Pages

Friday, November 23, 2012

Vandalha Chapter 7



Val & Jesse:
Serpihan Kenangan Masa Lalu

Val dan Jesse beserta seluruh komandan divisi sedang berkumpul untuk menghitung jumlah korban dan membahas rencana mereka selanjutnya. Setelah membawa pasukan yang terluka termasuk Beedhes ke barak paramedis, mereka kemudian berjalan menuju sebuah lapangan di tengah kota. Beberapa orang prajurit bertugas untuk menata jenazah sedangkan yang lainnya berdiri terdiam menatap kawan-kawan mereka yang terbujur kaku. Salah seorang dari mereka menyanyikan sebuah lagu berjudul ‘Pahlawan di Lembah Keabadian’ yang biasa dinyanyikan saat prosesi pemakaman seorang prajurit.
Val yang telah didaulat oleh Franc untuk menjadi walikota pun maju ke tengah-tengah barisan dan memberikan sebuah pidato penghormatan.
“Sungguh suatu kehormatan yang sangat besar untuk dapat berjuang bersama kalian semua, kesatria-kesatria terhebat di Vandalha. Kita telah berhasil menunjukkan kepada musuh yang ganas dan tidak kenal ampun bahwa kita masih terlalu tangguh untuk mereka kalahkan! Maka dari itu, jangan biarkan perjuangan kawan-kawan kita yang gugur ini sia-sia. Segera hapus kesedihan dari wajah kita dan bangkit untuk menyongsong harapan baru di daratan utama. Ingat, tidak ada perjuangan yang sia-sia selama kita masih bernafas untuk meraihnya! Perjuangan belum berakhir kawan-kawan!”
Setelah pidato berakhir, jenazah-jenazah tersebut kemudian dibawa menuju Lord Siphebsac Mausoleum, sebuah tempat pemakaman bawah tanah tempat seluruh pahlawan Lyonne dimakamkan, untuk menjalani prosesi selanjutnya.
Di tengah perjalanan menuju Mauloseum yang terletak tak jauh dari kantor walikota, seorang prajurit penjaga gerbang berlari menghampiri Jesse.
“Lapor, kak! Ada seorang pria berbadan besar berdiri di depan gerbang timur yang mencari kakak dan kak Val. Kami sudah berusaha mengusirnya, tapi dia tidak mau mendengarkan kami,” terang sang prajurit.
“Pria bertubuh besar? Seperti Beedhes?”
“Sepertinya bukan. Dia tidak sebesar raksasa laut dan tubuhnya penuh tato. Lagipula rambutnya panjang dan gimbal kecoklatan. Ia juga membawa sebilah pedang besar berlambang naga. Beberapa orang prajurit berusaha menjatuhkan dia, tapi orang itu terlalu kuat! Sekarang ia sedang bertarung melawan Warchief dan Kravitz!” jawab sang prajurit.
“Ah, sial! Kenapa harus ada masalah di saat seperti ini? Ya sudah, aku akan memeriksanya. Tolong beritahu Val kalau aku tidak bisa ikut masuk ke Mausoleum.”
“Siap, kak!”
Jesse pun segera berlari menuju gerbang untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sepanjang perjalanan ia terus mengingat-ingat ciri-ciri pria misterius tersebut. Tiba-tiba ia teringat sesuatu yang sangat penting tentang sang pria misterius.
“Keparat! Tidak mungkin kalau itu benar-benar dia. Tidak mungkin!” Jesse terus berlari menembus jalan-jalan sempit menuju pintu gerbang dengan perasaan galau.

***

“Hei! Sudah kubilang kalau aku tidak mau bertarung dengan pria  bedebah yang identitasnya tidak kukenal! Sebutkan namamu!” teriak Warchief sambil mengayunkan kapaknya hingga beradu dengan pedang besar milik sang pria tak dikenal.
“Aku hanya ingin mencari Jesse dan Val. Nama tak penting jika kau tak perlu mengingatnya kan?” jawab sang pria.
“ Sialan! Kau sudah mengucapkan omong kosong itu berkali-kali, tahu! Apa yang rusak dari otakmu itu sampai-sampai kau tidak tahu namamu sendiri, hah?”
“Aku sudah memasuki kota ini ratusan kali, tapi kenapa baru sekarang ada yang menempatinya, hah? Kemana saja kalian selama ini?”
“Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan. Kota ini selalu berpenghuni sejak dulu hingga sekarang. Sudah kubilang pasti ada yang rusak dengan otakmu itu!” jawab Warchief sambil terus mengayunkan kapaknya dan menyerang sang pria dengan hantaman-hantaman yang mampu menggetarkan tanah.
Tiba-tiba sang pria misterius berhenti bertarung dan berdiri tertegun. Pandangan matanya berubah kosong.
“Aku…aku… Ah, aku tak mengerti apa yang salah dengan otakku! Sudah sekian lama aku menunggu mereka untuk datang menjemputku, tapi sepertinya sia-sia. Mereka meninggalkanku! Mereka membiarkanku mati di sana hingga akhirnya pedang ini menolongku. Sekarang aku akan membalaskan semua yang pernah mereka lakukan padaku! Pengkhianat harus mati!” ia kembali menyerang Warchief dengan satu lompatan secepat kilat.
“Tuh, kan. Otakmu memang benar-benar rusak,” komentar Warchief sambil menahan serangan ganas sang pria berambut coklat.
“Kakek! Minta izin untuk menembakkan ballista!” teriak Kravitz dari arah menara. Seketika sebuah panah besar melesat ke arah pertempuran, namun meleset.
“Jangan dulu, dasar bodoh! Kau mau mengenaiku, hah?”
“Ah, tidak apa-apa kan kalau satu orang harus dikorbankan? Lagipula kau sudah tua, sudah bau tanah!”
“Aaaargh, dasar anak tidak berguna!” teriak Warchief kesal.
Pertarungan sengit terus berlanjut. Kedua senjata terus beradu dengan sangat keras sehingga menimbulkan percikan api dan suara nyaring yang memekakkan telinga. Setelah beberapa kali hantaman, pedang milik sang pria misterius terlempar jauh, membuatnya menjadi sasaran empuk bagi Warchief.
Warchief kemudian melempar salah satu kapaknya dengan kekuatan penuh ke arah sang pria, namun sayang, pria tersebut sanggup menghindar dan secepat kilat menghampiri Warchief yang masih kehilangan keseimbangan selama beberapa detik setelah melempar kapaknya.
Sekelebat bayangan hitam tiba-tiba muncul dari balik punggungnya. Dalam waktu singkat bayangan tersebut menyelimuti lengan kirinya, membentuk sebuah pola aneh di sekujur lengan lalu memanjang hingga ujung jari-jarinya dan mengeras menyerupai pisau tajam.
Dengan jarak sedekat itu, Warchief tak mampu lagi menahan serangan dari sang pria. Sebuah tebasan pun mendarat di dada kakek tua tersebut. Warchief jatuh tersungkur bersimbah darah, namun ia masih sadar dan berusaha bangkit.
“Keparat! Senjata macam…apa yang kau…Bangsat!” sumpah serapah keluar bersahutan dari mulutnya yang juga mengeluarkan darah.
“Sudah kubilang, aku hanya ingin mencari Val dan Jesse. Sekarang tunjukkan di mana mereka!” jawab sang pria misterius.
“Cih! Mati saja kau bedebah! Kau tidak akan maju selangkahpun dari tempatmu berdiri!” Warchief kembali berdiri dan mengayunkan kapaknya dengan susah payah. Namun belum sempat ia menyerang, sebuah bayangan panjang melesat dan menembus perutnya. Kali ini ia tak mampu lagi menahan serangan tersebut dan kehilangan kesadaran.
Kravitz seakan tidak percaya bahwa Warchief dapat dikalahkan dengan mudah. Ia berdiri terpaku di atas menara, memandangi medan pertempuran yang kini sunyi senyap tanpa suara sedikitpun. Kesadarannya kembali muncul dan ia dengan sigap menarik panah ballista, siap menembakkannya ke arah sang pria misterius, namun lagi-lagi sebuah bayangan hitam melesat ke arah menara, menembus tubuh kurus Kravitz sebelum ia sempat melakukan apapun.
Jesse yang baru saja sampai di depan gerbang tercengang dengan pemandangan yang ia lihat. Warchief, dwarf terkuat yang pernah ia temui dijatuhkan oleh seorang pria asing dengan tangan kosong. Namun beberapa saat kemudian air mukanya berubah. Kali ini ia semakin tercengang melihat wajah sang pria asing.
“Merrick!”
“Jesse!” pria bernama Merrick tersebut langsung berlari menghampiri Jesse dengan wajah gembira.
Jesse yang tidak menyadari sedikitpun dengan apa yang terjadi menyambut Merrick dengan canggung. Kenangan masa lalu bersama pria tersebut menyergapnya. Wajah Merrick yang telah terlupakan dari memorinya dalam sekejap muncul merangkai peristiwa demi peristiwa yang pernah mereka alami bersama. Tiba-tiba rangkaian tersebut terhenti pada sebuah gambar besar yang menyentak akal sehat Jesse. Ia kembali tersadar tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kenyataan yang dulu secara misterius menghilang dari ingatannya itu kini kembali dengan sebuah peringatan yang datang terlambat, karena bersamaan dengan itu perut Jesse telah tertembus pisau hitam, sedangkan wajah hangat Merrick kini berubah menjadi seringai yang menyeramkan.
“Merrick…kau…iblis…”
“Hahahahah! Pengkhianat! Pengkhianat harus mati! Mati!” tusukan demi tusukan terus dilancarkan ke tubuh Jesse yang kini tidak berdaya.
Para prajurit yang berada di sekitar tempat tersebut hanya bisa berdiri gemetaran menyaksikan para perwira mereka yang tangguh dan tak takut mati berhasil dikalahkan dalam sekejap.
Merrick berjalan perlahan memasuki gerbang tanpa memperhatikan sekitar, berhenti sejenak, kemudian berteriak,
“Valcrist! Keluar kau pengecut! Kau telah mempermalukan nama keluarga Leonard! Aku tidak sudi punya kakak sepertimu! Dasar pengkhianat! Pengkhianat harus mati!!!”
Merrick kemudian mengangkat tangannya ke udara, dan dengan gerakan menggenggam, sebuah cahaya ungu aneh meyelimuti tubuhnya, diikuti hempasan kuat dan suara ledakan yang menggelegar. 

***
Val Nampak begitu gusar mendengar laporan yang disampaikan oleh seorang prajurit beberapa saat setelah prosesi pemakaman selesai. Pesan Jesse tentang ketakutan terbesar mereka menggelayut di otaknya.
Dari kejauhan gerbang timur nampak begitu sunyi. Val menjadi semakin khawatir dan sedikit bergetar. Sesuatu pasti telah terjadi, dan pasti bukanlah sesuatu yang menyenangkan, pikirnya. Sial! Sial!!
Val terduduk lemas melihat kenyataan yang terjadi. Warchief, Jesse, dan belasan mayat prajurit berserakan di depan gerbang timur. Seakan seluruh harapan yang ia miliki lenyap seketika. Pertama Sephia, lalu para pahlawan perkasa andalan Lyonne, Franc, Warchief, kemudian Jesse. Lalu siapa lagi yang sanggup melindungi Lyonne jika ia mati?
“Sudah kuduga, kau pasti datang, kak,” sebuah suara yang terdengar akrab menyadarkannya dari lamunan. Seorang pria kekar bertato hitam berdiri tegak di puncak menara gerbang.
“Merrick! Apa kau sadar dengan apa yang sudah kau lakukan, hah?”
“Aku sadar dengan segala perbuatanku. Aku juga sadar kalau kau adalah satu-satunya alasan aku masih hidup sampai sekarang,” Merrick kemudian meludah ke tanah.
“Berarti kau juga sadar kalau kita sudah tidak bersaudara lagi. Kau telah melanggar sumpah keluarga! Kau bukan keluarga Leonard lagi, Merrick!”
“Justru kau yang lebih dulu melanggar sumpah! Meninggalkanku di tempat itu, dasar pengkhianat!”
Merrick kemudian melompat turun dan menatap wajah Val dengan penuh kebencian. Dari balik lengannya muncul bayangan hitam yang kemudian berubah bentuk menjadi sebuah pedang hitam berkilat. Dari tubuh Merrick keluar pula hawa gelap yang terlihat jelas di udara.
“Beberapa tahun yang lalu aku bertemu seorang pria di tempat itu, dan dia memberiku kekuatan untuk keluar dari sana. Pria itu juga memberiku kesempatan untuk membalas dendam, untuk menghabisi setiap orang yang telah berkhianat padaku! Mati kau Valcrist!!” ia menghampiri Val dengan langkah yang hampir seperti melayang. Sementara itu, bayangan hitam di belakang Merrick semakin menyelimuti tubuhnya, membentuk semacam tato hitam yang nampak menyala seperti api.
Val bergerak sedikit mundur, curiga dengan hawa pembunuh yang dirasakannya; sebuah hawa yang tidak terlalu asing.
“Merrick, dari mana kau mendapatkan kekuatan itu, hah?!”
“Oh, kau juga sebentar lagi akan tahu. Itu kalau kau tidak mati lebih dulu di tanganku! Hahah!” seringai iblis Merrick kembali muncul. Kali ini bersama dengan sebuah hentakan yang membuatnya melesat menuju ke arah Val.
Pedang hitam Merrick beradu dengan pedang scimitar yang baru saja dipungut Val dari mayat salah seorang prajurit. Namun mata Val terbelalak melihat pedang besar yang dipegangnya kini berubah menjadi sebatang besi berkarat yang tak jelas bentuknya.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan tersebut, tangan Val bereaksi cepat dan menjatuhkan sebuah bom asap ke tanah. Sebagai mantan ketua kompi ahli jebakan, benda-benda semacam itu selalu dibawanya dan terbukti telah menyelamatkan nyawanya berulang kali, termasuk saat ini.
Merrick hanya tertawa terbahak-bahak tanpa berusaha mencari Val. Ia berdiri tegak di tengah kabut asap tebal yang menyelimuti medan pertempuran.
“Val! Dasar banci! Hanya segitu saja kemampuanmu hah? Baiklah, bagaimana kalau kau kutantang bertarung dengan tangan kosong?” Ia kemudian membuang pedangnya ke tanah.
Dalam jarak pandang terbatas seperti itu, ia tak dapat menemukan di mana posisi Val, namun pandangannya langsung tertuju pada menara gerbang begitu ia mendengar suara balista melesat dan menggores bahunya.
“Ya ampun, ternyata kau memang benar-benar sampah! Kau tidak lihat apa? Temanmu tadi sudah mencoba melakukan hal yang sama, lalu sekarang di mana dia? Mati! Dasar bodoh!” teriak Merrick.
“Oh, ya? Coba saja bunuh aku kalau bisa!” ejek Val. Sementara itu, panah balista terus melesat ke arah Merrick.
Menyadari taktik Val yang terus menghujaninya dengan panah, Merrick melepas bayangan hitam yang melekat di tubuhnya dan kembali menghindar dari jangkauan Val dengan cepat. Bayangan hitam tersebut kemudian menggumpal menjadi sebuah bulatan berwarna hitam keunguan dan melesat ke arah menara. Benda tersebut meledak tepat di tengah menara dan meruntuhkan bangunan setinggi sepuluh meter tersebut bersama Val di dalamnya.
Beberapa saat kemudian, Merrick berjalan menghampiri puing-puing menara dengan waspada. Ia berhenti tepat di depan puing-puing tersebut dan meludah.
“Itulah akibatnya kalau kau berkhianat padaku!” Merrick menjulurkan tangannya seolah-olah ingin menarik bayangan hitam yang tadi meledak kembali, namun tak terjadi apapun. Bukan hanya itu saja, ia tersentak melihat sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi.
Reruntuhan bangunan tersebut tiba-tiba bergetar hebat. Dari balik reruntuhan muncul seberkas cahaya putih yang semakin terang dan menyibak bebatuan yang menutupinya satu persatu. Perlahan namun pasti, Val muncul ke permukaan bersamaan dengan meredupnya cahaya putih tersebut. Di tangannya nampak seonggok makhluk hitam berlendir yang tertusuk sebuah belati emas.
“Untung perkiraanku benar,” komentar Val.
“Ke..keparat kau!” umpat Merrick.
“Kurasa makhluk ini berasal dari tempat yang sama dengan naga yang mengacak-acak kotaku. Dia adalah bagian dari Laercdan, naga kegelapan dalam legenda, bukan?”
“Hahahahahahahah! Dasar bodoh! Kau belum mengerti juga, ya? Kau pikir benda itu cuma bagian dari Laercdan, hah? Pikiranmu terlalu dangkal.”
“Jadi…kau…” Val terhenyak.
“Ya, akulah orang yang melepas binatang bernafas busuk itu ke kota ini. Mengesankan bukan?” jawab Merrick.
“Berarti kau adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian Franc…” Val terdiam. Terlalu banyak bayangan yang berputar-putar di otaknya.
“Oh, jadi si idiot itu akhirnya mati juga. Baguslah, setidaknya ia bisa sedikit berguna, padahal yang kuinginkan adalah Sephi…” suara Merrick terhenti oleh belati emas Val yang menancap di tenggorokannya.
“Siapa kau sebenarnya? Aku sudah tidak bisa mengenalimu lagi, Merrick. Tidak, kau bukan adikku. Kau hanya makhluk keparat yang meniru wajah Merrick,” bisik Val kepada Merrick yang kini jatuh tergeletak dan meregang nyawa di hadapannya.
Merrik terbaring dengan darah mengucur dari tenggorokannya. Ia mengangkat tangannya ke atas, seolah ingin meraih Val, namun ia hanya bisa menatapnya dengan tatapan kosong.
“Kakak…Terima kasih,” Merrick menatap wajah Val dengan bahagia untuk yang terakhir kalinya. Nampak air mata menetes dari pipinya. Ia pun menutup mata dan tersenyum penuh kedamaian.
Melihat kenyataan bahwa mahkluk yang ia bunuh benar-benar Merrick, Val tertunduk lemas sambil memegangi tubuh adik kesayangannya yang telah tiada itu. Pikirannya melayang menuju masa-masa saat mereka masih muda dan penuh ambisi. Teringat di bayangannya tentang impian Merrick untuk mencari sebuah senjata naga legendaris yang ia yakini mampu menghidupkan kembali kedua orang tua mereka. Ironisnya, senjata tersebut malah digunakan untuk merenggut nyawa orang-orang yang mereka cintai. Namun semuanya telah berakhir. Kini yang tersisa hanyalah penyesalan dan air mata. 
***

0 komentar: