Sephia & Fiona:
Kutukan
Waktu
Bagian 2
Belum sempat aku mencari tahu apa yang selanjutnya
terjadi, tiba-tiba saja segalanya kembali terhenti. Ah, ada apa lagi sih?!
Gerutuku. Gambar-gambar proyeksi tersebut perlahan menjauh dan meredup hingga
tersisa kegelapan mengelilingiku. Ampun deh.
"Maafkan aku, Sephia. Aku tak menyangka tempat
Cherry bisa masuk ke tempat ini dengan mudah. Sekarang aku harus memindahkanmu
ke tempat yang lebih aman." suara Laurell terdengar kembali, seakan-akan
ia tepat di hadapanku.
"Hei, ada apa lagi ini? Aku tak suka tempat gelap
seperti ini," protesku.
"Maafkan aku. Hanya ini yang aku bisa. Coba kau
pikirkan suatu tempat yang bisa kau ingat. Jika tempat itu masih ada di
pikiranmu, mungkin saja Red atau Cherry belum mengetahuinya. Kita bisa pindah
ke sana," jawab Laurell. Seperti biasa, membingungkan.
"Ah, kalian ini menyebalkan sekali. Ya sudahlah,
asalkan bukan di tempat super gelap seperti ini, akan aku coba."
Aku pun memutar otak dengan amat keras, mencoba
membayangkan sebuah gambar, apapun itu di pikiranku. Secara lambat namun pasti,
sebuah bayangan muncul. Sebuah ruangan perlahan muncul dan nampak di depan
mataku. Banyak sekali benda-benda yang tak kuketahui namanya, namun terasa
begitu akrab denganku. Sebuah meja, lalu sebuah benda tipis lebar berwarna
putih dengan goresan-goresan hitam di bagian pojok, lalu setitik warna merah di
ujungnya. Surat. Tak dapat kubaca, namun tanganku secara reflek langsung
menyentuh benda itu. Lalu di tembok terdapat beberapa buah gambar seorang
wanita yang memegang berbagai macam benda. Ah, terlalu banyak informasi yang
tak kumengerti. Kepalaku jadi pusing tak karuan.
"Hmm, ternyata ruangan ini belum hilang dari
ingatanmu ya?" wajah Laurell kini kembali nampak. Aneh, seingatku ia tak
memiliki luka sebanyak itu di wajahnya.
"Hei, wajahmu...Kenapa?"
"Ah, ini. Jangan khawatir. Aku tadi sempat berkelahi
dengan Cherry. Ia sudah berhasil kuusir kok," jawabnya enteng.
"Tempat apa ini?" tanyaku lagi.
"Kau tidak ingat? Tempat ini adalah kamarmu sewaktu
kami masih mengawasimu dua puluh tahun lalu."
"Ah, entahlah. Bahkan dengan semua proyeksi-proyeksi
itu aku masih tak mengerti apapun. Yang aku ingat hanya bahwa pak tua Rheinberg
itu sekarang sudah meninggal dan Lyonne itu adalah nama kota ini," jelasku
sambil mendesah kecewa.
"Jangan khawatir. Kami akan berusaha sebaik mungkin
agar ingatanmu kembali lagi. Kau takkan pernah menyadari betapa pentingnya
ingatanmu bagi orang-orang jahat semacam Red dan Cherry," hibur Laurell.
"Hei, apakah proyeksi yang diberikan Cherry itu
benar? Apakah Fiona yang kutahu itu bukan ibuku yang sebenarnya? Lalu apakah
gadis kecil itu adalah aku?" aku mulai mempertanyakan segala hal yang
kulihat dalam proyeksi satu persatu.
"Yah, setidaknya begitulah yang sebenarnya terjadi.
Sejak dulu kami selalu melindungimu agar kau tidak terlibat tentang hal apapun
yang berhubungan dengan perang kami dengan Red," jawab Laurell. Ia
mengamati jendela dengan seksama, seakan memastikan tak ada yang mengetahui
keberadaan kami.
"Perang kalian ini, apakah ada hubungannya dengan
Lyonne? Kenapa sepertinya tak ada seorangpun yang mengetahui tentang apapun
selain Rheinberg?" aku mulai penasaran.
"Sejarahnya panjang. Anggap saja kami memiliki
perspektif dan dimensi yang berbeda dengan orang kebanyakan. Kami juga sangat
berhati-hati tentang hal itu, sehingga hanya Rheinberg saja yang mengetahui
seluruh rahasia kami."
"Sebegitu pentingkah urusan kalian itu? Lalu apa
hubungannya denganku?"
"Kau...Ah, aku tak sanggup mengatakannya, Seph.
Seperti yang kubilang, sejarah kami amat panjang. Aku takut kau belum sanggup
menerima segala kenyataan tentang dirimu," jawab Laurell lagi. Selama
beberapa detik ia tiba-tiba terdiam. Wajahnya menengadah, seolah ada sesuatu
yang terjadi.
"Ada apa lagi?"
"Saymen. Kita harus pergi dari sini. Ayo, pegang
tanganku."
"Ah, menyebalkan. Kau masih berhutang pertanyaan
kepadaku, Laurell," keluhku sambil meraih tangannya.
"Jangan khawatir. Saymen adalah orang yang bijak.
Setelah ini semua pertanyaanmu akan terjawab tanpa membuatmu kaget atau trauma
lagi. Aku janji."
Ya, ya, terserah kau saja."
Beberapa saat kemudian, sebuah pusaran putih menyelimuti
tubuh kami. Ah, benda ini lagi, pikirku. Benda mengesankan yang dapat membuat
kami berpindah tempat ke...Hei, tempat apa ini?
"Selamat datang di Mediva, Seph," seorang pria
berambut hijau menyambut kami. Aneh, sepertinya aku kenal orang ini.
"Saymen. Maafkan aku, aku terlambat. Red sudah
memasukkannya ke dalam Time Void sebelum
aku sempat..."
"Ya, aku sudah membaca laporanmu. Tidak apa-apa,
asalkan Sephia masih bersama kita. Kerjamu bagus, Laurell," sela Saymen,
pria aneh itu.
"Kalian itu terlalu banyak meminta maaf ya? Kocak
deh," terdengar sebuah suara lagi di belakang Saymen.
Ya ampun. Itulah kalimat pertama yang muncul di benakku
begitu aku melihat pria, ah, bukan, adik kecil yang manis ini. Wajahnya bersih
dan bercahaya, ditambah lagi dia begitu imut! Entah kenapa aku memikirkan
kata-kata itu. Entah apa artinya. Tapi yang jelas tubuhku terasa meleleh begitu
aku menatap wajahnya.
"Ah, Orachj, selamat datang. Sephia, perkenalkan,
dia adalah Orachj, Sang Hakim Agung, Tetua Generasi Pertama, Wakil Komandan
Dewan Keamanan dan Pemimpin Tertinggi Bangsa Elf. Orachj, perkenalkan Sephia,
wanita keturunan Fiona," terang Saymen.
"HAH?! Pemimpin tertinggi? Anak kecil imut
ini?" tanpa sengaja aku kelepasan dan berteriak karena kaget.
Suasana berubah agak aneh dan kaku. Aku malu, malu sekali.
Tak ada yang lebih memalukan dari saat ini. Tidak ada. Bahkan aku berani
sumpah wajah Orachj terlihat sedikit
memerah mendengar kalimatku barusan.
"Ah, ng, anu, bagaimana kalau kita duduk dulu di
dalam? Sepertinya akan lebih nyaman kalau kita bicara di ruang tamu," ajak
Saymen.
"Ide bagus," jawab Laurell sembari menarik
tanganku. Matanya seolah mengatakan kepadaku "Hei!" dan kubalas
tatapan matanya dengan "Maaf, kelepasan," tanpa bersuara.
***
0 komentar:
Post a Comment