Val:
Kegelapan Mimpi
"Kegelapanku
bersenandung,
dalam
lantunan simfoni duka lara,
melodi
ceceran darah dan gesekan pedang
Dalam
kehilangan semua sama
Manusia
jadi satu arah,
bengkokkan
takdir seolah ia batang besi yang terbakar
Kegelapan
tertawa"
Tak ada yang bisa kuceritakan lagi
di sini selain tragedi pembunuhan massal yang terjadi di tanah ini. Lyonne,
kota ini dan semua kepedihan yang kusaksikan, beserta diriku, Valcrist Leonard,
adalah satu-satunya yang bisa bertahan dari gelombang serangan makhluk-makhluk ganas
yang misterius bersama sekelompok orang yang kuanggap beruntung dapat selamat
dari mereka.
Hari itu adalah hari Jumat.
Tepat pukul 12 malam, muncul kepulan asap aneh dari barat disertai derap
langkah kaki yang belum pernah kudengar sebelumnya. Bukan langkah kaki kuda,
bukan pula manusia. Makhluk itu menyerang ketika awan pekat menyelimuti kota,
dengan kelebat bayang-bayang bersama teriakan kepedihan dan rasa takut. Aku
sempat menatap makhluk itu. Wajah mereka mirip manusia, namun dengan bentuk
yang tidak wajar, ditambah lagi dengan cangkang mereka yang keras dan berduri,
pandangan yang bengis, menatap dalam, menusuk jantung, dan teriakan yang
menciutkan nyali. Wajah itu tak dapat kulupakan, menghantui setiap malamku.
Andai saja waktu itu Jesse tidak menyelamatkanku... Ah, aku tak tahu mana yang
lebih baik. Yang jelas, makhluk itu telah menebar teror di mana-mana, meninggalkan
sisa luka yang takkan pernah hilang dari relung jiwa.
Di pagi yang dingin ini, tanggal
15 September 4865 Kalender Lucaian,
kami berkumpul di alun-alun kota.
Malam ini akan terjadi bulan purnama dan makhluk itu pasti akan kembali. Kami
sudah mempersiapkan segala kemungkinan. Anak-anak dan wanita berlindung di
sebuah gedung tinggi penuh jebakan-jebakan yang tersisa dari serangan minggu
lalu. Tak ada makhluk apapun yang sanggup menembus pertahanan seperti itu, jadi
untuk sementara waktu, mereka aman. Seluruh pria yang masih kuat terus
mempersiapkan barikade dengan pagar beton dan teralis besi untuk menahan
mereka. Para tahanan penjara kota terpaksa dilepas untuk membantu kami. Terlihat
jelas bahwa kota ini membutuhkan setiap kekuatan yang ada.
“Semua persiapan sudah beres,
Val.” Sephia, satu-satunya
anggota wanita dalam reguku datang melapor.
“Baiklah, sekarang kau temani mereka
yang sedang berlindung di atas gedung. Biar aku yang mengurus bagian lain.”
Senja hampir bergulir. Surat
yang kami kirim kepada Dewan Keamanan belum juga dibalas. Tiba-tiba terdengar
suara gemuruh dari kejauhan. Angin berhembus kencang secara mendadak. Ah,
gejala mencurigakan ini membuatku cemas. Penjaga menara terlihat sangat gugup.
Ia pun membunyikan sirine dan berteriak, “Semuanya! Turun dari atap gedung!
Cepat! Perkiraan kita sala...aaakh!!!”
Teriakannya memecah
keheningan. Sejurus kemudian belasan bahkan puluhan bayangan hitam berkelebat
di udara. Tidak! Mereka menyerang atap gedung!
“Semuanya, berlindung!!”
Teriakku. Secara refleks, aku segera berlari ke atas gedung.
Dengan perasaan yang bercampur
aduk, aku merangsek masuk menembus barikade-barikade di dalam gedung sekuat
tenaga, berharap bahwa masih ada orang yang selamat di atas sana. Namun,
setibanya di atap, yang tersisa hanyalah ceceran darah di mana-mana.
Sesaat berikutnya aku sadar
bahwa semuanya sudah terlambat. Mereka semua mati. Tidak ada lagi yang tersisa.
Aku terduduk. Kini segala perasaan bersalah bergelayut di pundakku. Tak ada
lagi tenaga untuk menangis, tapi aku tetap menangis walau hanya dalam hati.
Gebrakan dari pintu gerbang
menyadarkanku dari lamunan. Makhluk itu hampir menembus kota. Kami semua
bersiap-siap dan gebrakan terakhir itu pun menghancurkan pintu.
Makhluk-makhluk bermata bengis
berhamburan dari kegelapan kabut malam, seakan cahaya purnama tak sedikitpun
menerangi kota ini. Malam ini seluruh tenaga kami kerahkan. Suara ayunan pedang
dan ceceran darah, juga teriakan kemarahan dan kepedihan menyatu dalam tragedi
yang takkan pernah terlupakan dan terukir dalam sejarah kehancuran sebuah dunia.
Kebangkitan tirani baru kini sekali lagi terjadi di tempat yang tak pernah
terbayangkan. Lyonne, Kota Mata Air Berdarah.
Kami semakin kewalahan
menghadapi gelombang serangan yang datang tanpa henti. Tapi bukan berarti kami
tidak memiliki taktik apapun. Jumlah yang lebih besar tidak menjamin akan
membawa mereka pada kemenangan. Bahkan, hal itu adalah kelemahan paling fatal
yang mereka miliki.
Regu penahan serangan telah
berhasil membawa sebagian besar pasukan musuh menuju titik yang sudah
ditentukan, sebuah lapangan luas dengan gedung-gedung tinggi di sekitarnya. Di
sana, sebuah jebakan telah menunggu mereka. Begitu makhluk-makhluk tersebut
memenuhi lapangan, para penembak jitu yang sebelumnya bersembunyi di dalam gedung
melaksanakan tugas mereka. Ratusan panah dan peluru melesat menembus
cangkang-cangkang menjijikkan mereka dan menimbulkan kekacauan.
“Baiklah, mereka sudah masuk.
Sekarang giliran kita beraksi!” teriakku. “Dho! Kau yakin jebakan ini akan
berhasil?”
“Sasaran sudah masuk
penggorengan. Mereka itu seperti gerombolan otot yang idiot setengah mati.
Mereka bahkan tidak tahu apa yang akan mengampiri mereka, jadi, ya. Aku yakin
pasti berhasil! Kalau taktik ini gagal, kau boleh menikahi adikku!” teriak Dhowr
dari seberang. Ia adalah anggota reguku yang menyarankan taktik ini. Semoga
saja otak jeniusnya saat ini bisa benar-benar berguna.
Tak disangka, makhluk itu
menjadi semakin beringas dan terus menekan pasukan penahan yang telah mengepung
mereka. Jebakan belum juga dikeluarkan. Aneh, apa yang terjadi?
“Hei, Dho! Tunggu apa lagi?
Cepat keluarkan jebakannya! Penggorengannya akan segera bocor!”
“Ada sedikit gangguan di sini.
Aku tidak melihat satupun orang-orang napi! Sial, ke mana mereka?”
Makhluk-makhluk itu semakin
brutal. Suasana menjadi benar-benar tak terkendali ketika salah satu barisan
pasukan penahan berhasil ditembus. Mereka berhamburan keluar dan menerobos
gedung-gedung tempat pasukan penembak jitu berada. Jika keadaan ini berlanjut,
maka kami akan benar-benar celaka.
Di tengah-tengah kerusuhan
itu, sebuah bola seukuran manusia dewasa melesat ke tengah-tengah kerumunan.
Bola itu kemudian pecah dan menyemburkan cairan lengket berwarna hitam pekat. Keparat-keparat
itu, akhirnya mereka datang juga! Gumamku.
“Maaf, kami terlambat, bos.”
seorang pria berpakaian lusuh dengan jas rombeng dan gaya yang dilebih-lebihkan
muncul dari arah selatan diikuti beberapa orang lainnya. Di belakang pria itu
terdapat pula beberapa buah ketapel raksasa yang telah siap melontarkan
bola-bola berisi minyak tanah dan tar yang amat lengket.
“Pasukan Lorong Setan melapor
dan siap bertugas!”
“Bagus! Pasukan dengan nama
norak, segera laksanakan tugas!” perintahku.
“Siap, bos!”
Bersamaan dengan itu,
bola-bola minyak terus dilontarkan tanpa henti. Kami tak ingin memberi ruang
kepada makhluk-makhluk tersebut untuk bergerak setelah melihat keganasan mereka
pada serangan yang lalu. Seperti yang sering dikatakan Dhartu, kita harus
melakukannya dengan benar jika ingin selamat dari serangan ini.
“Sulut apinya!” teriak si pria
berpakaian lusuh. Seketika seluruh bola-bola minyak diganti dengan batu-batu
yang membara.
Saat berikutnya adalah
penghabisan. Minyak yang terbakar mengepung makhluk itu di tengah-tengah
lapangan, menghanguskan mereka dengan hawa panas yang luar biasa.
"Magnus! Cepat pergi dari
situ!" teriakku kepada kapten regu penahan.
"Tidak bisa! Entah butuh
waktu berapa lama agar mereka bisa benar-benar mati dalam api itu.Tapi aku
yakin benar makhluk-makhluk itu masih hidup di dalam sana. Biarkan kami menahan
lebih lama lagi!"
"Jangan gila! Kau bisa
ikut mati terpanggang di situ! Cepat mundur!"
"Hei, ngomong apa kau?
Pangkatku lebih tinggi darimu, val. Kau tak bisa memberikan perintah kepadaku.
Hahaha," jawab Magnus sambil tesenyum kecut. "Ayo, anak-anak! Dorong
lebih keras! Jangan biarkan setan-setan itu menginjakkan kaki di rumah
kita!" teriaknya lagi.
"Sialan kau,
Magnus!" Akupun segera bergerak mundur menuju kerumunan pasukan narapidana
karena api semakin membesar, meninggalkan Marcus dan regu penahan diselimuti
kobaran api bersama para makhluk-makhluk tersebut di dalamnya. Semoga ini
adalah keputusan yang tepat, pikirku.
Di dalam kerumunan pasukan
narapidana yang tak teratur, seorang pria dengan jas lusuh berdiri di atas
salah satu ketapel dengan santai. Orang-orang di sekitar duduk mengelilinginya
seperti semacam pengawal. Konyol sekali. Tapi akal dan kemampuannya patut
kuberi acungan jempol.
"Hai, bos. Sepertinya
hari ini kita sukses besar," pria itu menyapa dengan gaya sok-sokan.
“Kerja yang sangat bagus,
nngg...” aku ingin memuji pria itu, tapi aku bahkan tak tahu namanya.
“Semua orang di penjara
memanggilku ‘kakak’, tapi kau boleh memanggilku Leon.”
“Kerja yang bagus, Leon.
Sekeluarnya dari penjara nanti, kuharap kau mau mendaftar menjadi pasukan
penjaga Lyonne.”
"Ah, tidak mau ah.
Repot," jawab Leon sekenanya.
"Ada apa? Apakah ada
sesuatu hal yang membuatmu tak mau membela kotamu sendiri?"
"Gimana ya, bos.
Ceritanya panjang. Anggap saja aku punya prinsipku sendiri dan jadi prajurit itu
bertentangan dengan prinsipku," ia menjelaskan.
"Baiklah, terserah kau
saja, Leon."
Aku menengadah ke atas. Udara
terasa dingin dan angin masih berhembus kencang. Hmm? Sensasi apa ini?
Sepertinya aku merasakan ada sesuatu yang aneh di sini.
Beberapa saat kemudian seorang
prajurit datang menghampiriku dengan wajah penuh ketakutan.
“Val! Apinya....Apinya....”
“Ada apa dengan apinya? Kenapa
tiba-tiba meredup?” tanyaku. Mustahil!
“Entahlah, tapi tiba-tiba saja
api itu padam. Kau...kau lihat saja sendiri!” jawab prajurit itu dengan gugup.
Aku segera berlari menuju
lapangan. Apa-apaan ini? Bagaimana bisa api sebesar itu tiba-tiba padam? Lalu
bagaimana dengan Magnus dan regu penahan?
Sesampainya di sana, keadaan
benar-benar menusuk akal sehatku. Api yang sebelumnya berkobar kini menghilang
tanpa jejak, bahkan minyak dan tar yang sebelumnya melumuri seluruh lapangan
juga lenyap. Kini hanya tersisa makhluk-makhluk jelek tersebut di sana, berdiri
tegap seakan-akan tak terjadi apapun pada diri mereka. Yang aneh lagi, tak ada
sedikitpun tanda-tanda dari regu penahan. Seolah-olah mereka hilang begitu saja
ditelan bumi.
Suasana berubah mencekam. Tak
ada seorangpun dari kami yang berani bergerak ataupun bersuara. Sia-sia sudah usaha
keras kami memasang jebakan yang sedemikian sempurna setelah jebakan tersebut
tiba-tiba menghilang tanpa jejak dan membuat kami semua membeku dalam
ketakutan. Apa sudah tidak ada kesempatan lagi bagi kita untuk menang? Apakah
semua pengorbanan tadi sungguh sia-sia?
Makhluk-makhluk itu mulai bergerak
lagi. Namun kali ini gerak-gerik mereka terlihat sangat aneh. Mereka berjalan
dengan teratur menuju keluar gerbang, seakan mengacuhkan kami yang terpaku
melihat kejadian barusan.
Sesaat berikutnya, aku
tersadar. Sekarang adalah kesempatan yang tepat untuk menutup kembali pintu
gerbang!
“Ayo, semuanya, jangan biarkan
mereka masuk lagi!” perintahku. Tanpa pikir panjang, seluruh pasukan segera
berlari menuju gerbang.
Dengan perjuangan yang sangat
melelahkan, kami akhirnya berhasil menyegel kembali seluruh gerbang kota dan
untuk sementara waktu menahan makhluk-makhluk itu agar tidak kembali.
(gap, need something to be filled)
“Semuanya, berkumpul di
barikade!” teriak Jesse, komandan pengganti Dhartu yang dikabarkan tewas di
garis depan.
“Regu peledak ranjau, siapa
ketua kalian?” tanya Jesse kepada kelompokku, pasukan yang bertanggung jawab
atas jebakan-jebakan di seluruh kota.
Aku melangkah maju. Dengan
langkah tegap namun penuh kegalauan, aku memberi hormat kepada Jesse yang juga
merupakan kawanku sejak kecil.
Tak disangka, sebuah tinju
keras mendarat di rahangku. Segalanya menjadi gelap selama beberapa detik
karena kerasnya tinju itu. Setelahnya, hanya wajah penuh kemarahan Jesse yang
kulihat.
“Bodoh! Bodoh! Kenapa kau
tidak bisa memperkirakan kedatangan makhluk-makhluk terbang itu, hah? Kenapa
tak ada sedikitpun rancangan jebakan yang terpasang untuk melawan makhluk
terbang?! Lalu jelaskan padaku apa yang terjadi dengan regu penahan kita!!!
Semua strategimu gagal total!” bentak Jesse.
Aku tertunduk. Kedatangan
mereka memang sangat tidak terduga, tapi sudah menjadi tugasku sebagai ketua
regu untuk memperkirakan segala hal-hal yang tak terduga semacam itu. Aku
memang bodoh. Maafkan aku, Jess.
Jesse kemudian menepuk
pundakku. Tatapannya berubah sayu dan penuh kelembutan.
“Kita telah kehilangan banyak
orang hebat dalam pertarungan ini, tapi perjuangan belum berakhir. Aku masih
membutuhkan bantuanmu, val. Sekarang, kau kuangkat menjadi wakil panglima
komando dan kuperintahkan kau untuk memimpin pasukanmu menuju kemenangan!”
***
Sepi. Perang telah usai. Namun
tiada lagi yang tersisa selain perasaan yang berkecamuk ini. Aku masih
menyesali kebodohanku yang menyebabkan puluhan orang yang kucintai mati
sia-sia. Aku gagal.
Sesaat aku terpaku menatap
patung Lord Siphebsac yang selamat
dari amukan setan-setan keparat itu. Kemegahan desain patung perunggu tua itu
seakan memberikan semangat bagi siapapun yang melihatnya, dengan pose dan
ekspresi wajah Lord Siphebsac yang
karismatik dan sebuah batu permata yang berkilau di dadanya. Patung ini adalah
satu-satunya peninggalan nenek moyang tertua Lyonne yang masih ada saat ini.
Namun entah apa yang terjadi waktu itu sehingga dari semua tokoh terkenal yang
pernah hidup di Lyonne, hanya pria ini, seorang jenderal Elf yang jelas-jelas bukan manusia, yang dibuatkan patung bahkan
dengan desain terbaik pada zamannya.
"Mengagumkan, ya?
Membayangkan dahulu kita dan bangsa Elf pernah berjuang bersama melindungi
benua ini. Pasti keren sekali," komentar Dhowr yang tiba-tiba berdiri di
sampingku.
"Ah, jangan terlalu
dilebih-lebihkan. Mereka juga makhluk yang bisa berdarah seperti kita. Mereka
bukan dewa," jawabku.
"Tetap saja mengagumkan.
Kau tidak pernah membayangkan apa? Seandainya dulu tidak pernah ada perang
besar di Arch Plain yang memusnahkan
sebagian besar peradaban kaum Elf, mungkin mereka sudah menjadi ras paling
dominan di benua ini."
"Yah, begitulah. Tapi
takdir berkehendak lain kan? Begitulah nasib makhluk yang terlalu angkuh dengan
teknologi mereka," sanggahku.
Tanpa ada peringatan apapun,
tiba-tiba tanah di sekitar patung tersebut mulai berderak. Patung itu terangkat
keatas dan nampak jelas sebuah menara perlahan muncul ke permukaan. Aku mundur
beberapa langkah karena terkejut.
"Hei, kau tadi menyentuh
sesuatu ya?" tuduh Dhowr.
"Apanya? Aku tidak
melakukan apapun kok."
"Serius? Wow, ini
benar-benar luar biasa! Hei, coba kau periksa ke dalam, siapa tahu ada sesuatu
yang berguna di dalam. Senjata, tameng atau apapun. Aku akan memanggil
teman-teman untuk membantu memeriksa," Dhowr pun segera berlalu.
Keajaiban seperti ini jarang
sekali terjadi. Aku pernah membacanya di beberapa buku sejarah kota tentang
menara bawah tanah pada zaman dahulu yang dapat muncul sendiri ke permukaan,
tapi aku tak menduga kalau menara ini benar-benar ada! Tanpa ragu lagi kumasuki
menara itu.
Aneh, seluruh ukiran di
dinding menara ini belum pernah kulihat sebelumnya. Tapi aku merasakan sesuatu
yang berbeda. Aku merasa nyaman. Seakan-akan tempat ini mengingatkanku kepada
mimpi-mimpi tentang dunia baru yang penuh kebahagiaan. Ya, mimpiku yang takkan
pernah menjadi nyata.
“Indah, kan? Mereka selalu
menuliskan semuanya dengan sangat menyentuh. Seakan mereka menganggap semua
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari sebagai sesuatu yang sakral.“ Suara
Sephia membuatku terperanjat.
“Sep? Bagaimana kau bisa...“
“Ssshhh, coba perhatikan semua
ukiran ini dulu dengan seksama.“ sela Sephia.
Serentetan pertanyaan sebenarnya
ingin kutujukan kepadanya. Kepada seorang wanita yang semalam berada di atap
gedung dan…Ah, sungguh tidak masuk akal!
Aku menuruti perkataannya dan
mulai mengamati hingga bagian terakhir dari ukiran
dinding tersebut.
“Orang-orang ini... menangis?“
“Bukan. Itu adalah pertanda
mereka pernah meninggalkan sesuatu di tempat ini. “
“Maksudmu?“
“Bangsa Vnah. Mereka pernah tinggal di sini. Aku telah lama mempelajarinya
di perpustakaan pusat di Rhan. Bangsa
Vnah adalah salah satu dari ras yang paling unggul di bumi. Bahkan tingkat
kecerdasan mereka jauh di atas manusia. 12 abad yang lalu peradaban mereka bahkan
jauh lebih maju dari kita saat ini. Hingga akhirnya suatu hari mereka
dihancurkan oleh suatu kekuatan misterius,” Jelas Sephia.
“Hah?“
Aku memang tidak terlalu
tertarik dengan sejarah yang tidak jelas seperti bangsa Vnah itu. Terlalu rumit
dan tidak masuk akal. Tapi sepertinya penjelasan Sephia tadi cukup menarik
perhatianku.
“Belakangan ini ditemukan
bukti bahwa mereka pernah mendiami Lyonne. Mungkin menara ini salah satu
buktinya.“
“Dan?“ aku mulai penasaran.
“Apa kau mengerti maksud
ucapanku?“
“Ng, tidak,“ Jawabku. “Tapi
ada satu hal yang seharusnya kutanyakan sejak awal.”
“Soal semalam?”
“Ya. Mereka membunuh semua
yang ada di atas gedung, tapi kenapa hanya kau yang selamat?”
“Mereka tidak dibunuh. Makhluk
itu hanya menculik beberapa orang,” terang Sephia.
“Tapi di atas sana ada banyak
ceceran darah. Apa yang terjadi?” aku makin penasaran. Ini benar-benar tidak
masuk akal.
“Ceritanya panjang. Intinya,
salah satu dari mereka kubunuh dan darah yang berceceran mengacaukan penciuman
mereka, jadi aku bisa membawa keluar orang-orang di atas dengan selamat.
Sepertinya makhluk-makhluk terbang itu memiliki penglihatan buruk dan
mengandalkan penciuman.”
“Tapi bagaimana caranya
kau...”
Tiba-tiba Sephia mengeluarkan sebuah
alat dari sakunya. Sebuah kait yang kemudian ia lontarkan ke langit-langit.
Dalam sekejap, ia sudah bertengger di atas seperti seekor kelelawar.
“Dengan cara ninja,” jawabnya
enteng.
“Sial, sudah belasan tahun aku
mengenalmu, tapi kau selalu saja mengejutkanku. Jadi begini caramu menyelamatkan
mereka? “
“Yap, dan masih ada banyak
trik lagi yang bisa kuajarkan padamu jika kau mau.”
“Ah, tidak. Aku cari orang
lain saja. Bisa-bisa harga diriku jatuh karena berguru pada wanita yang tiga
tahun lebih muda dariku,” jawabku.
“Dasar sok jagoan,” ia lalu
turun dari langit-langit dan menatapku dengan pandangan mengejek. Tanpa
basa-basi ia langsung menyeretku yang masih berdiri kebingungan keluar.
Beberapa saat kemudian Jesse
datang menghampiriku. Di saat yang bersamaan, Dhowr dan satu regu pasukan
memasuki menara untuk memeriksa apakah ada persenjataan di dalamnya.
“Surat dari Dewan Keamanan
Vandalha sudah datang, val. Mereka akan mengirim pasukan pengawal dan membawa
kita pergi dari sini. Tapi kapal mereka hanya cukup untuk mengangkut setengah
dari kita. Daratan Utama juga sedang dalam keadaan darurat.,” jelasnya. “Menurutku,
sebaiknya kita kirim saja mereka yang sudah tua dahulu.”
“Tunggu dulu! “ sela Sephia.“
Bagaimana dengan wanita dan anak-anak?”
“Bukankah mereka sudah...” Jesse
menghentikan ucapannya.
“Kau pikir aku akan lari
meninggalkan mereka begitu saja?”
“Lalu sekarang mereka sembunyi
di mana?”
“Di ‘bekas’ rumahmu, ” jawab Sephia. Wajahnya
terlihat agak mengejek saat mengatakan ‘bekas’ yang mungkin juga sengaja ia
tekankan karena rumah itu sekarang hanya sebuah reruntuhan tua tak berpenghuni.
“Hmm, mungkin sebaiknya kita
pergi bersama-sama.” Komentarku.
“Tidak. Perjalanan panjang
dengan orang yang terlalu banyak sangat berbahaya,” sela Jesse.
“Jadi bagaimana sebaiknya?”
tanyaku lagi.
“Kita pecah rombongan menjadi
dua. Yang satu seluruh anak-anak dan wanita beserta pasukanmu, dan sisanya di
sini bersama pasukanku. Aku yakin setelah serangan kemarin mereka telah
kehilangan banyak pasukan,” jawabnya.
Dua hari kemudian, pasukan Dewan
Keamanan Vandalha pun tiba. Rencana pun berubah. Pasukan pengintai mengatakan
bahwa makhluk tersebut telah membentuk kekuatan besar di utara dan mengadakan
ekspansi menuju daerah di sebelah selatan dari tempat mereka bermarkas. Itu
berarti cepat atau lambat mereka akan sampai kemari, dan jika itu terjadi, maka
takkan ada lagi yang tersisa. Dewan Keamanan juga telah mengirimkan dua bala
bantuan dari dua tempat yang berbeda. dari arah timur menggunakan kapal dan di timur laut melalui jalur
darat yang panjang. Sebagian pasukan akan membawa wanita dan anak-anak melalui
jalur laut yang cukup aman, sedangkan sisanya melalui jalur darat yang masih
menjadi misteri. Setidaknya, itulah satu-satunya harapan kami. Aku dan Sephia
akan bergabung dengan kelompok yang melalui jalur laut sedangkan Jesse akan
bersama kelompok yang melalui jalur darat.
Dewan Keamanan Vandalha
merupakan sebuah pakta pertahanan raksasa yang dibentuk oleh aliansi kerajaan
seluruh Vandalha untuk melindungi benua ini dari serangan luar. Dewan tersebut
dipimpin oleh seorang jenderal yang terpilih melalui serangkaian tes
kepahlawanan yang rumit. Identitas jenderal tersebut kemudian disembunyikan
dari masyarakat luas sehingga tidak ada yang pernah tahu, siapa sebenarnya
pemimpin angkatan bersenjata terbesar di Vandalha ini. Mantan pahlawan
perangkah? Atau hanya seorang anak ingusan yang baru saja belajar berkelahi? Terlepas
dari itu semua, Dewan Keamanan selalu penuh perhitungan dalam melakukan
tindakan dan selalu dapat memperkirakan apa yang akan terjadi dengan teliti.
Sungguh angkatan bersenjata yang sangat hebat dan mengagumkan.
Kini harapan semakin terlihat
jelas, dan kami takkan melepaskannya begitu saja.
***
0 komentar:
Post a Comment