Pages

Monday, November 19, 2012

Vandalha Chapter 6



Sephia & Fiona:
Kutukan Waktu

Aku masih berjalan tanpa arah di padang rumput yang amat luas ini. Sial, ternyata tempat ini tak lebih baik dari ruangan putih tempatku terkurung tadi. Pikiranku semakin melayang ke atas langit hingga terhenti pada sebuah ketinggian tertentu. Tempat seluruh pertanyaanku mengambang, mencari jawaban yang entah berada di mana. Siapa diriku sebenarnya? Lalu nama-nama yang bercokol di otakku ini, siapa sebenarnya mereka? Val? Franc? Jesse? Sephia? Apa benar itu namaku? Lalu jika itu namaku, mengapa aku tak bisa mengingatnya sebagai namaku sedikitpun? Lalu pria berwajah menyebalkan ini, siapa dia sebenarnya? Aku terus memandangi padang rumput hijau ini sembari bertanya, tanpa mengerti mengapa aku harus bertanya, mengapa aku perlu mendapatkan jawaban atas semua itu. Pentingkah? Apa pengaruhnya untukku saat ini? Untuk kekosongan yang tengah kurasakan ini? Mungkin saja memang di sinilah seharusnya aku berada. Benarkah? Jika tidak, mengapa aku tak tahu di mana aku seharusnya berada? Padang rumput ini juga selalu hijau setiap saat aku memandanginya. Kecuali wanita berpakaian perak yang nampak dari kejauhan itu, tak ada lagi siapapun di sini. Tunggu dulu, wanita berpakaian perak? Ternyata ada orang lain selain diriku di sini!
“Yang Mu…maksudku Sephia,“ wanita berambut biru itu memanggil salah satu nama yang beterbangan di otakku.
“Kau memanggilku?“ tanyaku.
“Ya. Itu namamu, bukan?“ jawab wanita itu.
“Jika itu namaku, kenapa aku tak bisa mengetahuinya? Aku bisa mengingat nama itu, tapi aku tak tahu alasan kenapa aku harus mengingatnya. Pentingkah nama itu untukku?“ tanyaku.
“Ah, sial. Ternyata Red sudah menemukanmu lebih dulu, ya? Maafkan aku, Sephia. Aku terlambat menyadari sinyal bahaya dari Saymen.“
“Saymen? Satu nama lagi untuk kuingat, tanpa sedikitpun alasan untuk mengingatnya. Ada apa dengan dunia ini, hah? Kenapa kau datang mengganggu ketenanganku?!“ aku berubah histeris. Entahlah, perasaan yang merasuk ketika aku mendengar nama itu sungguh terasa tak nyaman.
“Seph, mungkin sebaiknya kita harus keluar dari tempat ini lebih dulu, sebelum pikiranmu benar-benar dihancurkan oleh efek dari Time Void,“ ujar wanita itu seraya menarik lenganku.
“Keluar? Adakah tempat lain selain tempat ini di luar sana? Bukankah semua tempat itu sama? Kosong dan tak berarti untukku?“ belum sempat kudengar kata lain keluar dari mulutnya, sebuah pusaran aneh berwarna putih muncul di hadapanku dan mulai menyelimuti tubuhku.
Lagi-lagi sebuah perasaan aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Namun suara-suara di kepalaku menyebutkan suatu kata yang tak bisa kupahami artinya. Ketakutan? Apa itu? Mengapa aku harus menghilangkan rasa takutku? Ah, lagi-lagi suara itu menghilang sebelum aku mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Pusaran itu pun menelan tubuhku dan kurang dari sedetik kemudian segalanya mulai berubah. Padang rumput tempatku berdiri berubah menjadi…ah, entahlah, aku tak tahu tempat apa ini.
“Ini adalah proyeksi masa lalumu, Seph. Setidaknya, ini adalah masa lalu yang perlu kau ketahui untuk saat ini,“ suara wanita itu terdengar di kepalaku, tapi aku tak dapat melihat wajahnya di manapun. “Jangan panik, kau sekarang sedang melihat rekaman masa lalumu, jadi aku tak mungkin bisa terlihat di situ, bukan?  Nikmati saja seakan-akan ini adalah sebuah film. Dan semoga setelah ini ingatanmu dapat pulih kembali.“
“Baiklah. Tapi sebelumnya ada beberapa pertanyaan lagi yang ingin kusampaikan padamu. Pertama, siapa namamu? Kau tiba-tiba saja datang dan melakukan semua ini, tapi kau belum menjelaskan alasannya dan yang kedua, bagaimana kau bisa tahu namaku? Bagaimana kau bisa mengenalku, padahal segala informasi apapun tentang dirimu tak pernah terlintas di otakku. Intinya adalah, siapa sebenarnya kau?“ tanyaku panjang lebar.
Wanita itu mendesah seakan ia sedang tersenyum, “Hmm, untuk ukuran manusia yang sedang kehilangan ingatannya, ternyata kau cukup kritis juga. Namaku Laurell, penjelasan dari pertanyaan-pertanyaanmu yang lain akan terjawab melalui proyeksi ini. Jangan khawatir, intinya aku adalah orang baik. Itu saja,“ jawabnya.
“Baiklah, itu jawaban yang cukup meyakinkan. Jadi, darimana aku harus mulai?“ tanyaku. Tak ada jawaban, namun tiba-tiba terdengar suara manusia di sekitarku, bising dan terasa panas. Ah, sebuah tempat yang ramai dan banyak orang berlalu lalang. Sebuah kata tiba-tiba menyeruak di otakku. Pasar. Apakah ini tempat di mana semua orang saling bertemu?
Tempat ini sungguh menarik. Orang-orang nampak bercakap-cakap dan saling menukarkan barang. Kertas dan besi-besi keemasan kecil itu bisa ditukar dengan sekarung makanan? Sungguh pertukaran yang aneh.
Tanpa kusadari, ada seorang gadis kecil yang berdiri tepat di hadapanku. Ia terus memandangiku hingga seorang wanita datang dan menghardiknya.
“Sephia! Ke mana saja kau? Jangan membuat ibu khawatir!“ bentak wanita itu. Meskipun suaranya tinggi dan kasar, namun aku dapat merasakan kehangatan dari tatapan matanya.
“Tapi, ibu, ada wanita aneh yang berdiri di sana,“ ia menunjuk ke arahku. Apa mungkin yang dia maksud benar-benar aku?
“Jangan terlalu banyak melamun, cepat bawakan bungkusan ini untuk pak Rheinberg! Kalau sudah selesai, pergilah bermain bersama teman-temanmu dan jangan pergi sendirian seperti itu lagi! Berbahaya!“ perintah wanita itu.
Gadis kecil itu berjalan sesuai perintah ibunya. Ia sesekali menoleh ke arahku dengan penasaran. Apa ia benar-benar bisa melihatku? Aneh.
Karena penasaran dengan kejadian barusan, aku mencoba mengikuti gadis itu menuju sebuah gedung megah dengan banyak sekali bentuk-bentuk menawan yang nampak seperti kayu yang berlubang atau sengaja dilubangi oleh pembuatnya. Ukiran kayu. Frasa itu serta-merta muncul di kepalaku. Apakah orang-orang suka menikmati keindahan seperti ini?
Perjalananku berlanjut menuju sebuah ruangan besar yang terletak di tengah-tengah rumah. Di sisinya terdapat susunan kayu yang bertumpuk menuju bagian atas ruangan. Tangga. Tapi di mana gadis kecil itu? Belum lama aku berpikir, sebuah suara nyaring terdengar dari balik sebuah pintu di ruangan bagian atas. Indah sekali, suara siapa gerangan? Akupun semakin penasaran dan memasuki ruangan tersebut.
Di dalam ruangan terdapat sekumpulan benda-benda aneh yang terbuat dari besi dan kayu dan salah satu diantaranya sedang dipegang oleh seorang pria gemuk berkumis lebat. Gadis kecil tadi duduk dengan manis disebelahnya. Pria gemuk tersebut terus menggesek benda yang ia pegang dengan semacam kayu tipis sedangkan suara indah yang dikeluarkan benda tersebut terus mengalun.
“Ada apa, sep? Kau kelihatan cemas,“ tanya pria gemuk tersebut.
“Ada kiriman dari ibu untuk paman,“ ia kemudian menyerahkan bungkusan yang ia pegang kepada pria itu.
“Hm, tumis Harleon, masakan ikan bergigi aneh favoritku. Sampaikan terima kasihku padanya,“ ia lalu mengelus kepala Sephia sementara gadis kecil itu kembali memperhatikanku. Yang benar saja, dia benar-benar bisa melihatku?
“Ada apa? Sepertinya masih ada sesuatu yang kau sembunyikan,“  tanya pria itu lagi.
“Ng, aku ingin mengatakannya, tapi mungkin paman juga takkan percaya,“ jawab Sephia.
“Katakan saja padaku, apapun yang kau katakan aku akan percaya kok,“ bujuk pria itu.
“Ada seorang wanita di pojok ruangan yang sedang memperhatikan kita, tapi tak seorangpun yang melihatnya. Bahkan ibu pun tak mau percaya,“ jawaban gadis itu kontan mengejutkanku. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Kau tidak sedang berkhayal kan, seph?“ pria gemuk itu nampak cemas. Ia berusaha menyembunyikan raut wajahnya dari gadis kecil itu. Tapi tentu saja karena ia tidak bisa ‘melihatku’, aku jadi leluasa memperhatikan setiap gerak-geriknya yang semakin mencurigakan.
Pria itu kemudian membuka sebuah kotak besar di sudut ruangan dan mengambil sebuah benda kecil bewarna keemasan di dalamnya. Ia lalu kembali mengelus kepala Sephia.
“Kau pergi main saja dengan teman-temanmu, ya? Paman ada urusan mendadak.“
Gadis itu kemudian berjalan keluar dengan ragu. Sementara itu, si pria gemuk mengangkat benda kuning aneh tersebut dan mulai berbicara seakan ada orang yang mendengarkannya menggunakan benda tersebut. Bahasa yang ia ucapkan terdengar seperti komat-kamit tidak jelas di telingaku. Setelah selesai berbicara, ia meletakkan benda itu lagi dan berdiri dengan cemas di depan pintu, seakan ia sedang menanti seseorang.
“Ia sudah berkembang terlalu jauh, Rheinberg,“ seorang pria berambut hijau tiba-tiba muncul di hadapan si pria gemuk dan membuatnya terperanjat. Entahlah, bahkan aku sendiri tidak menyadari kehadirannya. Lagipula, dari mana ia masuk jika pintunya tidak terbuka? Aneh.
“Saymen,“ Rheinberg menggerutu. “Kau selalu muncul dan hampir membunuhku! Apa di tempatmu tidak ada benda yang bernama pintu, hah?!“
“Maaf mengagetkanmu, pak tua. Masalah yang kau sampaikan tadi terlalu membuatku terburu-buru sampai-sampai aku lupa mengetuk pintu,“ jawab Saymen tenang.
“Ya sudah. Di mana Fiona?“
“Sebentar lagi dia datang. Tenang saja, dia sudah kuingatkan agar mengetuk pintu dulu.“
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Rheinberg pun beranjak dari tempatnya dan berniat membuka pintu.
“Tidak usah. Aku bisa masuk sendiri,“ sela seorang wanita langsing berambut putih yang tiba-tiba berdiri di samping Saymen. Wajahnya benar-benar mirip dengan ibu dari gadis kecil tadi.
“Sialan. Memangnya bangsa kalian tidak pernah belajar cara menggunakan pintu? Bukannya kau dulu juga manusia, hah?“ umpat Rheinberg lagi.
“Tidak. Kami tidak pernah mempelajari teknik kuno seperti itu lagi.“ jawab wanita bernama Fiona tersebut.
“Nah, karena kau sudah di sini, sekarang katakan padaku apa yang terjadi ‘dengannya’ dengan gamblang. Dengar ya, aku sudah bosan dengan rahasia-rahasia tidak masuk akal kalian. Katakan saja bagaimana hal ini akan berlanjut dan bagaimana cara mengakhirinya, itu saja.“ Rheinberg kemudian duduk di sebuah benda berbulu yang memiliki sudut siku-siku di pojok ruangan. Sofa.
“Baiklah. Penjelasannya singkat saja. Dia adalah satu-satunya keturunan yang tersisa dari  keluarga Frosthill yang telah bersumpah untuk merelakan diri sebagai penjara ‘sang ratu’ dan tentu saja meskipun kami sudah menyegel sebagian besar kekuatannya, gejala-gejala aneh dan sedikit kebocoran masih mungkin terjadi. Tapi pada dasarnya kau tidak perlu khawatir ia akan lepas kendali seperti waktu itu karena…” Saymen tiba-tiba memegangi kepalanya.
“Ada apa?“ Tanya Rheinberg.
“Red.“ jawab Saymen. “Ia mengirimkan sinyal-sinyal menyebalkan ini untuk menggangguku.“
“Red? Tidak mungkin. Dia sudah kukurung dengan ratusan segel dimensi buatanku sendiri. Tanpa kekuatan yang setara dengan ‘sang ratu’, ia takkan mungkin bisa menembus segel-segel itu.“ kilah Fiona.
“Setan keparat itu bisa lepas dari penjaranya? Sial, kekuatan macam apa yang ia miliki selama ini?“ umpat Rheinberg.
“Red adalah pria yang terobsesi untuk menemukan sumber kekuatan alam semesta, dengan kata lain mencari kekuatan Tuhan dan menguasainya, yang mana hal itu takkan mungkin berhasil ia lakukan. Tapi ia benar-benar menjadi duri yang sangat mengganggu bagi kami para penjelajah waktu.“ terang Saymen.
“Sial! Andai saja aku tahu cara untuk membunuhnya…Aku khawatir kalau suatu saat dia akan menemukan apa yang ia cari selama ini dan menghancurkan kita semua,“ tambah Fiona.
Apa-apaan ini? Kata-kata mereka terasa familiar di telingaku, tapi apa maksudnya semua ini? Siapa orang-orang berpakaian mengkilat itu? Selama beberapa saat mereka terlibat percakapan serius, hingga si pria berpakaian perak menghilang dalam sekejap mata diikuti temannya yang berjalan menuju pintu, namun tiba-tiba juga menghilang sebelum pintu tersebut sempat dibuka.
“Keparat. Percuma saja mereka kuberi kunci pintu kantorku,” gerutu Rheinberg. “Asal jangan tiba-tiba muncul saat aku sedang di WC saja sudah bagus.”
Rheinberg meraih sebuah bungkusan aneh yang tergeletak di atas meja dan berjalan keluar. Aku mengikutinya berjalan dari belakang hingga ia berhenti di depan gerbang gedung. Seorang pria berseragam rapi kemudian menghampirinya.
“Anda ingin berjalan-jalan, pak?” sambut pria itu ramah.
“Tidak. Aku ada urusan dengan Trisha, maksudku Fiona. Tolong kau jaga kantor ya? Oh, ya. Jangan lupa kau cari Franc dan suruh dia pulang. Anak itu selalu saja merepotkanku. Terakhir dia bersembunyi di bawah jembatan selatan, entah apa yang sedang dia kerjakan.”
“Baik, pak.” Pria berseragam tersebut kemudian bergegas menuju arah selatan.
Aku masih mengikuti Rheinberg sampai ke sebuah gedung lain yang nampak lebih kecil dan tidak terawat. Warna temboknya kusam dan banyak sekali terdapat tulisan dan gambar-gambar aneh. Aku berusaha membaca salah satu coretan di tembok tersebut. Ah, percuma. Aku bahkan tidak tahu huruf-huruf apa saja yang ada di tulisan tersebut. Sepertinya aku benar-benar tidak ingat apapun, setidaknya sebagian besar dari apa yang seharusnya bisa kuingat menghilang begitu saja dari kepalaku.
Seorang wanita keluar dari dalam gedung beberapa saat setelah Rheinberg mengetuk pintu. Ibu gadis kecil yang tadi. Aneh, suara mereka menjadi semakin samar, padahal aku berdiri tepat di hadapan kedua orang tersebut. Sebuah sensasi aneh muncul ketika pandanganku mulai meredup. Rasanya seperti seluruh isi tubuhku tertarik keluar selama beberapa saat, kemudian sebuah hempasan kuat membuatku berdiri kaku. Setelah itu, segalanya menjadi gelap. Apa yang terjadi?
“Maaf Seph, tapi proyeksi ini harus aku hentikan…Aaakh!” tiba2 terdengar suara Laurell entah dari mana datangnya.
“Hahahahahaha, menarik juga. Jadi kau mau mencoba membalikkan efek time void dengan cara rendahan seperti ini?” terdengar suara seorang wanita lain.
“Cherry! Mau apa kau kemari?”
“Hmmm, ternyata kau menyuguhkan proyeksi yang cukup menarik juga. Apa dia sudah sampai pada saat Fiona mati terbunuh?”
“Hei! Apa maksudmu? Lagipula apa yang terjadi? Aku tidak bisa melihat apa-apa!” aku berteriak histeris.
“Jangan berisik! Aku sedang ada urusan dengan kawanmu. Kau diam saja, mengerti?”
Wanita itu seakan mendengus tepat di wajahku. Sesaat kemudian, sebuah cahaya kemerahan berpendar dari kejauhan dan berjalan cepat menuju ke arahku. Cahaya tersebut semakin mendekat seolah- olah menembus dan membakar mataku. Rasanya sakit sekali. Sebuah sensasi ribuan jarum merambat di bola mataku, seakan dalam tiap ujung jarum tersebut diselipkan api yang membara. Aku terjatuh dan berguling-guling, atau setidaknya itulah yang kupikir sedang kulakukan karena keadaan gelap gulita dan aku hampir tidak dapat merasakan tubuhku selain rasa sakit ini.
“Ahahahahahahahah! Maaf, tadi itu aku cuma iseng. Nah, sembari kau menunggu urusan kami selesai, bagaimana kalau kau nikmati saja lanjutan dari proyeksimu yang tadi?”
Terdengar suara tangan dijentikkan dan cahaya merah yang tadi menyambar kini semakin membesar. Cahaya itu kini menyelimuti tubuhku dan berganti dengan cahaya putih yang menyilaukan. Sesaat kemudian segalanya kembali seperti semula, tepat beberapa saat sebelum proyeksi tersebut terhenti.

***

“Ah, bukannya aku menakut-nakutimu. Tapi urusan ini agak sedikit berbahaya. Kau paham, kan? Aku hanya tak ingin kau terluka saja,” ujar Rheinberg dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
“Ya, aku paham, sih. Tapi dia masih anak-anak. Apa tidak apa-apa nantinya? Lagipula wanita itu kan…”
“Semua itu sudah kami atur. Kami juga sudah menjamin keselamatanmu apabila hal-hal buruk terjadi. Ritual semacam ini sudah jadi tradisi turun temurun setiap dua ribu tahun sekali yang sangat penting demi kelangsungan kota ini, tidak, bahkan benua ini. Tentu saja mau tidak mau kita harus melaksanakannya.”
“Baiklah, aku mengerti, Rheinberg. Kau jaga dirimu baik-baik ya,” wanita itu kemudian memeluk Rheinberg, mengecup keningnya dan berjalan menuju kereta yang telah menunggu di dekat situ beberapa saat sebelumnya.
“Sifat keibuan manusia memang sangat menarik. Kadang-kadang aku merasa iri dengan kehidupan bangsamu yang saling melengkapi satu sama lain,” Saymen tiba-tiba muncul entah dari mana.
Rheinberg nampak sedikit tercengang, namun kemudian berusaha menetralkan kembali ekspresinya.
“Ah, aku benar-benar tidak paham dengan cara berpikir kalian. Sampai matipun aku takkan pernah bisa mengerti cara berpikir makhluk-makhluk yang lahir entah dari mana dan hidup sampai ribuan tahun. Terkadang hal itu terdengar menakjubkan, namun juga terkadang membuatku iba. Terlahir sebagai makhluk tanpa ibu, kemudian menjalani kehidupan yang nyaris abadi tanpa tempat yang dapat disebut kampung halaman. Ironis sekali,”
“Memang begitulah cara kami hidup. Mungkin satu-satunya orang yang masih mengetahui asal-usul kami hanyalah Red. Tapi pria itu terlalu berbahaya untuk dibiarkan bebas. Biarlah teka-teki kehidupan kami tenggelam di kegelapan bersama pria terkutuk itu. Aku tak peduli,” jawab Saymen.
“Mungkin karena kau telah menganggap dunia ini sebagai rumahmu, sehingga kau rela mempertahankannya meskipun itu berarti kau kehilangan petunjuk untuk menemukan arti hidupmu?”
“Entahlah. Hampir semua kawan-kawanku mati dalam pertempuran melawan setan itu, sedangkan yang selamat jiwanya digerogoti oleh kegelapan atau menyepi di suatu tempat, mencoba melarikan diri dari kenyataan pahit bahwa kita telah ditakdirkan untuk musnah. Setelah pria itu menghancurkan semua harapan kami, ya, hanya bumi inilah satu-satunya tempat yang bisa kusebut rumah.”
“Hmmm, sepertinya aku semakin memahami kehidupan kalian. Maaf kalau tadi kata-kataku sedikit lancang. Ngomong-ngomong, di mana Fiona?” tanya Rheinberg.
“Aku sudah siap, pak tua. Kita mulai saja ritualnya atau bagaimana?” Fiona muncul namun tanpa pakaian yang mencolok seperti Saymen, hanya blus sederhana bermotif bunga-bunga putih dan rok hitam selutut. Penampilannya sangat mirip dengan wanita tadi, bahkan sekilas tak terlihat perbedaannya sedikitpun.
Mereka kemudian masuk ke dalam sebuah bangunan sambil memperhatikan sekitar dengan seksama. Aku benar-benar penasaran dengan gerak-gerik mereka yang begitu mencurigakan. Di dalam tempat tersebut terdapat sebuah benda panjang dan tipis yang disangga oleh empat batang kayu. Kasur. Di atas benda tersebut terbaring anak aneh yang kutemui tadi. Apa yang terjadi?
“Aku sudah memerintahkan prajurit untuk menjaga tempat ini. Tak ada yang dapat keluar-masuk tanpa sepengetahuanku dalam jarak dua puluh meter. Nah, Fiona, sekarang silahkan lakukan apa yang harus kau lakukan.”
“Penjagaanmu itu sia-sia pak tua. Tapi terserahlah, asalkan kau merasa tenang. Aku juga paham dengan perasaanmu.”
“Kalau kau paham dengan perasaanku, diam dan lakukan pekerjaanmu,” jawab Rheinberg kesal.
Fiona kemudian memegangi kepala sang gadis, lalu memejamkan matanya. Dalam sekejap, seluruh ruangan berubah putih dan muncul hawa dingin yang kuat dari arah gadis tersebut. Mata sang gadis pun perlahan terbuka.
Fiona...Akhirnya kita bertemu lagi. Masih merindukanku?” Suara sang gadis kecil berubah parau dan menyeramkan.
“Diam kau. Jika kau tidak berulah seperti dua ribu tahun lalu, aku akan melepas sedikit segel-segel penyiksa itu. Paham?”
Hahahahah! Memangnya Aku peduli? Sebentar lagi anak-anakku akan datang kemari dan menyelamatkanku! Tinggal dua puluh tahun lagi dan akan kuhancurkan  dunia kecilmu ini!
“Tidak akan terjadi selama aku masih di sini, Magisa.”
Hahahahahahah! Kau payah juga. Apa kau belum menyadarinya hah? Sini biar kuberi tahu. Bintang-bintang sumber kekuatanku sekarang sedang berkumpul, ditambah lagi, wanita itu juga datang tepat pada waktunya! Anak-anakku memang cerdas! Hahahahahah!” gadis itu menunjuk ke arahku. Apa-apaan ini?
Fiona memandangi pojok ruangan di mana aku berada. Meskipun dia tidak dapat melihatku, tapi sepertinya ia paham dengan perkataan sang gadis.
“Apa-apaan ini? Mereka melakukan proyeksi terlarang! Tapi bagaimana bisa?”
Sepertinya dua puluh tahun lagi keadaan kalian tidak sebaik sekarang, Fiona. Akuilah saja, cepat atau lambat kau akan mati dan akulah yang akan memimpin anak-anakku menuju dunia abadi!”
“Dunia abadimu itu Cuma omong kosong! Kau takkan pernah menemukan Ayah dengan cara seperti itu! Dasar jalang!”
“Oh, kita lihat saja siapa yang jalang! Hahahahahah!”
Gadis tersebut kemudian menatapku. Sebuah sinar merah memancar dari tubuhku dan seakan sinar tersebut terserap oleh sang gadis. Ia lalu mengayunkan tangannya ke arah Fiona dan seketika wanita itu terhempas ke tembok.
“Ugh! Dari mana kau bisa mendapatkan kekuatan sebesar itu?”
Rheinberg yang sejak tadi terkesiap melihat kejadian tersebut langsung bereaksi dan menghantam tubuh sang gadis kecil. Namun, belum sempat pukulannya mendarat, ia terpental kuat hingga menembus tembok.
Para penjaga yang melihat kejadian tersebut segera memenuhi ruangan. Namun tak lama setelah itu, sang gadis terkekeh sambil mengayunkan tangannya ke udara.
Sebuah cahaya menyilaukan memenuhi ruangan dan tiba-tiba ribuan jarum-jarum kecil beterbangan menembus tubuh para prajurit. Tak hanya sampai di situ. Ia kemudian merapalkan sesuatu yang membuat jarum-jarum tersebut memipih seperti pisau lalu menari-nari dan menimbulkan suara yang mengiris telinga. Dalam sekejap, hanya tersisa onggokan besar daging, tulang dan darah di lantai. Rasanya aku ingin muntah.
“Fiona, kau tidak apa-apa?” Saymen tiba-tiba muncul di hadapan Fiona, “maaf aku terlambat menyadari kalau ada sesuatu yang terjadi di sini. Maafkan aku.”
Oh, Saymenku yang tampan. Lama tidak bertemu, anakku, ah...bukan, ‘mantan anakku’ yang dulu paling kusayangi. Lihatlah, sebentar lagi aku akan bebas dan melepaskanmu dari cengkeraman wanita jalang itu,” sang gadis bersikap lemah lembut namun dengan ekspresi yang terlalu dibuat-buat.
“Diam kau! Darimana kau bisa mendapat kekuatan seperti itu, hah?!” bentak Saymen.
Oh, kau tak perlu tahu. Yang penting sekarang minggirlah. Aku ada urusan dengan nenek tua itu.”
Saymen kemudian mengeluarkan dua bilah pedang dari telapak tangannya.
“Tidak. Akulah yang akan berurusan denganmu.”
Ia kemudian melesat ke arah sang gadis dan mengayunkan kedua pedangnya. Namun sebuah cahaya putih menyilaukan kembali memancar dan menyelimuti tubuh Saymen. Ia mengerang kesakitan seolah-olah tubuhnya ditikam oleh ribuan pisau. Meskipun berada dalam keadaan seperti itu, ia berhasil menancapkan salah satu pedangnya tepat di dada sang gadis. Cahaya itu pun lenyap dan sang gadis kembali tergeletak tak berdaya.
“Maafkan aku, nak. Takdir memang kejam kepadamu. Tapi apa boleh buat, harus ada satu orang yang menanggung semua beban ini. Selamat tinggal,” Saymen kemudian mengangkat pedangnya dan bersiap memenggal kepala sang gadis. Ah, aku tak sanggup melihatnya.
Tak disangka, pedang yang diayunkan ke arah leher gadis itu malah patah dan hancur berantakan. Saymen berdiri terpaku seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Hahahahahahahah! Sekarang kau mau apa? Membunuhku pun kau tak sanggup!" Gadis itu kembali bangkit dan kini ia berdiri di atas ranjang dan perlahan melayang di udara. Dari tangannya muncul hembusan angin yang amat kencang disertai serpihan-serpihan es tajam yang berkelebat ke segala arah.
Dalam sekejap seluruh ruangan telah tertutup oleh salju dan es yang berwarna merah karena tercampur dengan darah. Aku tak mengerti apa yang terjadi karena badai barusan membuat segalanya kacau. Anehnya lagi, aku sangat yakin kalau hembusan angin tadi benar-benar terasa sampai ke arahku, sehingga aku harus memalingkan wajah.
Kini segalanya berubah hening. Saymen masih berdiri dengan tubuh tertutup salju, sedangkan sang gadis telah terkapar di lantai. Fiona, perempuan yang mirip dengan ibu sang gadis berdiri di hadapannya, dengan tangan yang berlumuran darah dan wajahnya terlihat kosong tanpa ekspresi.
"Saymen," panggilnya.
"Maafkan aku Fiona. Aku memang lemah dan tidak berguna," jawab Saymen.
"Jangan sedih anakku. Suatu saat kita pasti bisa bertemu kembali."
Aku agak sedikit kurang memahami apa yang terjadi saat ini, tapi secara samar-samar aku melihat sebuah asap berwarna kebiruan muncul dari mulut Fiona dan merasuki tubuh sang gadis. Saymen, sang pria berambut hijau yang sejak tadi terlihat kuat dan pemberani kini terisak. Entah apa yang wanita itu lakukan, tapi Saymen nampak sangat terpukul. Beberapa detik kemudian, Fiona jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Apakah dia mati?
Rheinberg tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan nafas terengah-engah. Wajahnya penuh luka dan lengan kirinya nampak patah.
"Keparat! Jalang itu menghempasku dari lantai empat! Untung saja aku tidak mati! Hei..." Rheinberg terdiam setelah ia melihat apa yang terjadi.
"Fiona mengorbankan dirinya demi ritual ini," ujar Saymen.
"Sekarang aku tak punya siapapun untuk meyakinkanku bahwa aku melakukan hal yang benar," sambungnya.
"Hei, Saymen. Aku turut berduka atas kehilanganmu. Tapi kurasa ini adalah keputusan yang tepat. Seandainya Magisa kembali merajalela di dunia ini, mungkin takkan ada yang tersisa lagi dari dunia ini selain kepedihan tanpa akhir."
"Mungkin kau benar. Mungkin ini adalah pilihan terbaik. Tapi seandainya aku bisa lebih kuat, seandainya aku bisa membunuh Magisa, Fiona pasti takkan perlu melakukan hal ini. Kau tahu sendiri kan, yang ia lakukan itu lebih buruk dari kematian."
Apa maksudnya? Aku tak paham.  
    



0 komentar: