuah ketinggian
tertentu. Tempat seluruh pertanyaanku mengambang, mencari jawaban yang entah
berada di mana. Siapa diriku sebenarnya? Lalu nama-nama yang bercokol di otakku
ini, siapa sebenarnya mereka? Val? Franc? Jesse? Sephia? Apa benar itu namaku?
Lalu jika itu namaku, mengapa aku tak bisa mengingatnya sebagai namaku
sedikitpun? Lalu pria berwajah menyebalkan ini, siapa dia sebenarnya? Aku terus
memandangi padang
rumput hijau ini sembari bertanya, tanpa mengerti mengapa aku harus bertanya,
mengapa aku perlu mendapatkan jawaban atas semua itu. Pentingkah? Apa
pengaruhnya untukku saat ini? Untuk kekosongan yang tengah kurasakan ini?
Mungkin saja memang di sinilah seharusnya aku berada. Benarkah? Jika tidak,
mengapa aku tak tahu di mana aku seharusnya berada? Padang rumput ini juga selalu hijau setiap saat aku memandanginya. Kecuali
wanita berpakaian perak yang nampak dari kejauhan itu, tak ada lagi siapapun di
sini. Tunggu dulu, wanita berpakaian perak? Ternyata ada orang lain selain diriku
di sini!
“Yang Mu…maksudku Sephia,“ wanita berambut biru itu memanggil
salah satu nama yang beterbangan di otakku.
“Kau memanggilku?“ tanyaku.
“Ya. Itu namamu, bukan?“ jawab wanita itu.
“Jika itu namaku, kenapa aku tak bisa mengetahuinya? Aku
bisa mengingat nama itu, tapi aku tak tahu alasan kenapa aku harus mengingatnya.
Pentingkah nama itu untukku?“ tanyaku.
“Ah, sial. Ternyata Red sudah menemukanmu lebih dulu, ya?
Maafkan aku, Sephia. Aku terlambat menyadari sinyal bahaya dari Saymen.“
“Saymen? Satu nama lagi untuk kuingat, tanpa sedikitpun
alasan untuk mengingatnya. Ada apa dengan dunia ini, hah? Kenapa kau datang
mengganggu ketenanganku?!“ aku berubah histeris. Entahlah, perasaan yang
merasuk ketika aku mendengar nama itu sungguh terasa tak nyaman.
“Seph, mungkin sebaiknya kita harus keluar dari tempat
ini lebih dulu, sebelum pikiranmu benar-benar dihancurkan oleh efek dari Time Void,“ ujar wanita itu seraya
menarik lenganku.
“Keluar? Adakah tempat lain
selain tempat ini di luar sana?
Bukankah semua tempat itu sama? Kosong dan tak
berarti untukku?“ belum sempat kudengar kata lain keluar dari mulutnya, sebuah
pusaran aneh berwarna putih muncul di hadapanku dan mulai menyelimuti tubuhku.
Lagi-lagi sebuah perasaan aneh yang belum pernah kurasakan
sebelumnya. Namun
suara-suara di kepalaku menyebutkan suatu kata yang tak bisa kupahami artinya.
Ketakutan? Apa itu? Mengapa aku harus menghilangkan rasa takutku? Ah, lagi-lagi
suara itu menghilang sebelum aku mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Pusaran itu pun menelan tubuhku dan kurang dari sedetik
kemudian segalanya mulai berubah. Padang rumput tempatku berdiri berubah
menjadi…ah, entahlah, aku tak tahu tempat apa ini.
“Ini adalah proyeksi masa lalumu, Seph. Setidaknya, ini
adalah masa lalu yang perlu kau ketahui untuk saat ini,“ suara wanita itu
terdengar di kepalaku, tapi aku tak dapat melihat wajahnya di manapun. “Jangan
panik, kau sekarang sedang melihat rekaman masa lalumu, jadi aku tak mungkin
bisa terlihat di situ, bukan? Nikmati
saja seakan-akan ini adalah sebuah film. Dan semoga setelah ini ingatanmu dapat
pulih kembali.“
“Baiklah. Tapi sebelumnya ada beberapa pertanyaan lagi
yang ingin kusampaikan padamu. Pertama, siapa namamu? Kau tiba-tiba saja datang
dan melakukan semua ini, tapi kau belum menjelaskan alasannya dan yang kedua,
bagaimana kau bisa tahu namaku? Bagaimana kau bisa mengenalku, padahal segala
informasi apapun tentang dirimu tak pernah terlintas di otakku. Intinya adalah,
siapa sebenarnya kau?“ tanyaku panjang lebar.
Wanita itu mendesah seakan ia sedang tersenyum, “Hmm,
untuk ukuran manusia yang sedang kehilangan ingatannya, ternyata kau cukup
kritis juga. Namaku Laurell, penjelasan dari pertanyaan-pertanyaanmu yang lain
akan terjawab melalui proyeksi ini. Jangan khawatir, intinya aku adalah orang
baik. Itu saja,“ jawabnya.
“Baiklah, itu jawaban yang cukup meyakinkan. Jadi, darimana aku harus mulai?“ tanyaku. Tak ada
jawaban, namun tiba-tiba terdengar suara manusia di sekitarku, bising dan
terasa panas. Ah, sebuah tempat yang ramai dan banyak orang berlalu lalang. Sebuah kata tiba-tiba menyeruak di otakku. Pasar. Apakah
ini tempat di mana semua orang saling bertemu?
Tempat ini sungguh menarik. Orang-orang
nampak
bercakap-cakap dan saling menukarkan barang. Kertas dan besi-besi keemasan
kecil itu bisa ditukar dengan sekarung makanan? Sungguh pertukaran yang aneh.
Tanpa kusadari, ada seorang gadis kecil yang berdiri tepat di
hadapanku. Ia terus memandangiku hingga seorang wanita datang dan
menghardiknya.
“Sephia! Ke mana saja kau? Jangan membuat ibu khawatir!“ bentak
wanita itu. Meskipun suaranya tinggi dan
kasar, namun aku dapat merasakan kehangatan dari tatapan matanya.
“Tapi, ibu, ada wanita aneh yang berdiri di sana,“ ia
menunjuk ke arahku. Apa mungkin yang dia maksud benar-benar aku?
“Jangan terlalu banyak melamun, cepat bawakan bungkusan
ini untuk pak Rheinberg! Kalau sudah selesai, pergilah bermain bersama
teman-temanmu dan jangan pergi sendirian seperti itu lagi! Berbahaya!“ perintah
wanita itu.
Gadis kecil itu berjalan sesuai perintah ibunya. Ia
sesekali menoleh ke arahku dengan penasaran. Apa ia benar-benar bisa melihatku?
Aneh.
Karena penasaran dengan kejadian barusan, aku mencoba
mengikuti gadis itu menuju sebuah gedung megah dengan banyak sekali
bentuk-bentuk menawan yang nampak seperti kayu yang berlubang atau sengaja
dilubangi oleh pembuatnya. Ukiran kayu. Frasa itu serta-merta muncul di
kepalaku. Apakah orang-orang suka menikmati keindahan seperti ini?
Perjalananku berlanjut menuju sebuah ruangan besar yang
terletak di tengah-tengah rumah. Di sisinya terdapat susunan kayu yang
bertumpuk menuju bagian atas ruangan. Tangga. Tapi di mana gadis kecil itu?
Belum lama aku berpikir, sebuah suara nyaring terdengar dari balik sebuah pintu
di ruangan bagian atas. Indah sekali, suara siapa gerangan? Akupun semakin
penasaran dan memasuki ruangan tersebut.
Di dalam ruangan terdapat sekumpulan benda-benda aneh
yang terbuat dari besi dan kayu dan salah satu diantaranya sedang dipegang oleh
seorang pria gemuk berkumis lebat. Gadis kecil tadi duduk dengan manis disebelahnya.
Pria gemuk tersebut terus menggesek benda yang ia pegang dengan semacam kayu
tipis sedangkan suara indah yang dikeluarkan benda tersebut terus mengalun.
“Ada apa, sep? Kau kelihatan cemas,“ tanya pria gemuk
tersebut.
“Ada kiriman dari ibu untuk paman,“ ia kemudian
menyerahkan bungkusan yang ia pegang kepada pria itu.
“Hm, tumis Harleon,
masakan ikan bergigi aneh favoritku. Sampaikan terima kasihku padanya,“ ia lalu
mengelus kepala Sephia sementara gadis kecil itu kembali memperhatikanku. Yang benar saja, dia benar-benar bisa melihatku?
“Ada apa? Sepertinya masih ada sesuatu yang kau
sembunyikan,“ tanya pria itu lagi.
“Ng, aku ingin mengatakannya, tapi mungkin paman juga
takkan percaya,“ jawab Sephia.
“Katakan saja padaku, apapun yang kau katakan aku akan
percaya kok,“ bujuk pria itu.
“Ada seorang wanita di pojok ruangan yang sedang
memperhatikan kita, tapi tak seorangpun yang melihatnya. Bahkan ibu pun tak mau
percaya,“ jawaban gadis itu kontan mengejutkanku. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Kau tidak sedang berkhayal kan, seph?“ pria gemuk itu
nampak cemas. Ia berusaha menyembunyikan raut wajahnya dari gadis kecil itu.
Tapi tentu saja karena ia tidak bisa ‘melihatku’, aku jadi leluasa
memperhatikan setiap gerak-geriknya yang semakin mencurigakan.
Pria itu kemudian membuka sebuah kotak besar di sudut ruangan
dan mengambil sebuah benda kecil bewarna keemasan di dalamnya. Ia lalu kembali mengelus
kepala Sephia.
“Kau pergi main saja dengan teman-temanmu, ya? Paman ada
urusan mendadak.“
Gadis itu kemudian berjalan keluar dengan ragu. Sementara
itu, si pria gemuk mengangkat benda kuning aneh tersebut dan mulai berbicara seakan
ada orang yang mendengarkannya menggunakan benda tersebut. Bahasa yang ia
ucapkan terdengar seperti komat-kamit tidak jelas di telingaku. Setelah selesai
berbicara, ia meletakkan benda itu lagi dan berdiri dengan cemas di depan
pintu, seakan ia sedang menanti seseorang.
“Ia sudah berkembang terlalu jauh, Rheinberg,“ seorang
pria berambut hijau tiba-tiba muncul di hadapan si pria gemuk dan membuatnya
terperanjat. Entahlah, bahkan aku sendiri tidak menyadari kehadirannya.
Lagipula, dari mana ia masuk jika pintunya tidak terbuka? Aneh.
“Saymen,“ Rheinberg menggerutu. “Kau selalu muncul dan hampir
membunuhku! Apa di tempatmu tidak ada
benda yang bernama pintu, hah?!“
“Maaf mengagetkanmu, pak tua. Masalah yang kau sampaikan
tadi terlalu membuatku terburu-buru sampai-sampai aku lupa mengetuk pintu,“
jawab Saymen tenang.
“Ya sudah. Di mana Fiona?“
“Sebentar lagi dia datang. Tenang saja, dia sudah
kuingatkan agar mengetuk pintu dulu.“
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu.
Rheinberg pun beranjak dari tempatnya dan berniat membuka pintu.
“Tidak usah. Aku bisa masuk sendiri,“ sela seorang wanita
langsing berambut putih yang tiba-tiba berdiri di samping Saymen. Wajahnya
benar-benar mirip dengan ibu dari gadis kecil tadi.
“Sialan. Memangnya bangsa kalian tidak pernah belajar
cara menggunakan pintu? Bukannya kau dulu juga manusia, hah?“ umpat Rheinberg
lagi.
“Tidak. Kami tidak pernah mempelajari teknik kuno seperti
itu lagi.“ jawab wanita bernama Fiona tersebut.
“Nah, karena kau sudah di sini, sekarang katakan padaku
apa yang terjadi ‘dengannya’ dengan gamblang. Dengar ya, aku sudah bosan dengan
rahasia-rahasia tidak masuk akal kalian. Katakan saja bagaimana hal ini akan
berlanjut dan bagaimana cara mengakhirinya, itu saja.“ Rheinberg kemudian duduk
di sebuah benda berbulu yang memiliki sudut siku-siku di pojok ruangan. Sofa.
“Baiklah. Penjelasannya singkat saja. Dia adalah satu-satunya
keturunan yang tersisa dari keluarga
Frosthill yang telah bersumpah untuk merelakan diri sebagai penjara ‘sang ratu’
dan tentu saja meskipun kami sudah menyegel sebagian besar kekuatannya,
gejala-gejala aneh dan sedikit kebocoran masih mungkin terjadi. Tapi pada
dasarnya kau tidak perlu khawatir ia akan lepas kendali seperti waktu itu
karena…” Saymen tiba-tiba memegangi kepalanya.
“Ada apa?“ Tanya Rheinberg.
“Red.“ jawab Saymen. “Ia
mengirimkan sinyal-sinyal menyebalkan ini untuk menggangguku.“
“Red? Tidak mungkin. Dia sudah kukurung dengan ratusan
segel dimensi buatanku sendiri. Tanpa kekuatan yang setara dengan ‘sang ratu’,
ia takkan mungkin bisa menembus segel-segel itu.“ kilah Fiona.
“Setan keparat itu bisa lepas dari penjaranya? Sial,
kekuatan macam apa yang ia miliki selama ini?“ umpat Rheinberg.
“Red adalah pria yang terobsesi untuk menemukan sumber
kekuatan alam semesta, dengan kata lain mencari kekuatan Tuhan dan
menguasainya, yang mana hal itu takkan mungkin berhasil ia lakukan. Tapi ia
benar-benar menjadi duri yang sangat mengganggu bagi kami para penjelajah
waktu.“ terang Saymen.
“Sial! Andai saja aku tahu cara untuk membunuhnya…Aku
khawatir kalau suatu saat dia akan menemukan apa yang ia cari selama ini dan
menghancurkan kita semua,“ tambah Fiona.
Apa-apaan ini? Kata-kata mereka terasa familiar di telingaku,
tapi apa maksudnya semua ini? Siapa orang-orang berpakaian mengkilat itu?
Selama beberapa saat mereka terlibat percakapan serius, hingga si pria
berpakaian perak menghilang dalam sekejap mata diikuti temannya yang berjalan
menuju pintu, namun tiba-tiba juga menghilang sebelum pintu tersebut sempat
dibuka.
“Keparat. Percuma saja mereka kuberi kunci pintu
kantorku,” gerutu Rheinberg. “Asal jangan tiba-tiba muncul saat aku sedang di
WC saja sudah bagus.”
Rheinberg meraih sebuah bungkusan aneh yang tergeletak di
atas meja dan berjalan keluar. Aku mengikutinya berjalan dari
belakang hingga ia berhenti di depan gerbang gedung. Seorang pria berseragam
rapi kemudian menghampirinya.
“Anda ingin berjalan-jalan, pak?” sambut pria itu ramah.
“Tidak. Aku ada urusan dengan Trisha, maksudku Fiona.
Tolong kau jaga kantor ya? Oh, ya. Jangan lupa kau cari Franc dan suruh dia
pulang. Anak itu selalu saja merepotkanku. Terakhir dia bersembunyi di bawah
jembatan selatan, entah apa yang sedang dia kerjakan.”
“Baik, pak.” Pria berseragam tersebut kemudian bergegas menuju arah
selatan.
Aku masih mengikuti Rheinberg sampai ke sebuah gedung lain yang
nampak lebih kecil dan tidak terawat. Warna temboknya kusam dan banyak sekali
terdapat tulisan dan gambar-gambar aneh. Aku berusaha membaca salah satu
coretan di tembok tersebut. Ah, percuma. Aku bahkan tidak tahu huruf-huruf apa
saja yang ada di tulisan tersebut. Sepertinya aku benar-benar tidak ingat
apapun, setidaknya sebagian besar dari apa yang seharusnya bisa kuingat
menghilang begitu saja dari kepalaku.
Seorang wanita keluar dari dalam gedung beberapa saat setelah
Rheinberg mengetuk pintu. Ibu gadis kecil yang tadi. Aneh, suara mereka menjadi
semakin samar, padahal aku berdiri tepat di hadapan kedua orang tersebut. Sebuah
sensasi aneh muncul ketika pandanganku mulai meredup. Rasanya seperti seluruh
isi tubuhku tertarik keluar selama beberapa saat, kemudian sebuah hempasan kuat
membuatku berdiri kaku. Setelah itu, segalanya menjadi gelap. Apa yang terjadi?
“Maaf Seph, tapi proyeksi ini harus aku hentikan…Aaakh!” tiba2 terdengar suara Laurell entah dari mana
datangnya.
“Hahahahahaha, menarik juga. Jadi kau mau mencoba
membalikkan efek time void dengan cara
rendahan seperti ini?” terdengar suara seorang wanita lain.
“Cherry! Mau apa kau kemari?”
“Hmmm, ternyata kau menyuguhkan proyeksi yang cukup menarik
juga. Apa dia sudah sampai pada saat Fiona mati
terbunuh?”
“Hei! Apa maksudmu? Lagipula apa yang terjadi? Aku tidak
bisa melihat apa-apa!” aku berteriak histeris.
“Jangan berisik! Aku sedang ada urusan dengan kawanmu.
Kau diam saja, mengerti?”
Wanita itu seakan mendengus tepat di wajahku. Sesaat
kemudian, sebuah cahaya kemerahan berpendar dari kejauhan dan berjalan cepat
menuju ke arahku. Cahaya tersebut semakin mendekat seolah- olah menembus dan
membakar mataku. Rasanya sakit sekali. Sebuah sensasi ribuan jarum merambat di
bola mataku, seakan dalam tiap ujung jarum tersebut diselipkan api yang
membara. Aku terjatuh dan berguling-guling, atau setidaknya itulah yang kupikir
sedang kulakukan karena keadaan gelap gulita dan aku hampir tidak dapat
merasakan tubuhku selain rasa sakit ini.
“Ahahahahahahahah! Maaf, tadi itu aku cuma iseng. Nah,
sembari kau menunggu urusan kami selesai, bagaimana kalau kau nikmati saja
lanjutan dari proyeksimu yang tadi?”
Terdengar suara tangan dijentikkan dan cahaya merah yang
tadi menyambar kini semakin membesar. Cahaya itu kini menyelimuti tubuhku dan
berganti dengan cahaya putih yang menyilaukan. Sesaat kemudian segalanya
kembali seperti semula, tepat beberapa saat sebelum proyeksi tersebut terhenti.
***
“Ah, bukannya aku menakut-nakutimu. Tapi urusan ini agak
sedikit berbahaya. Kau paham, kan?
Aku hanya tak ingin kau terluka saja,” ujar Rheinberg dengan senyum yang
sedikit dipaksakan.
“Ya, aku paham, sih. Tapi dia masih anak-anak. Apa tidak
apa-apa nantinya? Lagipula wanita itu kan…”
“Semua itu sudah kami atur. Kami juga sudah menjamin
keselamatanmu apabila hal-hal buruk terjadi. Ritual semacam ini sudah jadi
tradisi turun temurun setiap dua ribu tahun sekali yang sangat penting demi
kelangsungan kota ini, tidak, bahkan benua ini. Tentu saja mau tidak mau kita
harus melaksanakannya.”
“Baiklah, aku mengerti, Rheinberg. Kau jaga dirimu
baik-baik ya,” wanita itu kemudian memeluk Rheinberg, mengecup keningnya dan
berjalan menuju kereta yang telah menunggu di dekat situ beberapa saat
sebelumnya.
“Sifat keibuan manusia memang sangat menarik.
Kadang-kadang aku merasa iri dengan kehidupan bangsamu yang saling melengkapi
satu sama lain,” Saymen tiba-tiba muncul entah dari mana.
Rheinberg nampak sedikit tercengang, namun kemudian
berusaha menetralkan kembali ekspresinya.
“Ah, aku benar-benar tidak paham dengan cara berpikir
kalian. Sampai matipun aku takkan pernah bisa mengerti cara berpikir
makhluk-makhluk yang lahir entah dari mana dan hidup sampai ribuan tahun.
Terkadang hal itu terdengar menakjubkan, namun juga terkadang membuatku iba.
Terlahir sebagai makhluk tanpa ibu, kemudian menjalani kehidupan yang nyaris
abadi tanpa tempat yang dapat disebut kampung halaman. Ironis sekali,”
“Memang begitulah cara kami hidup. Mungkin satu-satunya
orang yang masih mengetahui asal-usul kami hanyalah Red. Tapi pria itu terlalu
berbahaya untuk dibiarkan bebas. Biarlah teka-teki kehidupan kami tenggelam di
kegelapan bersama pria terkutuk itu. Aku tak peduli,” jawab Saymen.
“Mungkin karena kau telah menganggap dunia ini sebagai
rumahmu, sehingga kau rela mempertahankannya meskipun itu berarti kau
kehilangan petunjuk untuk menemukan arti hidupmu?”
“Entahlah. Hampir semua kawan-kawanku mati dalam
pertempuran melawan setan itu, sedangkan yang selamat jiwanya digerogoti oleh
kegelapan atau menyepi di suatu tempat, mencoba melarikan diri dari kenyataan
pahit bahwa kita telah ditakdirkan untuk musnah. Setelah pria itu menghancurkan
semua harapan kami, ya, hanya bumi inilah satu-satunya tempat yang bisa kusebut
rumah.”
“Hmmm, sepertinya aku semakin memahami kehidupan kalian. Maaf
kalau tadi kata-kataku sedikit lancang. Ngomong-ngomong, di mana Fiona?” tanya
Rheinberg.
“Aku sudah siap, pak tua. Kita mulai saja ritualnya atau bagaimana?” Fiona muncul namun tanpa pakaian
yang mencolok seperti Saymen, hanya blus sederhana bermotif bunga-bunga putih dan
rok hitam selutut. Penampilannya sangat mirip dengan wanita tadi, bahkan sekilas
tak terlihat perbedaannya sedikitpun.
Mereka kemudian masuk ke dalam sebuah bangunan sambil
memperhatikan sekitar dengan seksama. Aku benar-benar penasaran dengan
gerak-gerik mereka yang begitu mencurigakan. Di dalam tempat tersebut terdapat
sebuah benda panjang dan tipis yang disangga oleh empat batang kayu. Kasur. Di
atas benda tersebut terbaring anak aneh yang kutemui tadi. Apa yang terjadi?
“Aku sudah memerintahkan prajurit untuk menjaga tempat
ini. Tak ada yang dapat keluar-masuk tanpa sepengetahuanku dalam jarak dua puluh
meter. Nah, Fiona, sekarang silahkan lakukan apa yang harus kau lakukan.”
“Penjagaanmu itu sia-sia pak tua. Tapi terserahlah,
asalkan kau merasa tenang. Aku juga paham dengan perasaanmu.”
“Kalau kau paham dengan perasaanku, diam dan lakukan
pekerjaanmu,” jawab Rheinberg kesal.
Fiona kemudian memegangi kepala sang gadis, lalu
memejamkan matanya. Dalam sekejap, seluruh ruangan berubah putih dan muncul
hawa dingin yang kuat dari arah gadis tersebut. Mata sang gadis pun perlahan
terbuka.
“Fiona...Akhirnya
kita bertemu lagi. Masih merindukanku?” Suara sang gadis kecil berubah
parau dan menyeramkan.
“Diam kau. Jika kau tidak berulah seperti dua ribu tahun
lalu, aku akan melepas sedikit segel-segel penyiksa itu. Paham?”
“Hahahahah!
Memangnya Aku peduli? Sebentar lagi anak-anakku akan datang kemari dan
menyelamatkanku! Tinggal dua puluh tahun lagi dan akan kuhancurkan dunia kecilmu ini!”
“Tidak akan terjadi selama aku masih di sini, Magisa.”
“Hahahahahahah! Kau
payah juga. Apa kau belum menyadarinya hah? Sini biar kuberi tahu.
Bintang-bintang sumber kekuatanku sekarang sedang berkumpul, ditambah lagi,
wanita itu juga datang tepat pada waktunya! Anak-anakku memang cerdas!
Hahahahahah!” gadis itu menunjuk ke arahku. Apa-apaan ini?
Fiona memandangi pojok ruangan di mana aku berada.
Meskipun dia tidak dapat melihatku, tapi sepertinya ia paham dengan perkataan
sang gadis.
“Apa-apaan ini? Mereka melakukan proyeksi terlarang! Tapi
bagaimana bisa?”
“Sepertinya dua
puluh tahun lagi keadaan kalian tidak sebaik sekarang, Fiona. Akuilah saja,
cepat atau lambat kau akan mati dan akulah yang akan memimpin anak-anakku
menuju dunia abadi!”
“Dunia abadimu itu Cuma omong kosong! Kau takkan pernah
menemukan Ayah dengan cara seperti itu! Dasar jalang!”
“Oh,
kita lihat saja siapa yang jalang! Hahahahahah!”
Gadis tersebut kemudian menatapku. Sebuah sinar merah
memancar dari tubuhku dan seakan sinar tersebut terserap oleh sang gadis. Ia
lalu mengayunkan tangannya ke arah Fiona dan seketika wanita itu terhempas ke
tembok.
“Ugh! Dari mana kau bisa mendapatkan kekuatan sebesar
itu?”
Rheinberg yang sejak tadi terkesiap melihat kejadian
tersebut langsung bereaksi dan menghantam tubuh sang gadis kecil. Namun, belum
sempat pukulannya mendarat, ia terpental kuat hingga menembus tembok.
Para penjaga yang melihat kejadian tersebut segera
memenuhi ruangan. Namun tak lama setelah itu, sang gadis terkekeh sambil
mengayunkan tangannya ke udara.
Sebuah cahaya menyilaukan memenuhi ruangan dan tiba-tiba
ribuan jarum-jarum kecil beterbangan menembus tubuh para prajurit. Tak hanya
sampai di situ. Ia kemudian merapalkan sesuatu yang membuat jarum-jarum
tersebut memipih seperti pisau lalu menari-nari dan menimbulkan suara yang
mengiris telinga. Dalam sekejap, hanya tersisa onggokan besar daging, tulang
dan darah di lantai. Rasanya aku ingin muntah.
“Fiona, kau tidak apa-apa?” Saymen tiba-tiba muncul di
hadapan Fiona, “maaf aku terlambat menyadari kalau ada sesuatu yang terjadi di
sini. Maafkan aku.”
“Oh, Saymenku yang
tampan. Lama tidak bertemu, anakku, ah...bukan, ‘mantan anakku’ yang dulu
paling kusayangi. Lihatlah, sebentar lagi aku akan bebas dan melepaskanmu dari
cengkeraman wanita jalang itu,” sang gadis bersikap lemah lembut namun
dengan ekspresi yang terlalu dibuat-buat.
“Diam kau! Darimana kau bisa mendapat kekuatan seperti
itu, hah?!” bentak Saymen.
“Oh, kau tak perlu
tahu. Yang penting sekarang minggirlah. Aku ada urusan dengan nenek tua itu.”
Saymen kemudian mengeluarkan dua bilah pedang dari
telapak tangannya.
“Tidak. Akulah yang akan berurusan denganmu.”
Ia kemudian melesat ke arah sang gadis dan mengayunkan
kedua pedangnya. Namun sebuah cahaya putih menyilaukan kembali memancar dan
menyelimuti tubuh Saymen. Ia mengerang kesakitan seolah-olah tubuhnya ditikam
oleh ribuan pisau. Meskipun berada dalam keadaan seperti itu, ia berhasil
menancapkan salah satu pedangnya tepat di dada sang gadis. Cahaya itu pun
lenyap dan sang gadis kembali tergeletak tak berdaya.
“Maafkan aku, nak. Takdir memang kejam kepadamu. Tapi apa
boleh buat, harus ada satu orang yang menanggung semua beban ini. Selamat
tinggal,” Saymen kemudian mengangkat pedangnya dan bersiap memenggal kepala
sang gadis. Ah, aku tak sanggup melihatnya.
Tak disangka, pedang yang diayunkan ke arah leher gadis
itu malah patah dan hancur berantakan. Saymen berdiri terpaku seakan tak
percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Hahahahahahahah!
Sekarang kau mau apa? Membunuhku pun kau tak sanggup!" Gadis itu kembali bangkit dan kini ia berdiri di atas
ranjang dan perlahan melayang di udara. Dari tangannya muncul hembusan angin
yang amat kencang disertai serpihan-serpihan es tajam yang berkelebat ke segala
arah.
Dalam sekejap seluruh ruangan telah tertutup oleh salju
dan es yang berwarna merah karena tercampur dengan darah. Aku tak mengerti apa
yang terjadi karena badai barusan membuat segalanya kacau. Anehnya lagi, aku
sangat yakin kalau hembusan angin tadi benar-benar terasa sampai ke arahku,
sehingga aku harus memalingkan wajah.
Kini segalanya berubah hening. Saymen masih berdiri
dengan tubuh tertutup salju, sedangkan sang gadis telah terkapar di lantai.
Fiona, perempuan yang mirip dengan ibu sang gadis berdiri di hadapannya, dengan
tangan yang berlumuran darah dan wajahnya terlihat kosong tanpa ekspresi.
"Saymen," panggilnya.
"Maafkan aku Fiona. Aku memang lemah dan tidak
berguna," jawab Saymen.
"Jangan sedih anakku. Suatu saat kita pasti bisa
bertemu kembali."
Aku agak sedikit kurang memahami apa yang terjadi saat
ini, tapi secara samar-samar aku melihat sebuah asap berwarna kebiruan muncul
dari mulut Fiona dan merasuki tubuh sang gadis. Saymen, sang pria berambut
hijau yang sejak tadi terlihat kuat dan pemberani kini terisak. Entah apa yang
wanita itu lakukan, tapi Saymen nampak sangat terpukul. Beberapa detik
kemudian, Fiona jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Apakah dia mati?
Rheinberg tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan nafas
terengah-engah. Wajahnya penuh luka dan lengan kirinya nampak patah.
"Keparat! Jalang itu menghempasku dari lantai empat!
Untung saja aku tidak mati! Hei..." Rheinberg terdiam setelah ia melihat
apa yang terjadi.
"Fiona mengorbankan dirinya demi ritual ini,"
ujar Saymen.
"Sekarang aku tak punya siapapun untuk meyakinkanku
bahwa aku melakukan hal yang benar," sambungnya.
"Hei, Saymen. Aku turut berduka atas kehilanganmu.
Tapi kurasa ini adalah keputusan yang tepat. Seandainya Magisa kembali
merajalela di dunia ini, mungkin takkan ada yang tersisa lagi dari dunia ini
selain kepedihan tanpa akhir."
"Mungkin kau benar. Mungkin ini adalah pilihan
terbaik. Tapi seandainya aku bisa lebih kuat, seandainya aku bisa membunuh
Magisa, Fiona pasti takkan perlu melakukan hal ini. Kau tahu sendiri kan, yang
ia lakukan itu lebih buruk dari kematian."
Apa maksudnya? Aku tak paham.
0 komentar:
Post a Comment