Pages

Friday, November 23, 2012

Vandalha Chapter 6 Part 2





Sephia & Fiona:
Kutukan Waktu 
Bagian 2




Belum sempat aku mencari tahu apa yang selanjutnya terjadi, tiba-tiba saja segalanya kembali terhenti. Ah, ada apa lagi sih?! Gerutuku. Gambar-gambar proyeksi tersebut perlahan menjauh dan meredup hingga tersisa kegelapan mengelilingiku. Ampun deh.
"Maafkan aku, Sephia. Aku tak menyangka tempat Cherry bisa masuk ke tempat ini dengan mudah. Sekarang aku harus memindahkanmu ke tempat yang lebih aman." suara Laurell terdengar kembali, seakan-akan ia tepat di hadapanku.
"Hei, ada apa lagi ini? Aku tak suka tempat gelap seperti ini," protesku.
"Maafkan aku. Hanya ini yang aku bisa. Coba kau pikirkan suatu tempat yang bisa kau ingat. Jika tempat itu masih ada di pikiranmu, mungkin saja Red atau Cherry belum mengetahuinya. Kita bisa pindah ke sana," jawab Laurell. Seperti biasa, membingungkan.
"Ah, kalian ini menyebalkan sekali. Ya sudahlah, asalkan bukan di tempat super gelap seperti ini, akan aku coba."
Aku pun memutar otak dengan amat keras, mencoba membayangkan sebuah gambar, apapun itu di pikiranku. Secara lambat namun pasti, sebuah bayangan muncul. Sebuah ruangan perlahan muncul dan nampak di depan mataku. Banyak sekali benda-benda yang tak kuketahui namanya, namun terasa begitu akrab denganku. Sebuah meja, lalu sebuah benda tipis lebar berwarna putih dengan goresan-goresan hitam di bagian pojok, lalu setitik warna merah di ujungnya. Surat. Tak dapat kubaca, namun tanganku secara reflek langsung menyentuh benda itu. Lalu di tembok terdapat beberapa buah gambar seorang wanita yang memegang berbagai macam benda. Ah, terlalu banyak informasi yang tak kumengerti. Kepalaku jadi pusing tak karuan.
"Hmm, ternyata ruangan ini belum hilang dari ingatanmu ya?" wajah Laurell kini kembali nampak. Aneh, seingatku ia tak memiliki luka sebanyak itu di wajahnya.
"Hei, wajahmu...Kenapa?"
"Ah, ini. Jangan khawatir. Aku tadi sempat berkelahi dengan Cherry. Ia sudah berhasil kuusir kok," jawabnya enteng.
  "Tempat apa ini?" tanyaku lagi.
"Kau tidak ingat? Tempat ini adalah kamarmu sewaktu kami masih mengawasimu dua puluh tahun lalu."
"Ah, entahlah. Bahkan dengan semua proyeksi-proyeksi itu aku masih tak mengerti apapun. Yang aku ingat hanya bahwa pak tua Rheinberg itu sekarang sudah meninggal dan Lyonne itu adalah nama kota ini," jelasku sambil mendesah kecewa.
"Jangan khawatir. Kami akan berusaha sebaik mungkin agar ingatanmu kembali lagi. Kau takkan pernah menyadari betapa pentingnya ingatanmu bagi orang-orang jahat semacam Red dan Cherry," hibur Laurell.
"Hei, apakah proyeksi yang diberikan Cherry itu benar? Apakah Fiona yang kutahu itu bukan ibuku yang sebenarnya? Lalu apakah gadis kecil itu adalah aku?" aku mulai mempertanyakan segala hal yang kulihat dalam proyeksi satu persatu.
"Yah, setidaknya begitulah yang sebenarnya terjadi. Sejak dulu kami selalu melindungimu agar kau tidak terlibat tentang hal apapun yang berhubungan dengan perang kami dengan Red," jawab Laurell. Ia mengamati jendela dengan seksama, seakan memastikan tak ada yang mengetahui keberadaan kami.
"Perang kalian ini, apakah ada hubungannya dengan Lyonne? Kenapa sepertinya tak ada seorangpun yang mengetahui tentang apapun selain Rheinberg?" aku mulai penasaran.
"Sejarahnya panjang. Anggap saja kami memiliki perspektif dan dimensi yang berbeda dengan orang kebanyakan. Kami juga sangat berhati-hati tentang hal itu, sehingga hanya Rheinberg saja yang mengetahui seluruh rahasia kami."
"Sebegitu pentingkah urusan kalian itu? Lalu apa hubungannya denganku?"
"Kau...Ah, aku tak sanggup mengatakannya, Seph. Seperti yang kubilang, sejarah kami amat panjang. Aku takut kau belum sanggup menerima segala kenyataan tentang dirimu," jawab Laurell lagi. Selama beberapa detik ia tiba-tiba terdiam. Wajahnya menengadah, seolah ada sesuatu yang terjadi.
"Ada apa lagi?"
"Saymen. Kita harus pergi dari sini. Ayo, pegang tanganku."
"Ah, menyebalkan. Kau masih berhutang pertanyaan kepadaku, Laurell," keluhku sambil meraih tangannya.
"Jangan khawatir. Saymen adalah orang yang bijak. Setelah ini semua pertanyaanmu akan terjawab tanpa membuatmu kaget atau trauma lagi. Aku janji."
Ya, ya, terserah kau saja."
Beberapa saat kemudian, sebuah pusaran putih menyelimuti tubuh kami. Ah, benda ini lagi, pikirku. Benda mengesankan yang dapat membuat kami berpindah tempat ke...Hei, tempat apa ini?
"Selamat datang di Mediva, Seph," seorang pria berambut hijau menyambut kami. Aneh, sepertinya aku kenal orang ini.
"Saymen. Maafkan aku, aku terlambat. Red sudah memasukkannya ke dalam Time Void sebelum aku sempat..."
"Ya, aku sudah membaca laporanmu. Tidak apa-apa, asalkan Sephia masih bersama kita. Kerjamu bagus, Laurell," sela Saymen, pria aneh itu.
"Kalian itu terlalu banyak meminta maaf ya? Kocak deh," terdengar sebuah suara lagi di belakang Saymen.
Ya ampun. Itulah kalimat pertama yang muncul di benakku begitu aku melihat pria, ah, bukan, adik kecil yang manis ini. Wajahnya bersih dan bercahaya, ditambah lagi dia begitu imut! Entah kenapa aku memikirkan kata-kata itu. Entah apa artinya. Tapi yang jelas tubuhku terasa meleleh begitu aku menatap wajahnya.
"Ah, Orachj, selamat datang. Sephia, perkenalkan, dia adalah Orachj, Sang Hakim Agung, Tetua Generasi Pertama, Wakil Komandan Dewan Keamanan dan Pemimpin Tertinggi Bangsa Elf. Orachj, perkenalkan Sephia, wanita keturunan Fiona," terang Saymen.
"HAH?! Pemimpin tertinggi? Anak kecil imut ini?" tanpa sengaja aku kelepasan dan berteriak karena kaget.
Suasana berubah agak aneh dan kaku. Aku malu, malu sekali. Tak ada yang lebih memalukan dari saat ini. Tidak ada. Bahkan aku berani sumpah  wajah Orachj terlihat sedikit memerah mendengar kalimatku barusan.
"Ah, ng, anu, bagaimana kalau kita duduk dulu di dalam? Sepertinya akan lebih nyaman kalau kita bicara di ruang tamu," ajak Saymen.
"Ide bagus," jawab Laurell sembari menarik tanganku. Matanya seolah mengatakan kepadaku "Hei!" dan kubalas tatapan matanya dengan "Maaf, kelepasan," tanpa bersuara.
   
    


***

0 komentar: