Pages

Monday, August 2, 2010

Vandalha Chapter 1

-->
Val:
Kegelapan Mimpi





"Kegelapanku bersenandung,

dalam lantunan simfoni duka lara,

melodi ceceran darah dan gesekan pedang

Dalam kehilangan semua sama

Manusia jadi satu arah,

bengkokkan takdir seolah ia batang besi yang terbakar

Kegelapan tertawa"




Tak ada yang bisa kuceritakan lagi di sini selain tragedi pembunuhan massal yang terjadi di tanah ini. Lyonne, kota ini dan semua kepedihan yang kusaksikan, beserta diriku, Valcrist Leonard, adalah satu-satunya yang bisa bertahan dari gelombang serangan makhluk-makhluk ganas yang misterius bersama sekelompok orang yang kuanggap beruntung dapat selamat dari mereka.
Hari itu adalah hari Jumat. Tepat pukul 12 malam, muncul kepulan asap aneh dari barat disertai derap langkah kaki yang belum pernah kudengar sebelumnya. Bukan langkah kaki kuda, bukan pula manusia. Makhluk itu menyerang ketika awan pekat menyelimuti kota, dengan kelebat bayang-bayang bersama teriakan kepedihan dan rasa takut. Aku sempat menatap makhluk itu. Wajah mereka mirip manusia, namun dengan bentuk yang tidak wajar, ditambah lagi dengan cangkang mereka yang keras dan berduri, pandangan yang bengis, menatap dalam, menusuk jantung, dan teriakan yang menciutkan nyali. Wajah itu tak dapat kulupakan, menghantui setiap malamku. Andai saja waktu itu Jesse tidak menyelamatkanku... Ah, aku tak tahu mana yang lebih baik. Yang jelas, makhluk itu telah menebar teror di mana-mana, meninggalkan sisa luka yang takkan pernah hilang dari relung jiwa.
Di pagi yang dingin ini, tanggal 15 September 4865 Kalender Lucaian, kami berkumpul di alun-alun kota. Malam ini akan terjadi bulan purnama dan makhluk itu pasti akan kembali. Kami sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Anak-anak dan wanita berlindung di sebuah gedung tinggi penuh jebakan-jebakan yang tersisa dari serangan minggu lalu. Tak ada makhluk apapun yang sanggup menembus pertahanan seperti itu, jadi untuk sementara waktu, mereka aman. Seluruh pria yang masih kuat terus mempersiapkan barikade dengan pagar beton dan teralis besi untuk menahan mereka. Para tahanan penjara kota terpaksa dilepas untuk membantu kami. Terlihat jelas bahwa kota ini membutuhkan setiap kekuatan yang ada.
“Semua persiapan sudah beres, Val.” Sephia, satu-satunya anggota wanita dalam reguku datang melapor.
“Baiklah, sekarang kau temani mereka yang sedang berlindung di atas gedung. Biar aku yang mengurus bagian lain.”
Senja hampir bergulir. Surat yang kami kirim kepada Dewan Keamanan belum juga dibalas. Tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari kejauhan. Angin berhembus kencang secara mendadak. Ah, gejala mencurigakan ini membuatku cemas. Penjaga menara terlihat sangat gugup. Ia pun membunyikan sirine dan berteriak, “Semuanya! Turun dari atap gedung! Cepat! Perkiraan kita sala...aaakh!!!”
Teriakannya memecah keheningan. Sejurus kemudian belasan bahkan puluhan bayangan hitam berkelebat di udara. Tidak! Mereka menyerang atap gedung!
“Semuanya, berlindung!!” Teriakku. Secara refleks, aku segera berlari ke atas gedung.
Dengan perasaan yang bercampur aduk, aku merangsek masuk menembus barikade-barikade di dalam gedung sekuat tenaga, berharap bahwa masih ada orang yang selamat di atas sana. Namun, setibanya di atap, yang tersisa hanyalah ceceran darah di mana-mana.
Sesaat berikutnya aku sadar bahwa semuanya sudah terlambat. Mereka semua mati. Tidak ada lagi yang tersisa. Aku terduduk. Kini segala perasaan bersalah bergelayut di pundakku. Tak ada lagi tenaga untuk menangis, tapi aku tetap menangis walau hanya dalam hati.
Gebrakan dari pintu gerbang menyadarkanku dari lamunan. Makhluk itu hampir menembus kota. Kami semua bersiap-siap dan gebrakan terakhir itu pun menghancurkan pintu.
Makhluk-makhluk bermata bengis berhamburan dari kegelapan kabut malam, seakan cahaya purnama tak sedikitpun menerangi kota ini. Malam ini seluruh tenaga kami kerahkan. Suara ayunan pedang dan ceceran darah, juga teriakan kemarahan dan kepedihan menyatu dalam tragedi yang takkan pernah terlupakan dan terukir dalam sejarah kehancuran sebuah dunia. Kebangkitan tirani baru kini sekali lagi terjadi di tempat yang tak pernah terbayangkan. Lyonne, Kota Mata Air Berdarah.
Kami semakin kewalahan menghadapi gelombang serangan yang datang tanpa henti. Tapi bukan berarti kami tidak memiliki taktik apapun. Jumlah yang lebih besar tidak menjamin akan membawa mereka pada kemenangan. Bahkan, hal itu adalah kelemahan paling fatal yang mereka miliki.
Regu penahan serangan telah berhasil membawa sebagian besar pasukan musuh menuju titik yang sudah ditentukan, sebuah lapangan luas dengan gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Di sana, sebuah jebakan telah menunggu mereka. Begitu makhluk-makhluk tersebut memenuhi lapangan, para penembak jitu yang sebelumnya bersembunyi di dalam gedung melaksanakan tugas mereka. Ratusan panah dan peluru melesat menembus cangkang-cangkang menjijikkan mereka dan menimbulkan kekacauan.
“Baiklah, mereka sudah masuk. Sekarang giliran kita beraksi!” teriakku. “Dho! Kau yakin jebakan ini akan berhasil?”
“Sasaran sudah masuk penggorengan. Mereka itu seperti gerombolan otot yang idiot setengah mati. Mereka bahkan tidak tahu apa yang akan mengampiri mereka, jadi, ya. Aku yakin pasti berhasil! Kalau taktik ini gagal, kau boleh menikahi adikku!” teriak Dhowr dari seberang. Ia adalah anggota reguku yang menyarankan taktik ini. Semoga saja otak jeniusnya saat ini bisa benar-benar berguna.
Tak disangka, makhluk itu menjadi semakin beringas dan terus menekan pasukan penahan yang telah mengepung mereka. Jebakan belum juga dikeluarkan. Aneh, apa yang terjadi?
“Hei, Dho! Tunggu apa lagi? Cepat keluarkan jebakannya! Penggorengannya akan segera bocor!”
“Ada sedikit gangguan di sini. Aku tidak melihat satupun orang-orang napi! Sial, ke mana mereka?”
Makhluk-makhluk itu semakin brutal. Suasana menjadi benar-benar tak terkendali ketika salah satu barisan pasukan penahan berhasil ditembus. Mereka berhamburan keluar dan menerobos gedung-gedung tempat pasukan penembak jitu berada. Jika keadaan ini berlanjut, maka kami akan benar-benar celaka.
Di tengah-tengah kerusuhan itu, sebuah bola seukuran manusia dewasa melesat ke tengah-tengah kerumunan. Bola itu kemudian pecah dan menyemburkan cairan lengket berwarna hitam pekat. Keparat-keparat itu, akhirnya mereka datang juga! Gumamku.
“Maaf, kami terlambat, bos.” seorang pria berpakaian lusuh dengan jas rombeng dan gaya yang dilebih-lebihkan muncul dari arah selatan diikuti beberapa orang lainnya. Di belakang pria itu terdapat pula beberapa buah ketapel raksasa yang telah siap melontarkan bola-bola berisi minyak tanah dan tar yang amat lengket.
“Pasukan Lorong Setan melapor dan siap bertugas!”
“Bagus! Pasukan dengan nama norak, segera laksanakan tugas!” perintahku.
“Siap, bos!”
Bersamaan dengan itu, bola-bola minyak terus dilontarkan tanpa henti. Kami tak ingin memberi ruang kepada makhluk-makhluk tersebut untuk bergerak setelah melihat keganasan mereka pada serangan yang lalu. Seperti yang sering dikatakan Dhartu, kita harus melakukannya dengan benar jika ingin selamat dari serangan ini.
“Sulut apinya!” teriak si pria berpakaian lusuh. Seketika seluruh bola-bola minyak diganti dengan batu-batu yang membara.
Saat berikutnya adalah penghabisan. Minyak yang terbakar mengepung makhluk itu di tengah-tengah lapangan, menghanguskan mereka dengan hawa panas yang luar biasa.
"Magnus! Cepat pergi dari situ!" teriakku kepada kapten regu penahan.
"Tidak bisa! Entah butuh waktu berapa lama agar mereka bisa benar-benar mati dalam api itu.Tapi aku yakin benar makhluk-makhluk itu masih hidup di dalam sana. Biarkan kami menahan lebih lama lagi!"
"Jangan gila! Kau bisa ikut mati terpanggang di situ! Cepat mundur!"
"Hei, ngomong apa kau? Pangkatku lebih tinggi darimu, val. Kau tak bisa memberikan perintah kepadaku. Hahaha," jawab Magnus sambil tesenyum kecut. "Ayo, anak-anak! Dorong lebih keras! Jangan biarkan setan-setan itu menginjakkan kaki di rumah kita!" teriaknya lagi.
"Sialan kau, Magnus!" Akupun segera bergerak mundur menuju kerumunan pasukan narapidana karena api semakin membesar, meninggalkan Marcus dan regu penahan diselimuti kobaran api bersama para makhluk-makhluk tersebut di dalamnya. Semoga ini adalah keputusan yang tepat, pikirku.
Di dalam kerumunan pasukan narapidana yang tak teratur, seorang pria dengan jas lusuh berdiri di atas salah satu ketapel dengan santai. Orang-orang di sekitar duduk mengelilinginya seperti semacam pengawal. Konyol sekali. Tapi akal dan kemampuannya patut kuberi acungan jempol.
"Hai, bos. Sepertinya hari ini kita sukses besar," pria itu menyapa dengan gaya sok-sokan. 
“Kerja yang sangat bagus, nngg...” aku ingin memuji pria itu, tapi aku bahkan tak tahu namanya.
“Semua orang di penjara memanggilku ‘kakak’, tapi kau boleh memanggilku Leon.”
“Kerja yang bagus, Leon. Sekeluarnya dari penjara nanti, kuharap kau mau mendaftar menjadi pasukan penjaga Lyonne.”
"Ah, tidak mau ah. Repot," jawab Leon sekenanya.
"Ada apa? Apakah ada sesuatu hal yang membuatmu tak mau membela kotamu sendiri?"
"Gimana ya, bos. Ceritanya panjang. Anggap saja aku punya prinsipku sendiri dan jadi prajurit itu bertentangan dengan prinsipku," ia menjelaskan.
"Baiklah, terserah kau saja, Leon."
Aku menengadah ke atas. Udara terasa dingin dan angin masih berhembus kencang. Hmm? Sensasi apa ini? Sepertinya aku merasakan ada sesuatu yang aneh di sini.
Beberapa saat kemudian seorang prajurit datang menghampiriku dengan wajah penuh ketakutan.
“Val! Apinya....Apinya....”
“Ada apa dengan apinya? Kenapa tiba-tiba meredup?” tanyaku. Mustahil!
“Entahlah, tapi tiba-tiba saja api itu padam. Kau...kau lihat saja sendiri!” jawab prajurit itu dengan gugup.
Aku segera berlari menuju lapangan. Apa-apaan ini? Bagaimana bisa api sebesar itu tiba-tiba padam? Lalu bagaimana dengan Magnus dan regu penahan?
Sesampainya di sana, keadaan benar-benar menusuk akal sehatku. Api yang sebelumnya berkobar kini menghilang tanpa jejak, bahkan minyak dan tar yang sebelumnya melumuri seluruh lapangan juga lenyap. Kini hanya tersisa makhluk-makhluk jelek tersebut di sana, berdiri tegap seakan-akan tak terjadi apapun pada diri mereka. Yang aneh lagi, tak ada sedikitpun tanda-tanda dari regu penahan. Seolah-olah mereka hilang begitu saja ditelan bumi.
Suasana berubah mencekam. Tak ada seorangpun dari kami yang berani bergerak ataupun bersuara. Sia-sia sudah usaha keras kami memasang jebakan yang sedemikian sempurna setelah jebakan tersebut tiba-tiba menghilang tanpa jejak dan membuat kami semua membeku dalam ketakutan. Apa sudah tidak ada kesempatan lagi bagi kita untuk menang? Apakah semua pengorbanan tadi sungguh sia-sia?
Makhluk-makhluk itu mulai bergerak lagi. Namun kali ini gerak-gerik mereka terlihat sangat aneh. Mereka berjalan dengan teratur menuju keluar gerbang, seakan mengacuhkan kami yang terpaku melihat kejadian barusan.
Sesaat berikutnya, aku tersadar. Sekarang adalah kesempatan yang tepat untuk menutup kembali pintu gerbang!
“Ayo, semuanya, jangan biarkan mereka masuk lagi!” perintahku. Tanpa pikir panjang, seluruh pasukan segera berlari menuju gerbang.
Dengan perjuangan yang sangat melelahkan, kami akhirnya berhasil menyegel kembali seluruh gerbang kota dan untuk sementara waktu menahan makhluk-makhluk itu agar tidak kembali.
(gap, need something to be filled)
“Semuanya, berkumpul di barikade!” teriak Jesse, komandan pengganti Dhartu yang dikabarkan tewas di garis depan.
“Regu peledak ranjau, siapa ketua kalian?” tanya Jesse kepada kelompokku, pasukan yang bertanggung jawab atas jebakan-jebakan di seluruh kota.
Aku melangkah maju. Dengan langkah tegap namun penuh kegalauan, aku memberi hormat kepada Jesse yang juga merupakan kawanku sejak kecil.
Tak disangka, sebuah tinju keras mendarat di rahangku. Segalanya menjadi gelap selama beberapa detik karena kerasnya tinju itu. Setelahnya, hanya wajah penuh kemarahan Jesse yang kulihat.
“Bodoh! Bodoh! Kenapa kau tidak bisa memperkirakan kedatangan makhluk-makhluk terbang itu, hah? Kenapa tak ada sedikitpun rancangan jebakan yang terpasang untuk melawan makhluk terbang?! Lalu jelaskan padaku apa yang terjadi dengan regu penahan kita!!! Semua strategimu gagal total!” bentak Jesse.
Aku tertunduk. Kedatangan mereka memang sangat tidak terduga, tapi sudah menjadi tugasku sebagai ketua regu untuk memperkirakan segala hal-hal yang tak terduga semacam itu. Aku memang bodoh. Maafkan aku, Jess.
Jesse kemudian menepuk pundakku. Tatapannya berubah sayu dan penuh kelembutan.
“Kita telah kehilangan banyak orang hebat dalam pertarungan ini, tapi perjuangan belum berakhir. Aku masih membutuhkan bantuanmu, val. Sekarang, kau kuangkat menjadi wakil panglima komando dan kuperintahkan kau untuk memimpin pasukanmu menuju kemenangan!”

***

Sepi. Perang telah usai. Namun tiada lagi yang tersisa selain perasaan yang berkecamuk ini. Aku masih menyesali kebodohanku yang menyebabkan puluhan orang yang kucintai mati sia-sia. Aku gagal.
Sesaat aku terpaku menatap patung Lord Siphebsac yang selamat dari amukan setan-setan keparat itu. Kemegahan desain patung perunggu tua itu seakan memberikan semangat bagi siapapun yang melihatnya, dengan pose dan ekspresi wajah Lord Siphebsac yang karismatik dan sebuah batu permata yang berkilau di dadanya. Patung ini adalah satu-satunya peninggalan nenek moyang tertua Lyonne yang masih ada saat ini. Namun entah apa yang terjadi waktu itu sehingga dari semua tokoh terkenal yang pernah hidup di Lyonne, hanya pria ini, seorang jenderal Elf yang jelas-jelas bukan manusia, yang dibuatkan patung bahkan dengan desain terbaik pada zamannya.
"Mengagumkan, ya? Membayangkan dahulu kita dan bangsa Elf pernah berjuang bersama melindungi benua ini. Pasti keren sekali," komentar Dhowr yang tiba-tiba berdiri di sampingku.
"Ah, jangan terlalu dilebih-lebihkan. Mereka juga makhluk yang bisa berdarah seperti kita. Mereka bukan dewa," jawabku.
"Tetap saja mengagumkan. Kau tidak pernah membayangkan apa? Seandainya dulu tidak pernah ada perang besar di Arch Plain yang memusnahkan sebagian besar peradaban kaum Elf, mungkin mereka sudah menjadi ras paling dominan di benua ini."
"Yah, begitulah. Tapi takdir berkehendak lain kan? Begitulah nasib makhluk yang terlalu angkuh dengan teknologi mereka," sanggahku.
Tanpa ada peringatan apapun, tiba-tiba tanah di sekitar patung tersebut mulai berderak. Patung itu terangkat keatas dan nampak jelas sebuah menara perlahan muncul ke permukaan. Aku mundur beberapa langkah karena terkejut.
"Hei, kau tadi menyentuh sesuatu ya?" tuduh Dhowr.
"Apanya? Aku tidak melakukan apapun kok."
"Serius? Wow, ini benar-benar luar biasa! Hei, coba kau periksa ke dalam, siapa tahu ada sesuatu yang berguna di dalam. Senjata, tameng atau apapun. Aku akan memanggil teman-teman untuk membantu memeriksa," Dhowr pun segera berlalu.
Keajaiban seperti ini jarang sekali terjadi. Aku pernah membacanya di beberapa buku sejarah kota tentang menara bawah tanah pada zaman dahulu yang dapat muncul sendiri ke permukaan, tapi aku tak menduga kalau menara ini benar-benar ada! Tanpa ragu lagi kumasuki menara itu.
Aneh, seluruh ukiran di dinding menara ini belum pernah kulihat sebelumnya. Tapi aku merasakan sesuatu yang berbeda. Aku merasa nyaman. Seakan-akan tempat ini mengingatkanku kepada mimpi-mimpi tentang dunia baru yang penuh kebahagiaan. Ya, mimpiku yang takkan pernah menjadi nyata.
“Indah, kan? Mereka selalu menuliskan semuanya dengan sangat menyentuh. Seakan mereka menganggap semua yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sebagai sesuatu yang sakral.“ Suara Sephia membuatku terperanjat.
“Sep? Bagaimana kau bisa...“
“Ssshhh, coba perhatikan semua ukiran ini dulu dengan seksama.“ sela Sephia.
Serentetan pertanyaan sebenarnya ingin kutujukan kepadanya. Kepada seorang wanita yang semalam berada di atap gedung dan…Ah, sungguh tidak masuk akal!
Aku menuruti perkataannya dan mulai mengamati hingga bagian terakhir dari ukiran dinding tersebut.
“Orang-orang ini... menangis?“
“Bukan. Itu adalah pertanda mereka pernah meninggalkan sesuatu di tempat ini. “
“Maksudmu?“
“Bangsa Vnah. Mereka pernah tinggal di sini. Aku telah lama mempelajarinya di perpustakaan pusat di Rhan. Bangsa Vnah adalah salah satu dari ras yang paling unggul di bumi. Bahkan tingkat kecerdasan mereka jauh di atas manusia. 12 abad yang lalu peradaban mereka bahkan jauh lebih maju dari kita saat ini. Hingga akhirnya suatu hari mereka dihancurkan oleh suatu kekuatan misterius,” Jelas Sephia.
“Hah?“
Aku memang tidak terlalu tertarik dengan sejarah yang tidak jelas seperti bangsa Vnah itu. Terlalu rumit dan tidak masuk akal. Tapi sepertinya penjelasan Sephia tadi cukup menarik perhatianku.
“Belakangan ini ditemukan bukti bahwa mereka pernah mendiami Lyonne. Mungkin menara ini salah satu buktinya.“
“Dan?“ aku mulai penasaran.
“Apa kau mengerti maksud ucapanku?“
“Ng, tidak,“ Jawabku. “Tapi ada satu hal yang seharusnya kutanyakan sejak awal.”
“Soal semalam?”
“Ya. Mereka membunuh semua yang ada di atas gedung, tapi kenapa hanya kau yang selamat?”
“Mereka tidak dibunuh. Makhluk itu hanya menculik beberapa orang,” terang Sephia.
“Tapi di atas sana ada banyak ceceran darah. Apa yang terjadi?” aku makin penasaran. Ini benar-benar tidak masuk akal.
“Ceritanya panjang. Intinya, salah satu dari mereka kubunuh dan darah yang berceceran mengacaukan penciuman mereka, jadi aku bisa membawa keluar orang-orang di atas dengan selamat. Sepertinya makhluk-makhluk terbang itu memiliki penglihatan buruk dan mengandalkan penciuman.”
“Tapi bagaimana caranya kau...”
Tiba-tiba Sephia mengeluarkan sebuah alat dari sakunya. Sebuah kait yang kemudian ia lontarkan ke langit-langit. Dalam sekejap, ia sudah bertengger di atas seperti seekor kelelawar.
“Dengan cara ninja,” jawabnya enteng.
“Sial, sudah belasan tahun aku mengenalmu, tapi kau selalu saja mengejutkanku. Jadi begini caramu menyelamatkan mereka? “
“Yap, dan masih ada banyak trik lagi yang bisa kuajarkan padamu jika kau mau.”
“Ah, tidak. Aku cari orang lain saja. Bisa-bisa harga diriku jatuh karena berguru pada wanita yang tiga tahun lebih muda dariku,” jawabku.
“Dasar sok jagoan,” ia lalu turun dari langit-langit dan menatapku dengan pandangan mengejek. Tanpa basa-basi ia langsung menyeretku yang masih berdiri kebingungan keluar.
Beberapa saat kemudian Jesse datang menghampiriku. Di saat yang bersamaan, Dhowr dan satu regu pasukan memasuki menara untuk memeriksa apakah ada persenjataan di dalamnya.
“Surat dari Dewan Keamanan Vandalha sudah datang, val. Mereka akan mengirim pasukan pengawal dan membawa kita pergi dari sini. Tapi kapal mereka hanya cukup untuk mengangkut setengah dari kita. Daratan Utama juga sedang dalam keadaan darurat.,” jelasnya. “Menurutku, sebaiknya kita kirim saja mereka yang sudah tua dahulu.”
“Tunggu dulu! “ sela Sephia.“ Bagaimana dengan wanita dan anak-anak?”
“Bukankah mereka sudah...” Jesse menghentikan ucapannya.
“Kau pikir aku akan lari meninggalkan mereka begitu saja?”
“Lalu sekarang mereka sembunyi di mana?”
“Di bekas rumahmu, jawab Sephia. Wajahnya terlihat agak mengejek saat mengatakan ‘bekas’ yang mungkin juga sengaja ia tekankan karena rumah itu sekarang hanya sebuah reruntuhan tua tak berpenghuni.
“Hmm, mungkin sebaiknya kita pergi bersama-sama.” Komentarku.
“Tidak. Perjalanan panjang dengan orang yang terlalu banyak sangat berbahaya,” sela Jesse.
“Jadi bagaimana sebaiknya?” tanyaku lagi.
“Kita pecah rombongan menjadi dua. Yang satu seluruh anak-anak dan wanita beserta pasukanmu, dan sisanya di sini bersama pasukanku. Aku yakin setelah serangan kemarin mereka telah kehilangan banyak pasukan,” jawabnya.
Dua hari kemudian, pasukan Dewan Keamanan Vandalha pun tiba. Rencana pun berubah. Pasukan pengintai mengatakan bahwa makhluk tersebut telah membentuk kekuatan besar di utara dan mengadakan ekspansi menuju daerah di sebelah selatan dari tempat mereka bermarkas. Itu berarti cepat atau lambat mereka akan sampai kemari, dan jika itu terjadi, maka takkan ada lagi yang tersisa. Dewan Keamanan juga telah mengirimkan dua bala bantuan dari dua tempat yang berbeda. dari arah timur  menggunakan kapal dan di timur laut melalui jalur darat yang panjang. Sebagian pasukan akan membawa wanita dan anak-anak melalui jalur laut yang cukup aman, sedangkan sisanya melalui jalur darat yang masih menjadi misteri. Setidaknya, itulah satu-satunya harapan kami. Aku dan Sephia akan bergabung dengan kelompok yang melalui jalur laut sedangkan Jesse akan bersama kelompok yang melalui jalur darat.
Dewan Keamanan Vandalha merupakan sebuah pakta pertahanan raksasa yang dibentuk oleh aliansi kerajaan seluruh Vandalha untuk melindungi benua ini dari serangan luar. Dewan tersebut dipimpin oleh seorang jenderal yang terpilih melalui serangkaian tes kepahlawanan yang rumit. Identitas jenderal tersebut kemudian disembunyikan dari masyarakat luas sehingga tidak ada yang pernah tahu, siapa sebenarnya pemimpin angkatan bersenjata terbesar di Vandalha ini. Mantan pahlawan perangkah? Atau hanya seorang anak ingusan yang baru saja belajar berkelahi? Terlepas dari itu semua, Dewan Keamanan selalu penuh perhitungan dalam melakukan tindakan dan selalu dapat memperkirakan apa yang akan terjadi dengan teliti. Sungguh angkatan bersenjata yang sangat hebat dan mengagumkan.
Kini harapan semakin terlihat jelas, dan kami takkan melepaskannya begitu saja.

***

0 komentar: