Pages

Monday, August 2, 2010

Vandalha Prolog

-->
Prologue:
Tanpa Batas


Seorang pria berjubah merah berdiri di atas sebuah bukit yang menjulang di tengah-tengah padang rumput yang luas. Pria itu sibuk memandangi gelang rumput yang melilit tangannya dengan seksama. Gelang tersebut terbuat dari rumput yang terpilin halus dan teliti sehingga nampak sangat rapi. Warnanya yang masih kehijauan menandakan bahwa gelang tersebut baru saja dibuat. Sesaat pria itu menoleh ke belakang, seakan ada seseorang yang sedang mengamatinya.
“Kau memang sangat peka, ya?” seorang wanita dengan jubah merah hati tiba-tiba muncul di hadapan sang pria, entah dari mana asalnya. Ia mengibaskan rambut hitam kecoklatannya yang agak basah dan melempar pandangan ke arah padang rumput.
“Sudah ada kabar dari Grey?”
Pria itu masih terdiam. Wajah tirus dan keriput yang nampak di dahinya mulai menghilang dan perlahan sebuah wajah baru muncul dari balik kulit wajahnya yang lama. Kulit lama tersebut kemudian mengelupas, jatuh ke tanah dan terbakar, menyisakan wajah baru yang jauh berbeda dari sebelumnya. Ia kemudian mengangkat tangannya ke atas sembari merapalkan sebuah mantra. Seketika sebuah pusaran berwarna putih muncul tepat di atas kepalanya.
“Aku tidak ingin mengandalkan orang bodoh seperti dia,” jawab pria berjubah merah. “Jika kau ingin pekerjaanmu beres, kerjakanlah sendiri. Itu prinsipku.”
“Terserah kau sajalah. Memangnya Grey kau apakan?”
“Dia terlalu banyak bertanya. Semua persiapan sudah beres?”
“Sudah.” Wanita itu tersenyum sinis. “Orang-orang yang bodoh. Mereka tidak tahu apa yang akan menghampiri mereka.”
“Jangan terlalu percaya diri dulu. Orang-orang ‘terpilih’ itu sudah kau temukan?”
“Kau ini menyebalkan, ya? Biarpun aku wanita, aku masih bisa menyelesaikan tugas-tugas kasar semacam itu, tahu,” gerutu sang wanita.
“Baiklah, nyonya. Maafkan aku karena telah menyinggung perasaanmu,” jawab sang pria dengan nada datar, seolah-olah sedang mengejek sang wanita.
“Nah, karena kepingan-kepingan terakhir sudah terkumpul, sekarang saatnya kita bergerak.”

                                                ***

Suara derap langkah kuda menggema di antara tembok-tembok batu yang berjajar membentuk sebuah lorong sempit, satu-satunya gerbang menuju Lyonne, Kota Mata Air Harapan.
Beberapa orang penjaga tengah berpatroli di sekitar tembok utama kota dengan wajah yang nampak bosan, seakan berharap agar kota yang mereka jaga ini diserang oleh sesuatu, sehingga mereka dapat lebih berguna. Salah seorang penjaga menguap lebar, sehingga mengundang seloroh dari penjaga lainnya, yang kemudian berakhir dengan umpatan-umpatan kasar yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Sementara itu beberapa orang lainnya berjaga di depan gerbang, memeriksa setiap kendaraan yang akan memasuki kota.
Sebuah karavan besar berisi sekumpulan pria dan wanita berjubah keemasan berjalan lambat memasuki gerbang kota. Setelah melewati pemeriksaan, penjaga kemudian mempersilakan mereka masuk. Salah seorang dari penjaga berbisik kepada kawannya. Bangsawan. Benarkah? Orang kaya seperti mereka di tempat kuno seperti ini? Hei, jangan keras-keras, nanti kalau mereka dengar bisa turun pangkat jadi tukang cuci piring kau! Umpatan kembali berlanjut, seakan merupakan pekerjaan mereka sehari-hari. Perang tidak akan terjadi, pikir mereka.
Lyonne merupakan kota tertua di Arch plain, daratan besar di sebelah barat daya benua Vandalha. Arsitektur kota ini telah bertahan selama kurang lebih empat ribu tahun tanpa perubahan. Terlepas dari penduduk kota yang rata-rata merupakan kaum pedagang dan kesatria, Lyonne adalah surga arkeologi. Banyak peninggalan-peninggalan masa lampau yang terkubur di tempat ini, baik dengan tersembunyi, maupun dibiarkan berlumut begitu saja di sekitar  daerah pemukiman. Sejarah kota yang telah berjalan puluhan ribu tahun membuat penduduk kota lambat laun melupakan dari mana mereka berasal. Tidak setelah malam yang akan menentukan nasib mereka tiba.

***

Seorang anak laki-laki tengah asyik bermain dengan serangga-serangga kecil yang ia kumpulkan di hutan beberapa saat yang lalu. Ia terkekeh sendiri ketika sepasang jangkrik yang ia adu saling memukul hingga akhirnya kepala salah satu hewan malang tersebut putus. Seorang pria kekar kemudian menghampirinya dengan wajah kesal, lalu menarik telinga anak tersebut dan menyeretnya kembali ke dalam tembok kota, sambil sesekali mengomel tidak jelas.
Beberapa orang pria nampak berdiri di atas menara penjagaan yang telah lama tidak digunakan. Wajah mereka nampak cemas, seakan-akan sesuatu yang besar akan menghampiri mereka.
Dari kejauhan nampak kepulan asap dan panji-panji yang berukuran terlalu besar meskipun dilihat dari  jarak yang jauh bergerak perlahan menuju Lyonne; sebuah serangan. Asap tersebut sebenarnya sudah terlihat sejak dua hari yang lalu. Melihat jarak mereka yang amat jauh dan bentuk yang terlalu kentara seperti itu, para ahli strategi memperkirakan bahwa pasukan yang akan datang tersebut berskala besar, bahkan terlalu besar untuk dihadapi oleh Lyonne sendirian.
Lonceng peringatan dibunyikan di seluruh penjuru kota. Dhartu, pria paling kuat dan berani di Lyonne mulai mengumpulkan para prajurit, penjaga kota dan siapapun yang dirasa sanggup bertarung. Dhartu mengarahkan pasukan tersebut untuk bersiap menghadapi kemungkinan terburuk dan menempatkan mereka di pos-pos pertahanan yang sudah ditetapkan. Nampak jelas perasaan takut menyelimuti mereka. Namun ini adalah kewajiban mereka. Lagipula saat-saat seperti inilah yang telah lama dinantikan oleh para kesatria yang semakin lama semakin gemuk karena mereka tidak ada pekerjaan; sebuah perang sungguhan, dalam skala yang besar!
“Baiklah, nona-nona! Kali ini kita akan menghadapi sebuah perang yang mungkin tidak akan pernah kita bayangkan sebelumnya. Entah pasukan atau makhluk apa yang akan menyerang kita nanti, kita tidak tahu. Tapi yang jelas, kita akan tunjukkan pada mereka bahwa untuk menyerang tempat ini bukanlah hal yang bisa dianggap main-main! Karena kita siap untuk menyambut mereka, dan kita siap untuk menang!“ Orasi Dhartu disambut sorak-sorai para kesatria yang membahana ke seluruh penjuru kota.
Di tengah pancaran semangat yang dikeluarkan Dhartu melalui orasi tersebut, seorang prajurit datang menghampirinya dengan tertatih-tatih. Wajahnya berlumuran darah dengan luka menganga di lengan dan perutnya. Dengan luka sebesar itu, orang biasa pasti sudah tumbang seketika.
“D-Dhartu, m-mereka…sudah s-sampai di…tepi s-sungai…J-James…tidak selama…akh!” ia terkapar dan menghela nafas terakhirnya setelah mengucapkan kalimat tersebut.
Dhartu tampak terpukul. Ia lalu meletakkan jenazah pria malang tersebut ke tanah dan kembali berseru, “Musuh telah datang! Mari kita sambut mereka dengan semangat yang membara! Ayo, nona-nona! Kembali ke posisi kalian!“ Seketika para kesatria berhamburan menuju ke pos mereka masing-masing.
Dhartu berjalan menuju menara pengawas utama. Nampak dari situ barisan pasukan makhluk aneh dengan jumlah yang amat besar tengah bergerak menuju Lyonne. Padang rumput luas yang mengitari kota membuat pergerakan mereka terlihat jelas.
“Makhluk apa gerangan itu, Jesse?“ tanya Dhartu.
“Entahlah. Yang jelas, mereka bukan manusia. Lihat saja punggung mereka yang bercangkang itu. Sungguh mengerikan! Kita harus melawan makhluk seseram itu? Bahkan ayahku yang pendekar saja pasti ketakutan melihat wajah-wajah setan itu,“ komentar Jesse, wakil panglima komando yang bertugas mengawasi pergerakan musuh.
“Sekarang bukan masalah takut atau tidak, menang atau kalah, tapi ini masalah mempertahankan tanah kelahiran kita. Tak ada alasan untuk menyerah!“ Tegas Dhartu, “Suruh anak buahmu untuk bersiap di bawah. Siapkan juga tempat paling strategis untuk para penembak jitu dan artileri. Kita harus melakukan ini dengan benar jika ingin selamat dari serangan nanti,“ perintah Dhartu.
“Baiklah. Semoga Tuhan menyertaimu, ‘kak’,“ jawab Jesse.
Senja telah bergulir berganti malam yang semakin gelap dan mencekam. Setelah penantian yang menegangkan selama beberapa jam, serangan yang ditakutkan tersebut tiba.
Makhluk-makhluk tersebut kini hanya berjarak sekitar tiga ratus meter dari gerbang. Nampak jelas panji-panji raksasa berwarna merah darah menjulang tinggi memenuhi padang rumput di timur kota. Ghiles, komandan pasukan jarak jauh Lyonne, berlari ke atas menara dan segera menggunaan teropong untuk melihat lebih dekat makhluk apa gerangan yang akan mereka hadapi.
"Hmm, cangkang berduri di punggung, zirah dan persenjataan lengkap, lalu balista! Sepertinya kita tidak sedang menghadapi pasukan sembarangan."
"Lalu apa yang bisa kita lakukan?" tanya Jesse yang juga sedang berada di menara.
"Ini akan menjadi pertarungan yang sulit. Tapi kalau kau memperhatikan desain baju zirah mereka, ada kesalahan tambalan di bagian pundak. Kau incar saja bagian itu, pasti perlindungan mereka akan hancur berkeping-keping."
"Ah, bagaimana kalau kupenggal saja kepala mereka?" timpal Jesse.
"Hm, itu juga boleh."
Para pemanah dan penembak jitu bersiaga menunggu aba-aba dari Ghiles untuk memulai serangan. Belum ada pergerakan yang terlalu berarti dari makhluk-makhluk tersebut, seakan mereka sengaja mengulur waktu untuk mempertegang suasana.
"Semua siaga!!" teriak Ghilles.
"Ikuti aba-abaku!"
Sebuah panah raksasa tiba-tiba melesat ke arah gerbang, menancap menembus tembok batu dan menimbulkan suara gemuruh. Makhluk-makhluk tersebut mulai melancarkan serangan mereka. Tidak ada lagi gerakan teratur ataupun taktik perang yang rumit. Mereka semua merangsek maju mengerumuni gerbang dan dinding kota.
"SERAAAAANG!!!"
Perang pun dimulai. Ribuan panah melesat di udara, menembus baju zirah dan daging. Korban mulai berjatuhan, darah berceceran di mana-mana, hanya tinggal menunggu waktu hingga gerbang kota benar-benar runtuh.
Pintu gerbang kota berderak keras. Gebrakan demi gebrakan menghantam tembok tanpa henti. Dhartu telah bersiap-siap bersama pasukannya untuk menghadapi gelombang pertama. Setelah beberapa kali gebrakan, gerbang kota akhirnya hancur.
Bersamaan dengan itu, Dhartu berteriak, “Keluarkan pagar besi sekarang!“
Dalam sekejap sebuah pagar besi diturunkan di ujung dan pangkal lorong tembok batu, mengunci sebagian pasukan musuh di dalamnya. Jebakan minyak yang telah dipasang di sana sebelumnya kemudian disulut. Selanjutnya hanya terlihat api yang membara menghanguskan makhluk-makhluk jelek tersebut.
Makhluk-makhluk yang berada di luar tembok melemparkan jangkar dan berusaha naik ke atas tembok, sementara yang lainnya menembakkan batu-batu raksasa untuk meruntuhkan tembok batu yang telah ribuan tahun melindungi Lyonne. Banyak makhluk-makhluk yang tewas dalam gelombang pertama, namun senjata pertahanan terdepan prajurit Lyonne telah habis. Mereka hanya bisa menunggu makhluk-makhluk tersebut maju kembali untuk serangan kedua.
Makhluk-makhluk ganas tersebut sempat terpukul mundur setelah jebakan api dapat dilepaskan dengan sempurna. Namun, beberapa saat kemudian mereka kembali menyerang dengan beringas. Kali ini mereka membawa beberapa buah balista. Anak panah senjata terkutuk tersebut terbuat dari besi pilihan, sehingga mampu menghancurkan tembok batu terkuat sekalipun. Hantaman demi hantaman mereka lancarkan, hingga akhirnya pagar besi yang merupakan pertahanan terakhir Lyonne runtuh. Lolongan penuh nafsu membunuh pun menggema di seluruh penjuru kota.
“Mereka  masuk! Mereka masuk!“ teriak seorang penjaga. Pasukan utama yang dipimpin Dhartu telah menunggu tepat di depan pagar, sementara yang lainnya bersiap untuk memancing mereka menuju jebakan-jebakan yang tersebar di seluruh penjuru kota.
“Ayo, nona-nona! Inilah saatnya kita tunjukkan kekuatan Lyonne yang sebenarnya! Kita habisi mereka semua!“ teriak Dhartu.
Beedhes, seorang pria keturunan suku raksasa laut, juga ikut bergabung di pasukan utama dan bertugas sebagai tembok penghalang. Tubuh raksasanya yang luar biasa besar bahkan untuk ukuran kalangannya sendiri konon mampu menahan hantaman tiga ekor gajah sekaligus, menjadikannya pasukan penahan terbaik di Arc Plain, bahkan di seluruh Vandalha.
Serbuan makhluk-makhluk tersebut sangat brutal dan tak kenal ampun. Jumlah mereka yang terlalu besar nyaris membuat Beedhes kewalahan dan memporak-porandakan barisan terdepan selama beberapa saat. Namun Beedhes masih terlalu tangguh untuk dirobohkan. Ia terus mengayunkan perisai raksasanya, membuat sebagian besar makhluk yang menyerangnya terpental jauh. Air mukanya berubah drastis dan ia mulai maju menghantam mahkuk tersebut satu persatu.
“Gawat!“ ujar Dhartu kepada salah satu anak buahnya. “Wajah itu, aku pernah melihatnya saat ia mengamuk di sebuah bar di Rhan. “
“Memang ada apa, kak?“
“Apa kau tahu kalau untuk menjadi seorang pendekar suku raksasa laut diperlukan sebuah ritual khusus? “ terang Dhartu.“ Ritual tersebut dipercaya membuat nenek moyang mereka merasuki tubuh sang pendekar, sehingga membuatnya bertambah kuat. “ lanjutnya.
“Itu bagus kan? Maksudku, meskipun secara fisik tak ada pengaruhnya, tapi ia jadi semakin percaya diri kan?“
“Bukan itu masalahnya. Dalam kondisi semacam itu, ia menjadi kalap dan tidak akan memperhatikan sekitarnya,“ terang Dhartu.
“Jadi, maksud kakak…”
Dhartu memandangi Beedhes dengan sayu, sembari terus mengayunkan pedang dan menghalau setiap musuh yang menyerangnya.
Sementara itu, Beedhes terus merangsek hingga ke dalam barisan musuh dengan membabi buta. Sesekali ia berteriak dengan amat keras, hingga membuat musuh yang berada terlalu dekat dengannya terpental. Beedhes terus menerobos maju, hingga akhirnya ia tenggelam dalam kerumunan makhluk tersebut.
Pasukan utama yang dipimpin Dhartu semakin terdesak dan terpaksa mundur untuk menahan makhluk tersebut di taman kota. Keadaan menjadi semakin genting setelah musuh membawa masuk beberapa ekor Rag’karnak, kadal bertanduk raksasa yang ukurannya dua kali lipat ukuran gajah. Kadal tersebut ditempatkan di bawah menara dan di sekitar tembok sehingga menghalangi pandangan para penembak jitu. Kadal-kadal tersebut juga berusaha merobohkan menara dengan tempurung kepala mereka yang sekuat baja.
Tanpa adanya Beedhes dan para penembak jitu, Lyonne nampak semakin mendekati akhirnya. Hampir seluruh pasukan garis depan tewas, dan jebakan juga telah habis. Harapan menjadi semakin tipis dengan adanya perisai hidup raksasa yang dicptakan kawanan Rag’karnak, yang secara teori tidak mungkin dapat ditembus dengan senjata biasa.
“Sial, aku tidak menduga kalau mereka mampu menjinakkan kadal-kadal busuk sebanyak itu. Jesse! Berikan aku The Hacker!“ teriak Dhartu.
“Apa?! Apa kau ingin…” Jesse mengentikan kata-katanya.
“Jangan banyak tanya! Cepat berikan saja!“ sela Dhartu.
“Kak,“ Jesse mengambil sebilah pedang berukuran dua kali tinggi manusia dewasa dari rak senjata dan melemparkannya ke arah Dhartu. “Ini sama saja bunuh diri, “ ujar Jesse gemetaran.
“Jangan cengeng. Dasar banci,“ Dhartu tersenyum hambar kemudian melambaikan tangannya, entah disengaja atau tidak. Salam perpisahan singkat itu benar-benar menghancurkan hati Jesse.
Dhartu kemudian berlari menuju bagian luar tembok, tepat diantara kawanan Rag’karnak yang tengah mengamuk.
“Kakak! Apa yang sedang kau pikirkan?! Menjauh dari situ!“ teriak Ghilles melihat aksi gila Dhartu tersebut.
“Dasar bodoh! Kau kira dengan peluru tumpul seperti itu kau bisa mengalahkan mereka, hah? Pakai otakmu sedikit! Kawanan ini pasti punya pemimpin. Cukup menebas beberapa ekor yang terbesar, mereka pasti kocar-kacir!“ umpat Dhartu sambil mengeluarkan sebotol kecil bir dari tas pinggangnya.
“Aku sudah lama menantikan saat-saat seperti ini. Nah, babe, tolong tunjukkan kemampuanmu,“ bisik Dhartu, seakan-akan ia dapat berbicara dengan pedangnya.
Dhartu kemudian melompat ke arah kaki kadal terbesar dari kawanan tersebut dan menebasnya dengan sekali serangan. Kadal itu tersungkur dan pasrah menerima nasibnya saat Dhartu menancapkan The Hacker ke leher hewan raksasa tersebut. Benar saja, setelah kematian kadal itu, kadal-kadal yang lainnya nampak kebingungan dan mulai berjalan tanpa arah. Mereka kemudian merangsek masuk ke dalam pasukan musuh, membuat kekacauan, lalu berlari tunggang langgang meninggalkan medan perang.
Melihat hal tersebut, pasukan musuh mulai memusatkan serangan mereka pada Dhartu.
“Haha! Kalian mau main keroyokan, hah? Ayo maju sini!“ teriak Dhartu. Dengan wajah yang terlihat sedikit mabuk, Ia mulai menebas makhluk-makhluk tersebut dengan gerakan yang menakjubkan.
“Sial! Dhartu sudah ‘mulai’ lagi!“ umpat Ghilles.
“Apa maksudmu, Gils?“ tanya seorang penembak jitu yang berada bersamanya.
“Kau tahu kenapa dia diberi gelar kesatria tanpa tanding di Arch Plain? Dan menurutmu untuk apa dia membawa bir segala pada saat perang begini?“ tanya Ghilles.
“Tidak,“ tiba-tiba wajah penembak jitu tersebut nampak terkejut. “Jangan katakan kalau dia…“
“Ya. Julukan pria itu adalah ‘dewa anggur berpedang angin’. Jika ia sudah mabuk, kekuatan aslinya akan keluar. Ia akan mengayunkan pedangnya seakan-akan ia sedang menyapu angin,“ terang Ghilles.
“Bahkan menggunakan The Hacker yang sebesar itu? Gila! Tapi bukankah itu berarti bagus buat kita?“
“Ya. Semoga saja,“ Ghilles terus memandangi Dhartu yang tengah kalap dengan cemas.
Sementara itu, Dhartu masih melakukan gerakan-gerakan menakjubkan yang membuat serangan musuh nampak seperti serangan anak kecil. Selama beberapa saat hal itu terus dilakukannya, namun makhluk-makhluk tersebut terus berdatangan seperti air yang mengalir deras dari hulu hingga akhirnya Dhartu terpojok. Nampaknya serangan-serangan beringas yang ia lancarkan tadi membuat tubuhnya semakin lemah, sehingga Dhartu tak lagi mampu menahan gelombang serangan yang datang bertubi-tubi. Seekor dari mereka bahkan mampu mendaratkan kapaknya tepat di pundak Dhartu, menciptakan luka menganga dan teriakan kesakitan yang luar biasa dari mulut pria malang tersebut.
“Ghilles! Katakan pada Jesse kalau kadal-kadal itu sudah pergi! Segera siapkan jebakan terakhir kita! Aku akan menahan mereka di sini semampuku,“ teriak Dhartu. “Cepat! Jangan biarkan aku mati sia-sia!“
“Baik! Tapi kau tidak akan mati kan? Karena kau Dhartu si dewa anggur! Kau tidak akan mati!“ balas Ghilles.
“Bodoh,“ bisik Dhartu. “Aku memang tidak bisa mati,“ ia lalu mengayunkan pedangnya dan kembali menggila. “Ayo sini, banci-banci cangkang keropos! Pertunjukan belum selesai!“ umpatnya.
Ghilles segera berlari dengan perasaan kalut. Ia berlari sekuat tenaga menuju pos Jesse untuk melancarkan jebakan terakhir. Namun, belum sempat ia meneriakkan pesan terakhir dari Dhartu, sebuah panah balista menghantam tubuhnya, menembus perut hingga ia tertancap di tembok.
“Huh, dasar makhluk-makhluk keparat! Tapi kalian tidak tahu siapa aku sebenarnya!“ bisik Ghilles kepada dirinya sendiri. Ia sekarat, dan ia tahu dirinya takkan bisa bertahan lebih lama lagi.
“Aku adalah penembak jitu terbaik di Arch Plain! Salah besar jika kalian mengira panah mainan seperti ini bisa menghentikanku!“ ia kemudian mengokang senapannya, dan menembakkannya ke arah pos Jesse.
Bersamaan dengan itu, sirene khusus yang dipasang di pos tersebut berbunyi. Rupanya Ghilles mengarahkan tembakannya tepat ke arah tombol sirene tersebut.
“Ghilles!“ Jesse menghadapkan wajahnya ke arah menara di mana kawanan Rag’karnak mengamuk. “Kadal-kadal keparat itu sudah pergi, kawan-kawan! Sirene telah berbunyi! Segera aktifkan jebakan terakhir!“ teriak Jesse. Segera setelah perintah dikeluarkan, suara terompet pemanggil gajah menggema ke seluruh penjuru kota.
Dari arah hutan, nampak segerombolan besar gajah berlarian menuju kota. Gajah tersebut merupakan gajah-gajah terbesar yang berhasil dikumpulkan pasukan pengintai pimpinan James sebelum akhirnya mereka tewas terbunuh. Gajah-gajah tersebut dipersenjatai dengan cincin berduri yang terpasang di keempat kaki mereka. Duri-duri tersebut juga telah dilumuri dengan racun yang mampu mematikan sistem saraf dalam sekejap. Dengan senjata yang sangat beresiko seperti itu, sudah sewajarnya jika pasukan gajah tersebut dijadikan jebakan terakhir, karena tanpa perencanaan yang matang, gajah-gajah tersebut bisa saja menjadi pedang bermata dua yang berakibat fatal.
Kedatangan gajah-gajah tersebut mampu meningkatkan semangat para prajurit secara drastis. Jumlah mereka yang amat besar akhirnya dapat memukul mundur makhluk-makhluk tersebut dari medan pertempuran.
Beberapa saat setelah musuh bergerak mundur, beberapa ekor gajah jatuh tersungkur. Rupanya mereka ikut tertusuk duri beracun dari kawanan mereka sendiri. Jumlah korban semakin bertambah setelah kawanan tersebut mulai bergerombol di tengah padang rumput. Pemandangan mengenaskan tersebut membuat para prajurit yang menyaksikannya tercengang. Teriakan kemenangan yang mereka lepaskan berubah menjadi perasaan iba melihat gajah-gajah malang satu-persatu menemui ajal mereka. Mungkin saja, pikir mereka, yang paling banyak berkorban demi tanah kelahiran mereka bukanlah manusia, namun para gajah yang selama ribuan tahun telah menjadi kawan terbaik manusia. Gajah-gajah tersebut bahkan tidak mengerti apa yang sedang mereka lakukan. Sesaat mereka terdiam dan membayangkan betapa hinanya manusia yang menjadikan kawan mereka sebagai tameng terakhir agar mereka selamat dari kehancuran.
Setelah memberi penghormatan terakhir kepada kawanan gajah yang akan segera menemui ajal mereka, para prajurit kemudian meninggalkan medan perang dengan perasaan kalut. Kemenangan seperti ini tidak pantas untuk dirayakan, pikir mereka.
Lyonne telah kehilangan beberapa kesatria terbaiknya, namun kepergian mereka tidaklah sia-sia. Lyonne masih berdiri kokoh hingga sekarang dan tembok-temboknya yang meskipun kini telah rapuh menunjukkan bahwa dibalik dinding tersebut tersimpan kesatria-kesatria gagah berani yang rela bertarung mempertahankan tanah air tercinta mereka sampai mati.
***

0 komentar: