Prologue:
Seorang pria berjubah merah
berdiri di atas sebuah bukit yang menjulang di tengah-tengah padang rumput yang
luas. Pria itu sibuk
memandangi gelang rumput yang melilit tangannya dengan seksama. Gelang tersebut
terbuat dari rumput yang terpilin halus dan teliti sehingga nampak sangat rapi.
Warnanya yang masih kehijauan menandakan bahwa gelang tersebut baru saja
dibuat. Sesaat pria itu menoleh ke belakang, seakan ada seseorang yang sedang
mengamatinya.
“Kau memang sangat peka, ya?”
seorang wanita dengan jubah merah hati tiba-tiba muncul di hadapan sang pria,
entah dari mana asalnya. Ia mengibaskan rambut hitam kecoklatannya yang agak
basah dan melempar pandangan ke arah padang rumput.
“Sudah ada kabar dari Grey?”
Pria itu masih terdiam. Wajah
tirus dan keriput yang nampak di dahinya mulai menghilang dan perlahan sebuah
wajah baru muncul dari balik kulit wajahnya yang lama. Kulit lama tersebut
kemudian mengelupas, jatuh ke tanah dan terbakar, menyisakan wajah baru yang jauh
berbeda dari sebelumnya. Ia kemudian mengangkat tangannya ke atas sembari
merapalkan sebuah mantra. Seketika
sebuah pusaran berwarna putih muncul tepat di atas kepalanya.
“Aku tidak ingin mengandalkan orang
bodoh seperti dia,” jawab pria berjubah merah. “Jika kau ingin pekerjaanmu
beres, kerjakanlah sendiri. Itu prinsipku.”
“Terserah kau sajalah. Memangnya
Grey kau apakan?”
“Dia terlalu banyak bertanya. Semua
persiapan sudah beres?”
“Sudah.” Wanita itu tersenyum sinis.
“Orang-orang yang bodoh. Mereka tidak tahu apa yang akan menghampiri mereka.”
“Jangan terlalu percaya diri
dulu. Orang-orang ‘terpilih’ itu
sudah kau temukan?”
“Kau ini menyebalkan, ya? Biarpun
aku wanita, aku masih bisa menyelesaikan tugas-tugas kasar semacam itu, tahu,”
gerutu sang wanita.
“Baiklah, nyonya. Maafkan aku karena
telah menyinggung perasaanmu,” jawab sang pria dengan nada datar, seolah-olah
sedang mengejek sang wanita.
“Nah, karena kepingan-kepingan
terakhir sudah terkumpul, sekarang saatnya kita bergerak.”
***
Suara derap langkah kuda menggema di
antara tembok-tembok batu yang berjajar membentuk sebuah lorong sempit, satu-satunya
gerbang menuju Lyonne, Kota Mata Air Harapan.
Beberapa orang penjaga tengah
berpatroli di sekitar tembok utama kota dengan wajah
yang nampak bosan, seakan berharap agar kota
yang mereka jaga ini diserang oleh sesuatu, sehingga mereka dapat lebih berguna.
Salah seorang penjaga menguap lebar, sehingga mengundang seloroh dari penjaga
lainnya, yang kemudian berakhir dengan umpatan-umpatan kasar yang sudah menjadi
kebiasaan sehari-hari. Sementara itu beberapa orang lainnya berjaga di depan
gerbang, memeriksa setiap kendaraan yang akan memasuki kota.
Sebuah karavan besar berisi
sekumpulan pria dan wanita berjubah keemasan berjalan lambat memasuki gerbang
kota. Setelah melewati pemeriksaan, penjaga kemudian mempersilakan mereka
masuk. Salah seorang dari penjaga berbisik kepada kawannya. Bangsawan.
Benarkah? Orang kaya seperti mereka di tempat kuno seperti ini? Hei, jangan
keras-keras, nanti kalau mereka dengar bisa turun pangkat jadi tukang cuci
piring kau! Umpatan kembali berlanjut, seakan merupakan pekerjaan mereka
sehari-hari. Perang tidak akan terjadi, pikir mereka.
Lyonne merupakan kota tertua
di Arch plain, daratan besar di sebelah
barat daya benua Vandalha. Arsitektur
kota ini telah bertahan selama kurang lebih empat ribu tahun tanpa perubahan. Terlepas
dari penduduk kota yang rata-rata merupakan kaum pedagang dan kesatria, Lyonne
adalah surga arkeologi. Banyak peninggalan-peninggalan masa lampau yang
terkubur di tempat ini, baik dengan tersembunyi, maupun dibiarkan berlumut
begitu saja di sekitar daerah pemukiman.
Sejarah kota yang telah berjalan puluhan ribu tahun membuat penduduk kota
lambat laun melupakan dari mana mereka berasal. Tidak setelah malam yang akan
menentukan nasib mereka tiba.
***
Seorang anak laki-laki tengah
asyik bermain dengan serangga-serangga kecil yang ia kumpulkan di hutan
beberapa saat yang lalu. Ia terkekeh sendiri ketika sepasang jangkrik yang ia
adu saling memukul hingga akhirnya kepala salah satu hewan malang tersebut putus.
Seorang pria kekar kemudian menghampirinya dengan wajah kesal, lalu menarik
telinga anak tersebut dan menyeretnya kembali ke dalam tembok kota, sambil
sesekali mengomel tidak jelas.
Beberapa orang pria nampak
berdiri di atas menara penjagaan yang telah lama tidak digunakan. Wajah mereka
nampak cemas, seakan-akan sesuatu yang besar akan menghampiri mereka.
Dari kejauhan nampak kepulan
asap dan panji-panji yang berukuran terlalu besar meskipun dilihat dari jarak yang jauh bergerak perlahan menuju
Lyonne; sebuah serangan. Asap
tersebut sebenarnya sudah terlihat sejak dua hari yang lalu. Melihat jarak mereka
yang amat jauh dan bentuk yang terlalu kentara seperti itu, para ahli strategi
memperkirakan bahwa pasukan yang akan datang tersebut berskala besar, bahkan
terlalu besar untuk dihadapi oleh Lyonne sendirian.
Lonceng peringatan dibunyikan di
seluruh penjuru kota.
Dhartu, pria paling kuat dan berani di Lyonne mulai mengumpulkan para prajurit,
penjaga kota
dan siapapun yang dirasa sanggup bertarung. Dhartu mengarahkan pasukan tersebut
untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk dan menempatkan mereka di pos-pos
pertahanan yang sudah ditetapkan. Nampak jelas perasaan takut menyelimuti
mereka. Namun ini adalah kewajiban mereka. Lagipula saat-saat seperti inilah
yang telah lama dinantikan oleh para kesatria yang semakin lama semakin gemuk
karena mereka tidak ada pekerjaan; sebuah perang sungguhan, dalam skala yang
besar!
“Baiklah, nona-nona! Kali ini kita
akan menghadapi sebuah perang yang mungkin tidak akan pernah kita bayangkan
sebelumnya. Entah pasukan atau makhluk apa yang akan menyerang kita nanti, kita
tidak tahu. Tapi yang jelas, kita akan tunjukkan pada mereka bahwa untuk
menyerang tempat ini bukanlah hal yang bisa dianggap main-main! Karena kita
siap untuk menyambut mereka, dan kita siap untuk menang!“ Orasi Dhartu disambut
sorak-sorai para kesatria yang membahana ke seluruh penjuru kota.
Di tengah pancaran semangat yang
dikeluarkan Dhartu melalui orasi tersebut, seorang prajurit datang menghampirinya dengan tertatih-tatih. Wajahnya berlumuran darah dengan luka menganga di lengan
dan perutnya. Dengan luka sebesar itu, orang biasa pasti sudah tumbang seketika.
“D-Dhartu, m-mereka…sudah
s-sampai di…tepi s-sungai…J-James…tidak selama…akh!” ia terkapar dan menghela
nafas terakhirnya setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Dhartu tampak terpukul. Ia
lalu meletakkan jenazah pria malang tersebut ke tanah dan kembali berseru, “Musuh
telah datang! Mari kita sambut mereka dengan semangat yang membara! Ayo, nona-nona!
Kembali ke posisi kalian!“ Seketika para kesatria berhamburan menuju ke pos
mereka masing-masing.
Dhartu berjalan menuju menara
pengawas utama. Nampak dari situ barisan pasukan makhluk aneh dengan jumlah
yang amat besar tengah bergerak menuju Lyonne. Padang rumput luas yang
mengitari kota membuat pergerakan mereka terlihat jelas.
“Makhluk apa gerangan itu,
Jesse?“ tanya Dhartu.
“Entahlah. Yang jelas, mereka
bukan manusia. Lihat saja punggung mereka yang bercangkang itu. Sungguh
mengerikan! Kita harus melawan makhluk seseram itu? Bahkan ayahku yang pendekar
saja pasti ketakutan melihat wajah-wajah setan itu,“ komentar Jesse, wakil
panglima komando yang bertugas mengawasi pergerakan musuh.
“Sekarang bukan masalah takut
atau tidak, menang atau kalah, tapi ini masalah mempertahankan tanah kelahiran
kita. Tak ada alasan untuk menyerah!“ Tegas Dhartu, “Suruh anak buahmu untuk
bersiap di bawah. Siapkan juga tempat paling strategis untuk para penembak jitu
dan artileri. Kita harus melakukan ini dengan benar jika ingin selamat dari
serangan nanti,“ perintah Dhartu.
“Baiklah. Semoga Tuhan
menyertaimu, ‘kak’,“ jawab Jesse.
Senja telah bergulir berganti
malam yang semakin gelap dan mencekam. Setelah penantian yang menegangkan
selama beberapa jam, serangan yang ditakutkan tersebut tiba.
Makhluk-makhluk tersebut kini
hanya berjarak sekitar tiga ratus meter dari gerbang. Nampak jelas panji-panji
raksasa berwarna merah darah menjulang tinggi memenuhi padang rumput di timur kota.
Ghiles, komandan pasukan jarak jauh Lyonne, berlari ke atas menara dan segera
menggunaan teropong untuk melihat lebih dekat makhluk apa gerangan yang akan
mereka hadapi.
"Hmm, cangkang berduri di
punggung, zirah dan persenjataan lengkap, lalu balista! Sepertinya kita tidak
sedang menghadapi pasukan sembarangan."
"Lalu apa yang bisa kita
lakukan?" tanya Jesse yang juga sedang berada di menara.
"Ini akan menjadi
pertarungan yang sulit. Tapi kalau kau memperhatikan desain baju zirah mereka,
ada kesalahan tambalan di bagian pundak. Kau incar saja bagian itu, pasti
perlindungan mereka akan hancur berkeping-keping."
"Ah, bagaimana kalau
kupenggal saja kepala mereka?" timpal Jesse.
"Hm, itu juga boleh."
Para pemanah dan penembak jitu
bersiaga menunggu aba-aba dari Ghiles untuk memulai serangan. Belum ada
pergerakan yang terlalu berarti dari makhluk-makhluk tersebut, seakan mereka sengaja
mengulur waktu untuk mempertegang suasana.
"Semua siaga!!"
teriak Ghilles.
"Ikuti aba-abaku!"
Sebuah panah raksasa tiba-tiba
melesat ke arah gerbang, menancap menembus tembok batu dan menimbulkan suara
gemuruh. Makhluk-makhluk tersebut mulai melancarkan serangan mereka. Tidak ada
lagi gerakan teratur ataupun taktik perang yang rumit. Mereka semua merangsek
maju mengerumuni gerbang dan dinding kota.
"SERAAAAANG!!!"
Perang pun dimulai. Ribuan
panah melesat di udara, menembus baju zirah dan daging. Korban mulai
berjatuhan, darah berceceran di mana-mana, hanya tinggal menunggu waktu hingga
gerbang kota benar-benar runtuh.
Pintu gerbang kota berderak
keras. Gebrakan demi gebrakan menghantam tembok tanpa henti. Dhartu telah bersiap-siap
bersama pasukannya untuk menghadapi gelombang pertama. Setelah beberapa kali
gebrakan, gerbang kota akhirnya hancur.
Bersamaan dengan itu, Dhartu
berteriak, “Keluarkan pagar besi sekarang!“
Dalam sekejap sebuah pagar
besi diturunkan di ujung dan pangkal lorong tembok batu, mengunci sebagian
pasukan musuh di dalamnya. Jebakan minyak yang telah dipasang di sana
sebelumnya kemudian disulut. Selanjutnya hanya terlihat api yang membara
menghanguskan makhluk-makhluk jelek tersebut.
Makhluk-makhluk yang berada di
luar tembok melemparkan jangkar dan berusaha naik ke atas tembok, sementara
yang lainnya menembakkan batu-batu raksasa untuk meruntuhkan tembok batu yang
telah ribuan tahun melindungi Lyonne. Banyak makhluk-makhluk yang tewas dalam
gelombang pertama, namun senjata pertahanan terdepan prajurit Lyonne telah
habis. Mereka hanya bisa menunggu makhluk-makhluk tersebut maju kembali untuk
serangan kedua.
Makhluk-makhluk ganas tersebut
sempat terpukul mundur setelah jebakan api dapat dilepaskan dengan sempurna.
Namun, beberapa saat kemudian mereka kembali menyerang dengan beringas. Kali
ini mereka membawa beberapa buah balista.
Anak panah senjata terkutuk tersebut terbuat dari besi pilihan, sehingga mampu
menghancurkan tembok batu terkuat sekalipun. Hantaman demi hantaman mereka
lancarkan, hingga akhirnya pagar besi yang merupakan pertahanan terakhir Lyonne
runtuh. Lolongan penuh nafsu membunuh pun menggema di seluruh penjuru kota.
“Mereka masuk! Mereka masuk!“ teriak seorang penjaga.
Pasukan utama yang dipimpin Dhartu telah menunggu tepat di depan pagar,
sementara yang lainnya bersiap untuk memancing mereka menuju jebakan-jebakan
yang tersebar di seluruh penjuru kota.
“Ayo, nona-nona! Inilah saatnya kita
tunjukkan kekuatan Lyonne yang sebenarnya! Kita habisi mereka semua!“ teriak
Dhartu.
Beedhes, seorang pria keturunan suku
raksasa laut, juga ikut bergabung di
pasukan utama dan bertugas sebagai tembok penghalang. Tubuh raksasanya yang
luar biasa besar bahkan untuk ukuran kalangannya sendiri konon mampu menahan
hantaman tiga ekor gajah sekaligus, menjadikannya pasukan penahan terbaik di Arc Plain, bahkan di seluruh Vandalha.
Serbuan makhluk-makhluk tersebut
sangat brutal dan tak kenal ampun. Jumlah mereka yang terlalu besar nyaris
membuat Beedhes kewalahan dan memporak-porandakan barisan terdepan selama
beberapa saat. Namun Beedhes masih terlalu tangguh untuk dirobohkan. Ia terus mengayunkan
perisai raksasanya, membuat sebagian besar makhluk yang menyerangnya terpental
jauh. Air mukanya berubah drastis dan ia mulai maju menghantam mahkuk tersebut
satu persatu.
“Gawat!“ ujar Dhartu kepada salah
satu anak buahnya. “Wajah itu, aku pernah melihatnya saat ia mengamuk di sebuah
bar di Rhan. “
“Memang ada apa, kak?“
“Apa kau tahu kalau untuk menjadi
seorang pendekar suku raksasa laut diperlukan sebuah ritual khusus? “ terang
Dhartu.“ Ritual tersebut dipercaya membuat nenek moyang mereka merasuki tubuh
sang pendekar, sehingga membuatnya bertambah kuat. “ lanjutnya.
“Itu bagus kan? Maksudku, meskipun secara fisik tak ada
pengaruhnya, tapi ia jadi semakin percaya diri kan?“
“Bukan itu masalahnya. Dalam kondisi
semacam itu, ia menjadi kalap dan tidak akan memperhatikan sekitarnya,“ terang
Dhartu.
“Jadi, maksud kakak…”
Dhartu memandangi Beedhes dengan
sayu, sembari terus mengayunkan pedang dan menghalau setiap musuh yang
menyerangnya.
Sementara itu, Beedhes terus
merangsek hingga ke dalam barisan musuh dengan membabi buta. Sesekali ia
berteriak dengan amat keras, hingga membuat musuh yang berada terlalu dekat
dengannya terpental. Beedhes terus menerobos maju, hingga akhirnya ia tenggelam
dalam kerumunan makhluk tersebut.
Pasukan utama yang dipimpin Dhartu
semakin terdesak dan terpaksa mundur untuk menahan makhluk tersebut di taman kota. Keadaan menjadi
semakin genting setelah musuh membawa masuk beberapa ekor Rag’karnak, kadal bertanduk raksasa yang ukurannya dua kali lipat
ukuran gajah. Kadal tersebut ditempatkan di bawah menara dan di sekitar tembok
sehingga menghalangi pandangan para penembak jitu. Kadal-kadal tersebut juga
berusaha merobohkan menara dengan tempurung kepala mereka yang sekuat baja.
Tanpa adanya Beedhes dan para
penembak jitu, Lyonne nampak semakin mendekati akhirnya. Hampir seluruh pasukan garis depan tewas, dan
jebakan juga telah habis. Harapan menjadi semakin tipis dengan adanya perisai
hidup raksasa yang dicptakan kawanan Rag’karnak, yang secara teori tidak
mungkin dapat ditembus dengan senjata biasa.
“Sial, aku tidak menduga kalau
mereka mampu menjinakkan kadal-kadal busuk sebanyak itu. Jesse! Berikan aku The Hacker!“ teriak Dhartu.
“Apa?! Apa kau ingin…” Jesse
mengentikan kata-katanya.
“Jangan banyak tanya! Cepat berikan
saja!“ sela Dhartu.
“Kak,“ Jesse mengambil sebilah
pedang berukuran dua kali tinggi manusia dewasa dari rak senjata dan
melemparkannya ke arah Dhartu. “Ini sama saja bunuh diri, “ ujar Jesse gemetaran.
“Jangan cengeng. Dasar banci,“
Dhartu tersenyum hambar kemudian melambaikan tangannya, entah disengaja atau
tidak. Salam perpisahan singkat itu benar-benar menghancurkan hati Jesse.
Dhartu kemudian berlari menuju
bagian luar tembok, tepat diantara kawanan Rag’karnak yang tengah mengamuk.
“Kakak! Apa yang sedang kau pikirkan?! Menjauh dari situ!“
teriak Ghilles melihat aksi gila Dhartu tersebut.
“Dasar bodoh! Kau kira dengan peluru
tumpul seperti itu kau bisa mengalahkan mereka, hah? Pakai otakmu sedikit!
Kawanan ini pasti punya pemimpin. Cukup menebas beberapa ekor yang terbesar,
mereka pasti kocar-kacir!“ umpat Dhartu sambil mengeluarkan sebotol kecil bir
dari tas pinggangnya.
“Aku sudah lama menantikan
saat-saat seperti ini. Nah, babe,
tolong tunjukkan kemampuanmu,“ bisik Dhartu, seakan-akan ia dapat berbicara dengan
pedangnya.
Dhartu kemudian melompat ke arah
kaki kadal terbesar dari kawanan tersebut dan menebasnya dengan sekali
serangan. Kadal itu tersungkur dan pasrah menerima nasibnya saat Dhartu
menancapkan The Hacker ke leher hewan
raksasa tersebut. Benar saja, setelah kematian kadal itu, kadal-kadal yang
lainnya nampak kebingungan dan mulai berjalan tanpa arah. Mereka kemudian merangsek
masuk ke dalam pasukan musuh, membuat kekacauan, lalu berlari tunggang langgang
meninggalkan medan perang.
Melihat hal tersebut, pasukan musuh
mulai memusatkan serangan mereka pada Dhartu.
“Haha! Kalian mau main keroyokan,
hah? Ayo maju sini!“
teriak Dhartu. Dengan wajah yang terlihat sedikit mabuk, Ia mulai menebas
makhluk-makhluk tersebut dengan gerakan yang menakjubkan.
“Sial! Dhartu sudah ‘mulai’
lagi!“ umpat Ghilles.
“Apa maksudmu, Gils?“ tanya
seorang penembak jitu yang berada bersamanya.
“Kau tahu kenapa dia diberi
gelar kesatria tanpa tanding di Arch Plain? Dan menurutmu untuk apa dia membawa
bir segala pada saat perang begini?“ tanya Ghilles.
“Tidak,“ tiba-tiba wajah penembak jitu
tersebut nampak terkejut. “Jangan katakan kalau dia…“
“Ya. Julukan pria itu adalah ‘dewa
anggur berpedang angin’. Jika ia sudah mabuk, kekuatan aslinya akan keluar. Ia
akan mengayunkan pedangnya seakan-akan ia sedang menyapu angin,“ terang Ghilles.
“Bahkan menggunakan The Hacker yang sebesar itu? Gila! Tapi
bukankah itu berarti bagus buat kita?“
“Ya. Semoga saja,“ Ghilles
terus memandangi Dhartu yang tengah kalap dengan cemas.
Sementara itu, Dhartu masih
melakukan gerakan-gerakan menakjubkan yang membuat serangan musuh nampak
seperti serangan anak kecil. Selama beberapa saat hal itu terus dilakukannya,
namun makhluk-makhluk tersebut terus berdatangan seperti air yang mengalir
deras dari hulu hingga akhirnya Dhartu terpojok. Nampaknya serangan-serangan beringas
yang ia lancarkan tadi membuat tubuhnya semakin lemah, sehingga Dhartu tak lagi
mampu menahan gelombang serangan yang datang bertubi-tubi. Seekor dari mereka
bahkan mampu mendaratkan kapaknya tepat di pundak Dhartu, menciptakan luka
menganga dan teriakan kesakitan yang luar biasa dari mulut pria malang
tersebut.
“Ghilles! Katakan pada Jesse
kalau kadal-kadal itu sudah pergi! Segera siapkan jebakan terakhir kita! Aku
akan menahan mereka di sini semampuku,“ teriak Dhartu. “Cepat! Jangan biarkan aku
mati sia-sia!“
“Baik! Tapi kau tidak akan
mati kan? Karena kau Dhartu si dewa anggur! Kau tidak akan mati!“ balas Ghilles.
“Bodoh,“ bisik Dhartu. “Aku
memang tidak bisa mati,“ ia lalu mengayunkan pedangnya dan kembali menggila. “Ayo
sini, banci-banci cangkang keropos! Pertunjukan belum selesai!“ umpatnya.
Ghilles segera berlari dengan
perasaan kalut. Ia berlari sekuat tenaga menuju pos Jesse untuk melancarkan
jebakan terakhir. Namun, belum sempat ia meneriakkan pesan terakhir dari
Dhartu, sebuah panah balista menghantam tubuhnya, menembus perut hingga ia
tertancap di tembok.
“Huh, dasar makhluk-makhluk keparat!
Tapi kalian tidak tahu siapa
aku sebenarnya!“ bisik Ghilles kepada dirinya sendiri. Ia sekarat, dan ia tahu
dirinya takkan bisa bertahan lebih lama lagi.
“Aku adalah penembak jitu terbaik di
Arch Plain! Salah besar jika kalian mengira panah mainan seperti ini bisa
menghentikanku!“ ia kemudian mengokang senapannya, dan menembakkannya ke arah
pos Jesse.
Bersamaan dengan itu, sirene khusus
yang dipasang di pos tersebut berbunyi. Rupanya Ghilles mengarahkan tembakannya
tepat ke arah tombol sirene tersebut.
“Ghilles!“ Jesse menghadapkan
wajahnya ke arah menara di mana kawanan Rag’karnak mengamuk. “Kadal-kadal
keparat itu sudah pergi, kawan-kawan! Sirene telah berbunyi! Segera aktifkan
jebakan terakhir!“ teriak Jesse. Segera setelah perintah dikeluarkan, suara
terompet pemanggil gajah menggema ke seluruh penjuru kota.
Dari arah hutan, nampak segerombolan
besar gajah berlarian menuju kota. Gajah tersebut merupakan gajah-gajah
terbesar yang berhasil dikumpulkan pasukan pengintai pimpinan James sebelum akhirnya
mereka tewas terbunuh. Gajah-gajah tersebut dipersenjatai dengan cincin berduri
yang terpasang di keempat kaki mereka. Duri-duri tersebut juga telah dilumuri
dengan racun yang mampu mematikan sistem saraf dalam sekejap. Dengan senjata
yang sangat beresiko seperti itu, sudah sewajarnya jika pasukan gajah tersebut
dijadikan jebakan terakhir, karena tanpa perencanaan yang matang, gajah-gajah
tersebut bisa saja menjadi pedang bermata dua yang berakibat fatal.
Kedatangan gajah-gajah
tersebut mampu meningkatkan semangat para prajurit secara drastis. Jumlah
mereka yang amat besar akhirnya dapat memukul mundur makhluk-makhluk tersebut
dari medan pertempuran.
Beberapa saat setelah musuh
bergerak mundur, beberapa ekor gajah jatuh tersungkur. Rupanya mereka ikut
tertusuk duri beracun dari kawanan mereka sendiri. Jumlah korban semakin bertambah setelah kawanan tersebut mulai
bergerombol di tengah padang
rumput. Pemandangan mengenaskan tersebut membuat para prajurit yang
menyaksikannya tercengang. Teriakan kemenangan yang mereka lepaskan berubah
menjadi perasaan iba melihat gajah-gajah malang
satu-persatu menemui ajal mereka. Mungkin saja, pikir mereka, yang paling
banyak berkorban demi tanah kelahiran mereka bukanlah manusia, namun para gajah
yang selama ribuan tahun telah menjadi kawan terbaik manusia. Gajah-gajah
tersebut bahkan tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan. Sesaat mereka
terdiam dan membayangkan betapa hinanya manusia yang menjadikan kawan mereka
sebagai tameng terakhir agar mereka selamat dari kehancuran.
Setelah memberi penghormatan
terakhir kepada kawanan gajah yang akan segera menemui ajal mereka, para
prajurit kemudian meninggalkan medan
perang dengan perasaan kalut. Kemenangan seperti ini tidak pantas untuk dirayakan,
pikir mereka.
Lyonne telah kehilangan beberapa
kesatria terbaiknya, namun kepergian mereka tidaklah sia-sia. Lyonne masih
berdiri kokoh hingga sekarang dan tembok-temboknya yang meskipun kini telah rapuh
menunjukkan bahwa dibalik dinding tersebut tersimpan kesatria-kesatria gagah
berani yang rela bertarung mempertahankan tanah air tercinta mereka sampai mati.
***
0 komentar:
Post a Comment