Pages

Monday, August 2, 2010

Vandalha Chapter 4

-->

Sephia:
Sayap-Sayap Kematian

Ah, sial, tempat aneh apa ini? Sebuah ruangan luas dengan pemandangan yang begitu monoton, saking monotonnya sampai aku tak bisa lagi memahami mana atas dan mana bawah. Sejauh mata memandang hanya ada tembok putih dan langit-langit putih. Ataukah memang sebenarnya tempat ini tak berujung sehingga nampak putih seperti ini? Oh, aku melupakan sesuatu! Saymen! Di mana pria aneh penjelajah waktu itu?
“Saymen! Saymen! Di mana kau?“ teriakku. Tak ada jawaban. Coba kuingat sebentar. Beberapa saat yang lalu Val menghampiriku dan tiba-tiba aku terbangun di tempat ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Sial. Aku tak bisa ingat sama sekali.
“Tentu saja. Karena kau berada di Time Void, ingatanmu sedikit demi sedikit akan menghilang, nona,“ seorang pria aneh berjubah merah tiba-tiba muncul di hadapanku.
“Siapa kau? Apa maksud perkataanmu barusan?“
“Oh, rupanya Saymen belum memberitahu maksud kedatanganku dengan gamblang, ya? Perkenalkan, namaku Red. Jika kau bertanya apakah itu nama asliku, ya, itu namaku sejak lahir. Bangsa kami memang suka memberi nama seenaknya. Nama memang indah, tapi takkan berarti jika kau tak mengingatnya kan?“ jelas Red panjang lebar.
“Memangnya aku peduli?“ jawabku. Pria ini menyebalkan.
“Oh, kau sungguh tajam, nona. Tidak bisakah kita berbicara dengan sedikit keakraban di sini?“
“Tidak akan pernah kuladeni, tuan besar. Dengar ya, mungkin kau pikir kau bisa merayuku dengan berlagak sopan seperti itu, tapi aku takkan pernah tertipu! Apapun yang kau inginkan dariku, ambillah sekarang! Tapi cepat keluarkan aku dari sini, atau…“ tiba-tiba pria bernama Red itu mencekik leherku.
“Atau apa? Pelan-pelan saja nona. Aku takkan menyiksamu terlalu lama. Cukup dengan tinggal di tempat ini selama beberapa waktu, lalu kau akan kulepas. Lagipula, yang kunginkan hanyalah sesuatu yang tersimpan di memorimu ini, nona manis,“ ia menunjuk keningku dan tersenyum licik. “Dan selagi masih sempat, nikmatilah memorimu yang berharga itu. Karena setelah ini, kau takkan pernah memilikinya lagi! Ahahahahaha!“ Red tiba-tiba menghilang.
Sial. Sial! Apa maksudnya dengan mengambil ingatanku? Secara harfiah kah? Bagaimana ia bisa melakukannya? Bahkan secara ilmiah tak ada cara untuk mengekstrak suatu memori. Bahkan memori itu sendiri tak memiliki bentuk nyata. Pria yang menyebalkan! Sombong! Sok Tahu! Aaaaaargh!
Aku menghentakkan kakiku ke lantai. Hei, tunggu dulu. Sepertinya barusan terdengar suara pantulan dari hentakan kakiku tadi. Aneh, kenapa aku tidak menyadarinya saat aku sedang berbicara dengan si pria aneh itu ya? Mungkin saja saat itu suara kita terlalu pelan, jadi gaung suaranya tidak terlalu terdengar, pikirku. Nah, jika ada gaung di tempat ini, berarti seharusnya terdapat benda keras yang cukup lebar atau melingkupi tempat ini, sehingga suara yang merambat dapat terpantul kembali! Benar juga, itu mungkin saja merupakan pintu keluarnya! “Haha, akhirnya aku berhasil meruntuhkan misteri omong kosong ruang tanpa batasmu ini, pria jelek!“ Gumamku sambil tersenyum kegirangan.
Tanpa pikir panjang, aku kembali menghentakkan kaki sambil berjalan perlahan mengikuti ke mana arah suara kakiku terpantul. Perlahan suara pantulan tersebut bertambah keras hingga aku dapat melihat dengan jelas dari mana suara tersebut berasal. Sebuah persegi berwarna putih seukuran tinggi orang dewasa dengan kenop berwarna putih yang takkan terlihat kecuali jika kita melihatnya dari sudut pandang tertentu. Sebuah pintu, tentu saja. Tidak mungkin ada ruangan yang dibuat tanpa jalan keluar!
Ah, dunia luar. Akhirnya aku dapat kembali menghirup udara kebebasan ini. Sekarang tinggal mencari arah jalan menuju Lyonne dan menyelesaikan urusanku yang sempat terbengkalai. Tunggu dulu, apa itu Lyonne? Rasanya nama itu terus menggema di telingaku, tapi aku sendiri tidak paham siapa atau apa sebenarnya Lyonne itu. Ah, sial!
“Menarik, bukan?“ tiba-tiba Red muncul di hadapanku.
“Apa yang kau telah lakukan padaku, hah?!“ pria menyebalkan yang masuk dalam daftar orang yang paling ingin kubunuh di dunia ini kembali berdiri di hadapanku dengan senyum liciknya sambil mengatakan hal yang membingungkan seperti itu, apa dia pikir dia itu dewa?
“Belum. Tapi aku sedang dalam proses menuju kekuatan yang setara dengan kekuatan alam semesta! Jadi, ya, kau boleh memanggilku dewa,“ ia kembali menyengir. Bagus, sekarang dia bisa membaca pikiranku.
“Kau belum menjawab pertanyaanku!“ teriakku.
“Sudah kubilang, aku akan mengambil segala yang kau ingat tentang kehidupanmu sedikit demi sedikit hingga kau takkan pernah mengingatnya lagi. Menarik, bukan? Tentu saja kau akan tetap dapat mengingat wajah tampanku ini dan segala yang telah kuperbuat padamu, agar aku masih terus bisa melihatmu menderita!“ ia kembali menyengir.
“Memangnya apa salahku, hah? Aku bahkan belum pernah bertemu denganmu sebelumnya. Mengapa kau bisa begitu bahagia melihat orang menderita seperti ini?!“ teriakku setengah menangis.
Red terdiam sejenak. Air mukanya berubah penuh kebencian. “Ternyata kau memang tidak ingat apapun. Ah, kalau begitu tak ada asiknya menyiksamu begini, Fiona,” bisiknya. Sepertinya ia tidak sedang berbicara denganku.
“Apa? Bagaimana kau bisa tahu nama ibuku? Siapa kau ini sebenarnya? Setan?“ bentakku sambil menahan emosi dan rasa kaget.
“Ibumu? Bahkan kau tak pernah ingat masa kecilmu sendiri, kan? Coba kau pikir lagi, memangnya wanita keriput jelek itu benar-benar ibumu, hah?“ Red mengangkat tangannya ke atas.
“Ternyata Saymen belum memberitahukan apapun kepadamu, ya? Sepertinya ini akan jadi menarik.“ ia tersenyum licik dan kembali menghilang dalam sekejap, meninggalkan lebih banyak pertanyaan yang menggerogoti di otakku. Siapa dia sebenarnya? Siapa aku ini?

***

Beberapa orang prajurit berlarian dengan tergopoh-gopoh menemui Val setelah mereka membawa seorang pria aneh yang terluka parah menuju tenda paramedis. Mereka terlihat kebingungan untuk menjelaskan apa yang mereka temukan barusan.
“Ada apa? Katakan saja padaku.“ Val mulai penasaran.
“Ng, mungkin anda takkan percaya ini, tapi barusan kami menemukan seorang pria terluka parah di tengah kota.“ jawab seorang prajurit.
“Lalu, apakah pria ini sudah kalian bawa menuju tenda untuk diobati?“ tanya Val.
“Sudah. Tapi ada yang aneh dengan pria itu. Dia…” prajurit itu nampak ragu. “Se-sebaiknya anda lihat sendiri,“ ia lalu mengajak Val menuju tenda tempat  pria itu dirawat.
Betapa terkejutnya Val ketika ia melihat seorang pria tengah duduk melayang di tengah pusaran aneh yang mengitarinya. Beberapa detik kemudian, pusaran itu menghilang dan sang pria menapakkan kakinya ke tanah dan berdiri tegap. Di tubuhnya tak terlihat luka seperti yang diceritakan para prajurit sedikitpun.
“Oh, maaf aku tidak menyadari kehadiranmu, tuan. Perkenalkan, namaku Saymen.“ pria aneh itu mengulurkan tangannya.
“Namaku Val.”
“Mungkin anda kebingungan melihat apa yang terlihat barusan. Tapi akan kukatakan kepada anda bahwa kejadian barusan tidak perlu anda pertanyakan. Itu adalah bagian dari caraku menyembuhkan diri. Aku sangat berterimakasih karena anda telah memberiku tempat dan bahan-bahan untuk proses penyembuhan diriku.“ jelas Saymen.
“Dan aku sangat kebingungan dengan penjelasanmu barusan, tuan Saymen.“ jawab Val.
“Oh, wajah anda itu, aku ingat! Kau adalah sahabat Sephia bukan? Ia terus menerus menyebut dirimu dan serangan makhluk jelek di tempat ini.“
“Sephia? Bagaimana kau bisa mengenalnya? Di mana dia sekarang?“ tanya Val cemas.
“Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan kepadamu, tapi beberapa informasi yang kumiliki tak bisa kuberitahukan begitu saja kepada manusia biasa.“ Saymen menghela nafasnya. “Nampaknya sudah ada banyak orang di sini yang melihatku. Asal kau tahu saja, hal ini berbahaya bagi diriku, Val. Bisakah kau menyuruh orang-orangmu keluar dulu?“
“Jawabanmu terlalu berputar-putar, tuan Saymen. Tapi baiklah, akan kusuruh mereka keluar.“ Val menoleh ke anak buahnya. “Kau dengar itu? Keluarlah sebentar. Jangan khawatir, ini demi keselamatan kawan kita juga.“ tanpa pikir panjang, para prajurit segera pergi keluar tenda dan kembali melaksanakan tugas mereka.
“Nah, kau sebaiknya mengatakan hal ini dengan cepat, karena kotaku sekarang sedang diserang oleh gerombolan slatker dan dapat hancur setiap saat,“ desak Val.
“Tenang. Aku bahkan tahu cara untuk mengalahkan makhluk-makhluk yang kau maksud dengan cepat tanpa mengorbankan banyak pasukan,“ jawaban Saymen tersebut membuat Val semakin penasaran. Pria ini sungguh menarik! Pikirnya.

***

Warchief tengah sibuk menghajar segerombolan Stalker yang berhasil menerobos masuk barikade timur kota. Jumlah pasukan yang ia miliki semakin menipis dan nampaknya cepat atau lambat hanya tinggal ia sendiri yang tersisa.
“Sial! Di mana pasukan tambahan yang kuminta, hah? Hei, Kravitz! Sudah ada jawaban dari pusat komando belum? Kau pegang radio yang betul, jangan main-main!” teriak Warchief.
“Ah, berisik kau, dasar tua bangka! Ini juga sedang diusahakan, tahu! Kerjakan saja pekerjaanmu dengan benar! Jangan sampai daerah ini jatuh ke tangan mereka!“ balas Kravitz ketus.
“Keparat! Setelah perang ini selesai, ingatkan aku untuk menghantam mulut besarmu itu! Sial! Ke mana saja si Val itu? Dasar pemimpin yang tak bertanggung jawab!“ gerutu Warchief sembari terus mengayunkan dua buah kapak raksasa yang dipegangnya.
Gelombang serangan yang datang seakan tak ada habisnya. Makhluk-makhluk tersebut terus mengalir bagai air yang memenuhi danau kering. Warchief mulai terlihat kewalahan menghadapi mereka. Pertarungan tersebut terasa sangat tidak adil karena jumlah pasukan Lyonne hanya segelintir orang sedangkan jumlah para Stalker mencapai ribuan.
Tiba-tiba sebuah panah balista melesat dari arah gerbang dan menghantam gedung-gedung di dalam kota. Ternyata para stalker berniat untuk meruntuhkan gedung-gedung tempat pertahanan para penembak jitu. Melihat hal itu, Warchief segera bertindak. Ia melompat dengan cepat sambil menebas beberapa ekor Stalker dan membuat jalan lebar menuju balista tersebut dengan kapaknya. Lalu dengan mengerahkan segenap kemampuannya, ia mengambil posisi dan melempar salah satu kapak raksasanya ke arah sebuah balista besar yang berhasil masuk ke dalam kota. Seketika balista tersebut hancur berantakan. Sungguh suatu pertunjukan kekuatan dari bangsa Dwarf yang mengesankan. Melihat kekuatan sebesar itu berada di pihak mereka, para prajurit menjadi semakin bersemangat dan seakan lupa dengan rasa takut mereka. Dengan perkembangan yang tak terduga sebelumnya itu, untuk sementara, gerbang timur akan tetap bertahan.

***

Aku masih berjalan tanpa arah di padang rumput yang amat luas ini. Sial, ternyata tempat ini tak lebih baik dari ruangan putih tempatku terkurung tadi. Pikiranku semakin melayang ke atas langit hingga terhenti pada sebuah ketinggian tertentu. Siapa diriku sebenarnya? Lalu nama-nama yang bercokol di otakku ini, siapa sebenarnya mereka? Val? Franc? Jesse? Sephia? Apa benar itu namaku? Lalu jika itu namaku, mengapa aku tak bisa mengingatnya sebagai namaku sedikitpun? Lalu pria berwajah menyebalkan ini, siapa dia sebenarnya? Aku terus memandangi padang rumput hijau ini sembari bertanya, tanpa mengerti mengapa aku harus bertanya, mengapa aku perlu mendapatkan jawaban atas semua itu. Pentingkah? Apa pengaruhnya untukku saat ini? Untuk kekosongan yang tengah kurasakan ini? Mungkin saja memang di sinilah seharusnya aku berada. Benarkah? Jika tidak, mengapa aku tak tahu di mana aku seharusnya berada? Padang rumput ini juga selalu hijau setiap saat aku memandanginya. Kecuali wanita berpakaian perak yang nampak dari kejauhan itu, tak ada lagi siapapun di sini. Tunggu dulu, wanita berpakaian perak? Ternyata ada orang lain selain diriku di sini!
“Yang Mu…maksudku Sephia,“ wanita berambut biru itu memanggil salah satu nama yang beterbangan di otakku.
“Kau memanggilku?“ tanyaku.
“Ya. Itu namamu, bukan?“ jawab wanita itu.
“Jika itu namaku, kenapa aku tak bisa mengetahuinya? Aku bisa mengingat nama itu, tapi aku tak tahu alasan kenapa aku harus mengingatnya. Pentingkah nama itu untukku?“ tanyaku.
“Ah, sial. Ternyata Red sudah menemukanmu lebih dulu, ya? Maafkan aku, Sephia. Aku terlambat menyadari sinyal bahaya dari Saymen.“
“Saymen? Satu nama lagi untuk kuingat, tanpa sedikitpun alasan untuk mengingatnya. Ada apa dengan dunia ini, hah? Kenapa kau datang mengganggu ketenanganku?!“ aku berubah histeris. Entahlah, perasaan yang merasuk ketika aku mendengar nama itu sungguh terasa tak nyaman.
“Seph, mungkin sebaiknya kita harus keluar dari tempat ini lebih dulu, sebelum pikiranmu benar-benar dihancurkan oleh efek dari Time Void,“ ujar wanita itu seraya menarik lenganku.
“Keluar? Adakah tempat lain selain tempat ini di luar sana? Bukankah semua tempat itu sama? Kosong dan tak berarti untukku?“ belum sempat kudengar kata lain keluar dari mulutnya, sebuah pusaran aneh berwarna putih muncul di hadapanku dan mulai menyelimuti tubuhku.
Lagi-lagi sebuah perasaan aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Namun suara-suara di kepalaku menyebutkan suatu kata yang tak bisa kupahami artinya. Ketakutan? Apa itu? Mengapa aku harus menghilangkan rasa takutku? Ah, lagi-lagi suara itu menghilang sebelum aku mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Pusaran itu pun menelan tubuhku dan kurang dari sedetik kemudian segalanya mulai berubah. Padang rumput tempatku berdiri berubah menjadi…ah, entahlah, aku tak tahu tempat apa ini.
“Ini adalah proyeksi masa lalumu, Seph. Setidaknya, ini adalah masa lalu yang perlu kau ketahui untuk saat ini,“ suara wanita itu terdengar di kepalaku, tapi aku tak dapat melihat wajahnya di manapun. “Jangan panik, kau sekarang sedang melihat rekaman masa lalumu, jadi aku tak mungkin bisa terlihat di situ, bukan?  Nikmati saja seakan-akan ini adalah sebuah film. Dan semoga setelah ini ingatanmu dapat pulih kembali.“
“Baiklah. Tapi sebelumnya ada beberapa pertanyaan lagi yang ingin kusampaikan padamu. Pertama, siapa namamu? Kau tiba-tiba saja datang dan melakukan semua ini, tapi kau belum menjelaskan alasannya dan yang kedua, bagaimana kau bisa tahu namaku? Bagaimana kau bisa mengenalku, padahal segala informasi apapun tentang dirimu tak pernah terlintas di otakku. Intinya adalah, siapa sebenarnya kau?“ tanyaku panjang lebar.
Wanita itu mendesah seakan ia sedang tersenyum, “Hmm, untuk ukuran manusia yang sedang kehilangan ingatannya, ternyata kau cukup kritis juga. Namaku Laurell, penjelasan dari pertanyaan-pertanyaanmu yang lain akan terjawab melalui proyeksi ini. Jangan khawatir, intinya aku adalah orang baik. Itu saja,“ jawabnya.
“Baiklah, itu jawaban yang cukup meyakinkan. Jadi, darimana aku harus mulai?“ tanyaku. Tak ada jawaban, namun tiba-tiba terdengar suara manusia di sekitarku, bising dan terasa panas. Ah, sebuah tempat yang ramai dan banyak orang berlalu lalang. Sebuah kata tiba-tiba menyeruak di otakku. Pasar. Apakah ini tempat di mana semua orang saling bertemu?
Tempat ini sungguh menarik. Orang-orang nampak bercakap-cakap dan saling menukarkan barang. Kertas dan besi-besi keemasan kecil itu bisa ditukar dengan sekarung makanan? Sungguh pertukaran yang aneh.
Tanpa kusadari, ada seorang gadis kecil yang berdiri tepat di hadapanku. Ia terus memandangiku hingga seorang wanita datang dan menghardiknya.
“Sephia! Ke mana saja kau? Jangan membuat ibu khawatir!“ bentak wanita itu. Meskipun suaranya tinggi dan kasar, namun aku dapat merasakan kehangatan dari tatapan matanya.
“Tapi, ibu, ada wanita aneh yang berdiri di sana,“ ia menunjuk ke arahku. Apa mungkin yang dia maksud benar-benar aku?
“Jangan terlalu banyak melamun, cepat bawakan bungkusan ini untuk pak Rheinberg! Kalau sudah selesai, pergilah bermain bersama teman-temanmu dan jangan pergi sendirian seperti itu lagi! Berbahaya!“ perintah wanita itu.
Gadis kecil itu berjalan sesuai perintah ibunya. Ia sesekali menoleh ke arahku dengan penasaran. Apa ia benar-benar bisa melihatku? Aneh.
Karena penasaran dengan kejadian barusan, aku mencoba mengikuti gadis itu menuju sebuah gedung megah dengan banyak sekali bentuk-bentuk menawan yang nampak seperti kayu yang berlubang atau sengaja dilubangi oleh pembuatnya. Ukiran kayu. Frasa itu serta-merta muncul di kepalaku. Apakah orang-orang suka menikmati keindahan seperti ini?
Perjalananku berlanjut menuju sebuah ruangan besar yang terletak di tengah-tengah rumah. Di sisinya terdapat susunan kayu yang bertumpuk menuju bagian atas ruangan. Tangga. Tapi di mana gadis kecil itu? Belum lama aku berpikir, sebuah suara nyaring terdengar dari balik sebuah pintu di ruangan bagian atas. Indah sekali, suara siapa gerangan? Akupun semakin penasaran dan memasuki ruangan tersebut.
Di dalam ruangan terdapat sekumpulan benda-benda aneh yang terbuat dari besi dan kayu dan salah satu diantaranya sedang dipegang oleh seorang pria gemuk berkumis lebat. Gadis kecil tadi duduk dengan manis disebelahnya. Pria gemuk tersebut terus menggesek benda yang ia pegang dengan semacam kayu tipis sedangkan suara indah yang dikeluarkan benda tersebut terus mengalun.
“Ada apa, sep? Kau kelihatan cemas,“ tanya pria gemuk tersebut.
“Ada kiriman dari ibu untuk paman,“ ia kemudian menyerahkan bungkusan yang ia pegang kepada pria itu.
“Hm, tumis Harleon, masakan ikan bergigi aneh favoritku. Sampaikan terima kasihku padanya,“ ia lalu mengelus kepala Sephia sementara gadis kecil itu kembali memperhatikanku. Yang benar saja, dia benar-benar bisa melihatku?
“Ada apa? Sepertinya masih ada sesuatu yang kau sembunyikan,“  tanya pria itu lagi.
“Ng, aku ingin mengatakannya, tapi mungkin paman juga takkan percaya,“ jawab Sephia.
“Katakan saja padaku, apapun yang kau katakan aku akan percaya kok,“ bujuk pria itu.
“Ada seorang wanita di pojok ruangan yang sedang memperhatikan kita, tapi tak seorangpun yang melihatnya. Bahkan ibu pun tak mau percaya,“ jawaban gadis itu kontan mengejutkanku. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Kau tidak sedang berkhayal kan, seph?“ pria gemuk itu nampak cemas. Ia berusaha menyembunyikan raut wajahnya dari gadis kecil itu. Tapi tentu saja karena ia tidak bisa ‘melihatku’, aku jadi leluasa memperhatikan setiap gerak-geriknya yang semakin mencurigakan.
Pria itu kemudian membuka sebuah kotak besar di sudut ruangan dan mengambil sebuah benda kecil bewarna keemasan di dalamnya. Ia lalu kembali mengelus kepala Sephia.
“Kau pergi main saja dengan teman-temanmu, ya? Paman ada urusan mendadak.“
Gadis itu kemudian berjalan keluar dengan ragu. Sementara itu, si pria gemuk mengangkat benda kuning aneh tersebut dan mulai berbicara seakan ada orang yang mendengarkannya menggunakan benda tersebut. Bahasa yang ia ucapkan terdengar seperti komat-kamit tidak jelas di telingaku. Setelah selesai berbicara, ia meletakkan benda itu lagi dan berdiri dengan cemas di depan pintu, seakan ia sedang menanti seseorang.
“Ia sudah berkembang terlalu jauh, Rheinberg,“ seorang pria berambut hijau tiba-tiba muncul di hadapan si pria gemuk dan membuatnya terperanjat. Entahlah, bahkan aku sendiri tidak menyadari kehadirannya. Lagipula, dari mana ia masuk jika pintunya tidak terbuka? Aneh.
“Saymen,“ Rheinberg menggerutu. “Kau selalu muncul dan hampir membunuhku! Apa di tempatmu tidak ada benda yang bernama pintu, hah?!“
“Maaf mengagetkanmu, pak tua. Masalah yang kau sampaikan tadi terlalu membuatku terburu-buru sampai-sampai aku lupa mengetuk pintu,“ jawab Saymen tenang.
“Ya sudah. Di mana Fiona?“
“Sebentar lagi dia datang. Tenang saja, dia sudah kuingatkan agar mengetuk pintu dulu.“
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Rheinberg pun beranjak dari tempatnya dan berniat membuka pintu.
“Tidak usah. Aku bisa masuk sendiri,“ sela seorang wanita langsing berambut putih yang tiba-tiba berdiri di samping Saymen. Wajahnya benar-benar mirip dengan ibu dari gadis kecil tadi.
“Sialan. Memangnya bangsa kalian tidak pernah belajar cara menggunakan pintu? Bukannya kau dulu juga manusia, hah?“ umpat Rheinberg lagi.
“Tidak. Kami tidak pernah mempelajari teknik kuno seperti itu lagi.“ jawab wanita bernama Fiona tersebut.
“Nah, karena kau sudah di sini, sekarang katakan padaku apa yang terjadi ‘dengannya’ dengan gamblang. Dengar ya, aku sudah bosan dengan rahasia-rahasia tidak masuk akal kalian. Katakan saja bagaimana hal ini akan berlanjut dan bagaimana cara mengakhirinya, itu saja.“ Rheinberg kemudian duduk di sebuah benda berbulu yang memiliki sudut siku-siku di pojok ruangan. Sofa.
“Baiklah. Penjelasannya singkat saja. Dia adalah satu-satunya keturunan yang tersisa dari  keluarga Frosthill yang telah bersumpah untuk merelakan diri sebagai penjara ‘sang ratu’ dan tentu saja meskipun kami sudah menyegel sebagian besar kekuatannya, gejala-gejala aneh dan sedikit kebocoran masih mungkin terjadi. Tapi pada dasarnya kau tidak perlu khawatir ia akan lepas kendali seperti waktu itu karena…” Saymen tiba-tiba memegangi kepalanya.
“Ada apa?“ Tanya Rheinberg.
“Red.“ jawab Saymen. “Ia mengirimkan sinyal-sinyal menyebalkan ini untuk menggangguku.“
“Red? Tidak mungkin. Dia sudah kukurung dengan ratusan segel dimensi buatanku sendiri. Tanpa kekuatan yang setara dengan ‘sang ratu’, ia takkan mungkin bisa menembus segel-segel itu.“ kilah Fiona.
“Setan keparat itu bisa lepas dari penjaranya? Sial, kekuatan macam apa yang ia miliki selama ini?“ umpat Rheinberg.
“Red adalah pria yang terobsesi untuk menemukan sumber kekuatan alam semesta, dengan kata lain mencari kekuatan Tuhan dan menguasainya, yang mana hal itu takkan mungkin berhasil ia lakukan. Tapi ia benar-benar menjadi duri yang sangat mengganggu bagi kami para penjelajah waktu.“ terang Saymen.
“Sial! Andai saja aku tahu cara untuk membunuhnya…Aku khawatir kalau suatu saat dia akan menemukan apa yang ia cari selama ini dan menghancurkan kita semua,“ tambah Fiona.
Apa-apaan ini? Kata-kata mereka terasa familiar di telingaku, tapi apa maksudnya semua ini? Siapa orang-orang berpakaian mengkilat itu? Selama beberapa saat mereka terlibat percakapan serius, hingga si pria berpakaian perak menghilang dalam sekejap mata diikuti temannya yang berjalan menuju pintu, namun tiba-tiba juga menghilang sebelum pintu tersebut sempat dibuka.
“Keparat. Percuma saja mereka kuberi kunci pintu kantorku,” gerutu Rheinberg. “Asal jangan tiba-tiba muncul saat aku sedang di WC saja sudah bagus.”
Rheinberg meraih sebuah bungkusan aneh yang tergeletak di atas meja dan berjalan keluar. Aku mengikutinya berjalan dari belakang hingga ia berhenti di depan gerbang gedung. Seorang pria berseragam rapi kemudian menghampirinya.
“Anda ingin berjalan-jalan, pak?” sambut pria itu ramah.
“Tidak. Aku ada urusan dengan Trisha, maksudku Fiona. Tolong kau jaga kantor ya? Oh, ya. Jangan lupa kau cari Franc dan suruh dia pulang. Anak itu selalu saja merepotkanku. Terakhir dia bersembunyi di bawah jembatan selatan, entah apa yang sedang dia kerjakan.”
“Baik, pak.” Pria berseragam tersebut kemudian bergegas menuju jembatan.
Aku masih mengikuti Rheinberg sampai ke sebuah gedung lain yang nampak lebih kecil dan tidak terawat. Warna temboknya kusam dan banyak sekali terdapat tulisan dan gambar-gambar aneh. Aku berusaha membaca salah satu coretan di tembok tersebut. Ah, percuma. Aku bahkan tidak tahu huruf-huruf apa saja yang ada di tulisan tersebut. Sepertinya aku benar-benar tidak ingat apapun, setidaknya sebagian besar dari apa yang seharusnya bisa kuingat menghilang begitu saja dari kepalaku.
Seorang wanita keluar dari dalam gedung beberapa saat setelah Rheinberg mengetuk pintu. Ibu gadis kecil yang tadi. Aneh, suara mereka menjadi semakin samar, padahal aku berdiri tepat di hadapan kedua orang tersebut. Sebuah sensasi aneh muncul ketika pandanganku mulai meredup. Rasanya seperti seluruh isi tubuhku tertarik keluar selama beberapa saat, kemudian sebuah hempasan kuat membuatku berdiri kaku. Setelah itu, segalanya menjadi gelap. Apa yang terjadi?
“Maaf Seph, tapi proyeksi ini harus aku hentikan…Aaakh!” tiba2 terdengar suara Laurell entah dari mana datangnya.
“Hahahahahaha, menarik juga. Jadi kau mau mencoba membalikkan efek time void dengan cara rendahan seperti ini?” terdengar suara seorang wanita lain.
“Cherry! Mau apa kau kemari?”
“Hmmm, ternyata kau menyuguhkan proyeksi yang cukup menarik juga. Apa dia sudah sampai pada saat Fiona mati terbunuh?”
“Hei! Apa maksudmu? Lagipula apa yang terjadi? Aku tidak bisa melihat apa-apa!” aku berteriak histeris.
“Jangan berisik! Aku sedang ada urusan dengan kawanmu. Kau diam saja, mengerti?”
Wanita itu seakan mendengus tepat di wajahku. Sesaat kemudian, sebuah cahaya kemerahan berpendar dari kejauhan dan berjalan cepat menuju ke arahku. Cahaya tersebut semakin mendekat seolah- olah menembus dan membakar mataku. Rasanya sakit sekali. Sebuah sensasi ribuan jarum merambat di bola mataku, seakan dalam tiap ujung jarum tersebut diselipkan api yang membara. Aku terjatuh dan berguling-guling, atau setidaknya itulah yang kupikir sedang kulakukan karena keadaan gelap gulita dan aku hampir tidak dapat merasakan tubuhku selain rasa sakit ini.
“Ahahahahahahahah! Maaf, tadi itu aku cuma iseng. Nah, sembari kau menunggu urusan kami selesai, bagaimana kalau kau nikmati saja lanjutan dari proyeksimu yang tadi?”
Terdengar suara tangan dijentikkan dan cahaya merah yang tadi menyambar semakin membesar. Cahaya itu kini menyelimuti tubuhku dan berganti dengan cahaya putih yang menyilaukan. Sesaat kemudian segalanya kembali seperti semula, tepat beberapa saat sebelum proyeksi tersebut terhenti.

***

“Ah, bukannya aku menakut-nakutimu. Tapi urusan ini agak sedikit berbahaya. Kau paham, kan? Aku hanya tak ingin kau terluka saja,” ujar Rheinberg dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
“Ya, aku paham, sih. Tapi dia masih anak-anak. Apa tidak apa-apa nantinya? Lagipula wanita itu kan…”
“Semua itu sudah kami atur. Kami juga sudah menjamin keselamatanmu apabila hal-hal buruk terjadi. Ritual semacam ini sudah jadi tradisi turun temurun setiap dua ribu tahun sekali yang sangat penting demi kelangsungan kota ini, tidak, bahkan benua ini. Tentu saja mau tidak mau kita harus melaksanakannya.”
“Baiklah, aku mengerti, Rheinberg. Kau jaga dirimu baik-baik ya,” wanita itu kemudian memeluk Rheinberg, mengecup keningnya dan berjalan menuju kereta yang telah menunggu di dekat situ beberapa saat sebelumnya.
“Sifat keibuan manusia memang sangat menarik. Kadang-kadang aku merasa iri dengan kehidupan bangsamu yang saling melengkapi satu sama lain,” Saymen tiba-tiba muncul entah dari mana.
Rheinberg nampak sedikit tercengang, namun kemudian berusaha menetralkan kembali ekspresinya.
“Ah, aku benar-benar tidak paham dengan cara berpikir kalian. Sampai matipun aku takkan pernah bisa mengerti cara berpikir makhluk-makhluk yang lahir entah dari mana dan hidup sampai ribuan tahun. Terkadang hal itu terdengar menakjubkan, namun juga terkadang membuatku iba. Terlahir sebagai makhluk tanpa ibu, kemudian menjalani kehidupan yang nyaris abadi tanpa tempat yang dapat disebut kampung halaman. Ironis sekali,”
“Memang begitulah cara kami hidup. Mungkin satu-satunya orang yang masih mengetahui asal-usul kami hanyalah Red. Tapi pria itu terlalu berbahaya untuk dibiarkan bebas. Biarlah teka-teki kehidupan kami tenggelam di kegelapan bersama pria terkutuk itu. Aku tak peduli,” jawab Saymen.
“Mungkin karena kau telah menganggap dunia ini sebagai rumahmu, sehingga kau rela mempertahankannya meskipun itu berarti kau kehilangan petunjuk untuk menemukan arti hidupmu?”
“Entahlah. Hampir semua kawan-kawanku mati dalam pertempuran melawan setan itu, sedangkan yang selamat jiwanya digerogoti oleh kegelapan atau menyepi di suatu tempat, mencoba melarikan diri dari kenyataan pahit bahwa kita telah ditakdirkan untuk musnah. Setelah pria itu menghancurkan semua harapan kami, ya, hanya bumi inilah satu-satunya tempat yang bisa kusebut rumah.”
“Hmmm, sepertinya aku semakin memahami kehidupan kalian. Maaf kalau tadi kata-kataku sedikit lancang. Ngomong-ngomong, di mana Fiona?” tanya Rheinberg.
“Aku sudah siap, pak tua. Kita mulai saja ritualnya atau bagaimana?” Fiona muncul namun tanpa pakaian yang mencolok seperti Saymen, hanya blus sederhana bermotif bunga-bunga putih dan rok hitam selutut. Penampilannya sangat mirip dengan wanita tadi, bahkan sekilas tak terlihat perbedaannya sedikitpun.
Mereka kemudian masuk ke dalam sebuah bangunan sambil memperhatikan sekitar dengan seksama. Aku benar-benar penasaran dengan gerak-gerik mereka yang begitu mencurigakan. Di dalam tempat tersebut terdapat sebuah benda panjang dan tipis yang disangga oleh empat batang kayu. Kasur. Di atas benda tersebut terbaring anak aneh yang kutemui tadi. Apa yang terjadi?
“Aku sudah memerintahkan prajurit untuk menjaga tempat ini. Tak ada yang dapat keluar-masuk tanpa sepengetahuanku dalam jarak dua ratus meter. Nah, Fiona, sekarang silahkan lakukan apa yang harus kau lakukan.”
“Penjagaanmu itu sia-sia pak tua. Tapi terserahlah, asalkan kau merasa tenang. Aku juga paham dengan perasaanmu.”
“Kalau kau paham dengan perasaanku, diam dan lakukan pekerjaanmu,” jawab Rheinberg kesal.
Fiona kemudian memegangi kepala sang gadis, lalu memejamkan matanya. Dalam sekejap, seluruh ruangan berubah putih dan muncul hawa dinging yang kuat dari arah gadis tersebut. Mata sang gadis pun perlahan terbuka.
Fiona...Akhirnya kita bertemu lagi. Masih merindukanku?” Suara sang gadis kecil berubah parau dan menyeramkan.
“Diam kau. Jika kau tidak berulah seperti dua ribu tahun lalu, aku akan melepas sedikit segel-segel penyiksa itu. Paham?”
Hahahahah! Memangnya Aku peduli? Sebentar lagi anak-anakku akan datang kemari dan menyelamatkanku! Tinggal dua puluh tahun lagi dan akan kuhancurkan  dunia kecilmu ini!
“Tidak akan terjadi selama aku masih di sini, Magisa.”
Hahahahahahah! Kau payah juga. Apa kau belum menyadarinya hah? Sini biar kuberi tahu. Bintang-bintang sumber kekuatanku sekarang sedang berkumpul, ditambah lagi, wanita itu juga datang tepat pada waktunya! Anak-anakku memang cerdas! Hahahahahah!” gadis itu menunjuk ke arahku. Apa-apaan ini?
Fiona memandangi pojok ruangan di mana aku berada. Meskipun dia tidak dapat melihatku, tapi sepertinya ia paham dengan perkataan sang gadis.
“Apa-apaan ini? Mereka melakukan proyeksi terlarang! Tapi bagaimana bisa?”
Sepertinya dua puluh tahun lagi keadaan kalian tidak sebaik sekarang, Fiona. Akuilah saja, cepat atau lambat kau akan mati dan akulah yang akan memimpin anak-anakku menuju dunia abadi!”
“Dunia abadimu itu Cuma omong kosong! Kau takkan pernah menemukan Ayah dengan cara seperti itu! Dasar jalang!”
“Oh, kita lihat saja siapa yang jalang! Hahahahahah!”
Gadis tersebut kemudian menatapku. Sebuah sinar merah memancar dari tubuhku dan seakan sinar tersebut terserap oleh sang gadis. Ia lalu mengayunkan tangannya ke arah Fiona dan seketika wanita itu terhempas ke tembok.
“Ugh! Dari mana kau bisa mendapatkan kekuatan sebesar itu?”
Rheinberg yang sejak tadi terkesiap melihat kejadian tersebut langsung bereaksi dan menghantam tubuh sang gadis kecil. Namun, belum sempat pukulannya mendarat, ia terpental kuat hingga menembus tembok.
Para penjaga yang melihat kejadian tersebut segera memenuhi ruangan. Namun tak lama setelah itu, sang gadis terkekeh sambil mengayunkan tangannya ke udara.
Sebuah cahaya menyilaukan memenuhi ruangan dan tiba-tiba ribuan jarum-jarum kecil beterbangan menembus tubuh para prajurit. Tak hanya sampai di situ. Ia kemudian merapalkan sesuatu yang membuat jarum-jarum tersebut memipih seperti pisau lalu menari-nari dan menimbulkan suara yang mengiris telinga. Dalam sekejap, hanya tersisa onggokan besar daging dan darah di lantai. Rasanya aku ingin muntah.
“Fiona, kau tidak apa-apa?” Saymen tiba-tiba muncul di hadapan Fiona, “maaf aku terlambat. Maafkan aku.”
Oh, Saymenku yang tampan. Lama tidak bertemu, anakku, ah bukan, ‘mantan anakku’ yang dulu paling kusayangi. Lihatlah, sebentar lagi aku akan bebas dan melepaskanmu dari cengkeraman wanita jalang itu,” sang gadis bersikap lemah lembut namun dengan ekspresi yang terlalu dibuat-buat.
“Diam kau! Darimana kau bisa mendapat kekuatan seperti itu, hah?!” bentak Saymen.
Oh, kau tak perlu tahu. Yang penting sekarang minggirlah. Aku ada urusan dengan nenek tua itu.”
Saymen kemudian mengeluarkan dua buah pedang dari telapak tangannya.
“Tidak. Akulah yang akan berurusan denganmu.”
Ia kemudian melesat ke arah sang gadis dan mengayunkan kedua pedangnya. Namun sebuah cahaya putih menyilaukan kembali memancar dan menyelimuti tubuh Saymen. Ia mengerang kesakitan seolah-olah tubuhnya ditusuk oleh ribuan pedang. Meskipun berada dalam keadaan seperti itu, ia berhasil menancapkan salah satu pedangnya tepat di dada sang gadis. Cahaya itu pun lenyap dan sang gadis kembali tergeletak tak berdaya.
“Maafkan aku, nak. Takdir memang kejam kepadamu. Tapi apa boleh buat, harus ada satu orang yang menanggung semua beban ini. Selamat tinggal,” Saymen kemudian mengangkat pedangnya dan bersiap memenggal kepala sang gadis. Ah, aku tak sanggup melihatnya.

0 komentar: