Pages

Monday, August 2, 2010

Vandalha Chapter 4

-->

Sephia:
Sayap-Sayap Kematian

Ah, sial, tempat aneh apa ini? Sebuah ruangan luas dengan pemandangan yang begitu monoton, saking monotonnya sampai aku tak bisa lagi memahami mana atas dan mana bawah. Sejauh mata memandang hanya ada tembok putih dan langit-langit putih. Ataukah memang sebenarnya tempat ini tak berujung sehingga nampak putih seperti ini? Oh, aku melupakan sesuatu! Saymen! Di mana pria aneh penjelajah waktu itu?
“Saymen! Saymen! Di mana kau?“ teriakku. Tak ada jawaban. Coba kuingat sebentar. Beberapa saat yang lalu Val menghampiriku dan tiba-tiba aku terbangun di tempat ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Sial. Aku tak bisa ingat sama sekali.
“Tentu saja. Karena kau berada di Time Void, ingatanmu sedikit demi sedikit akan menghilang, nona,“ seorang pria aneh berjubah merah tiba-tiba muncul di hadapanku.
“Siapa kau? Apa maksud perkataanmu barusan?“
“Oh, rupanya Saymen belum memberitahu maksud kedatanganku dengan gamblang, ya? Perkenalkan, namaku Red. Jika kau bertanya apakah itu nama asliku, ya, itu namaku sejak lahir. Bangsa kami memang suka memberi nama seenaknya. Nama memang indah, tapi takkan berarti jika kau tak mengingatnya kan?“ jelas Red panjang lebar.
“Memangnya aku peduli?“ jawabku. Pria ini menyebalkan.
“Oh, kau sungguh tajam, nona. Tidak bisakah kita berbicara dengan sedikit keakraban di sini?“
“Tidak akan pernah kuladeni, tuan besar. Dengar ya, mungkin kau pikir kau bisa merayuku dengan berlagak sopan seperti itu, tapi aku takkan pernah tertipu! Apapun yang kau inginkan dariku, ambillah sekarang! Tapi cepat keluarkan aku dari sini, atau…“ tiba-tiba pria bernama Red itu mencekik leherku.
“Atau apa? Pelan-pelan saja nona. Aku takkan menyiksamu terlalu lama. Cukup dengan tinggal di tempat ini selama beberapa waktu, lalu kau akan kulepas. Lagipula, yang kunginkan hanyalah sesuatu yang tersimpan di memorimu ini, nona manis,“ ia menunjuk keningku dan tersenyum licik. “Dan selagi masih sempat, nikmatilah memorimu yang berharga itu. Karena setelah ini, kau takkan pernah memilikinya lagi! Ahahahahaha!“ Red tiba-tiba menghilang.
Sial. Sial! Apa maksudnya dengan mengambil ingatanku? Secara harfiah kah? Bagaimana ia bisa melakukannya? Bahkan secara ilmiah tak ada cara untuk mengekstrak suatu memori. Bahkan memori itu sendiri tak memiliki bentuk nyata. Pria yang menyebalkan! Sombong! Sok Tahu! Aaaaaargh!
Aku menghentakkan kakiku ke lantai. Hei, tunggu dulu. Sepertinya barusan terdengar suara pantulan dari hentakan kakiku tadi. Aneh, kenapa aku tidak menyadarinya saat aku sedang berbicara dengan si pria aneh itu ya? Mungkin saja saat itu suara kita terlalu pelan, jadi gaung suaranya tidak terlalu terdengar, pikirku. Nah, jika ada gaung di tempat ini, berarti seharusnya terdapat benda keras yang cukup lebar atau melingkupi tempat ini, sehingga suara yang merambat dapat terpantul kembali! Benar juga, itu mungkin saja merupakan pintu keluarnya! “Haha, akhirnya aku berhasil meruntuhkan misteri omong kosong ruang tanpa batasmu ini, pria jelek!“ Gumamku sambil tersenyum kegirangan.
Tanpa pikir panjang, aku kembali menghentakkan kaki sambil berjalan perlahan mengikuti ke mana arah suara kakiku terpantul. Perlahan suara pantulan tersebut bertambah keras hingga aku dapat melihat dengan jelas dari mana suara tersebut berasal. Sebuah persegi berwarna putih seukuran tinggi orang dewasa dengan kenop berwarna putih yang takkan terlihat kecuali jika kita melihatnya dari sudut pandang tertentu. Sebuah pintu, tentu saja. Tidak mungkin ada ruangan yang dibuat tanpa jalan keluar!
Ah, dunia luar. Akhirnya aku dapat kembali menghirup udara kebebasan ini. Sekarang tinggal mencari arah jalan menuju Lyonne dan menyelesaikan urusanku yang sempat terbengkalai. Tunggu dulu, apa itu Lyonne? Rasanya nama itu terus menggema di telingaku, tapi aku sendiri tidak paham siapa atau apa sebenarnya Lyonne itu. Ah, sial!
“Menarik, bukan?“ tiba-tiba Red muncul di hadapanku.
“Apa yang kau telah lakukan padaku, hah?!“ pria menyebalkan yang masuk dalam daftar orang yang paling ingin kubunuh di dunia ini kembali berdiri di hadapanku dengan senyum liciknya sambil mengatakan hal yang membingungkan seperti itu, apa dia pikir dia itu dewa?
“Belum. Tapi aku sedang dalam proses menuju kekuatan yang setara dengan kekuatan alam semesta! Jadi, ya, kau boleh memanggilku dewa,“ ia kembali menyengir. Bagus, sekarang dia bisa membaca pikiranku.
“Kau belum menjawab pertanyaanku!“ teriakku.
“Sudah kubilang, aku akan mengambil segala yang kau ingat tentang kehidupanmu sedikit demi sedikit hingga kau takkan pernah mengingatnya lagi. Menarik, bukan? Tentu saja kau akan tetap dapat mengingat wajah tampanku ini dan segala yang telah kuperbuat padamu, agar aku masih terus bisa melihatmu menderita!“ ia kembali menyengir.
“Memangnya apa salahku, hah? Aku bahkan belum pernah bertemu denganmu sebelumnya. Mengapa kau bisa begitu bahagia melihat orang menderita seperti ini?!“ teriakku setengah menangis.
Red terdiam sejenak. Air mukanya berubah penuh kebencian. “Ternyata kau memang tidak ingat apapun. Ah, kalau begitu tak ada asiknya menyiksamu begini, Fiona,” bisiknya. Sepertinya ia tidak sedang berbicara denganku.
“Apa? Bagaimana kau bisa tahu nama ibuku? Siapa kau ini sebenarnya? Setan?“ bentakku sambil menahan emosi dan rasa kaget.
“Ibumu? Bahkan kau tak pernah ingat masa kecilmu sendiri, kan? Coba kau pikir lagi, memangnya wanita keriput jelek itu benar-benar ibumu, hah?“ Red mengangkat tangannya ke atas.
“Ternyata Saymen belum memberitahukan apapun kepadamu, ya? Sepertinya ini akan jadi menarik.“ ia tersenyum licik dan kembali menghilang dalam sekejap, meninggalkan lebih banyak pertanyaan yang menggerogoti di otakku. Siapa dia sebenarnya? Siapa aku ini?

***

Beberapa orang prajurit berlarian dengan tergopoh-gopoh menemui Val setelah mereka membawa seorang pria aneh yang terluka parah menuju tenda paramedis. Mereka terlihat kebingungan untuk menjelaskan apa yang mereka temukan barusan.
“Ada apa? Katakan saja padaku.“ Val mulai penasaran.
“Ng, mungkin anda takkan percaya ini, tapi barusan kami menemukan seorang pria terluka parah di tengah kota.“ jawab seorang prajurit.
“Lalu, apakah pria ini sudah kalian bawa menuju tenda untuk diobati?“ tanya Val.
“Sudah. Tapi ada yang aneh dengan pria itu. Dia…” prajurit itu nampak ragu. “Se-sebaiknya anda lihat sendiri,“ ia lalu mengajak Val menuju tenda tempat  pria itu dirawat.
Betapa terkejutnya Val ketika ia melihat seorang pria tengah duduk melayang di tengah pusaran aneh yang mengitarinya. Beberapa detik kemudian, pusaran itu menghilang dan sang pria menapakkan kakinya ke tanah dan berdiri tegap. Di tubuhnya tak terlihat luka seperti yang diceritakan para prajurit sedikitpun.
“Oh, maaf aku tidak menyadari kehadiranmu, tuan. Perkenalkan, namaku Saymen.“ pria aneh itu mengulurkan tangannya.
“Namaku Val.”
“Mungkin anda kebingungan melihat apa yang terlihat barusan. Tapi akan kukatakan kepada anda bahwa kejadian barusan tidak perlu anda pertanyakan. Itu adalah bagian dari caraku menyembuhkan diri. Aku sangat berterimakasih karena anda telah memberiku tempat dan bahan-bahan untuk proses penyembuhan diriku.“ jelas Saymen.
“Dan aku sangat kebingungan dengan penjelasanmu barusan, tuan Saymen.“ jawab Val.
“Oh, wajah anda itu, aku ingat! Kau adalah sahabat Sephia bukan? Ia terus menerus menyebut dirimu dan serangan makhluk jelek di tempat ini.“
“Sephia? Bagaimana kau bisa mengenalnya? Di mana dia sekarang?“ tanya Val cemas.
“Ada sesuatu yang ingin kuberitahukan kepadamu, tapi beberapa informasi yang kumiliki tak bisa kuberitahukan begitu saja kepada manusia biasa.“ Saymen menghela nafasnya. “Nampaknya sudah ada banyak orang di sini yang melihatku. Asal kau tahu saja, hal ini berbahaya bagi diriku, Val. Bisakah kau menyuruh orang-orangmu keluar dulu?“
“Jawabanmu terlalu berputar-putar, tuan Saymen. Tapi baiklah, akan kusuruh mereka keluar.“ Val menoleh ke anak buahnya. “Kau dengar itu? Keluarlah sebentar. Jangan khawatir, ini demi keselamatan kawan kita juga.“ tanpa pikir panjang, para prajurit segera pergi keluar tenda dan kembali melaksanakan tugas mereka.
“Nah, kau sebaiknya mengatakan hal ini dengan cepat, karena kotaku sekarang sedang diserang oleh gerombolan slatker dan dapat hancur setiap saat,“ desak Val.
“Tenang. Aku bahkan tahu cara untuk mengalahkan makhluk-makhluk yang kau maksud dengan cepat tanpa mengorbankan banyak pasukan,“ jawaban Saymen tersebut membuat Val semakin penasaran. Pria ini sungguh menarik! Pikirnya.

***

Warchief tengah sibuk menghajar segerombolan Stalker yang berhasil menerobos masuk barikade timur kota. Jumlah pasukan yang ia miliki semakin menipis dan nampaknya cepat atau lambat hanya tinggal ia sendiri yang tersisa.
“Sial! Di mana pasukan tambahan yang kuminta, hah? Hei, Kravitz! Sudah ada jawaban dari pusat komando belum? Kau pegang radio yang betul, jangan main-main!” teriak Warchief.
“Ah, berisik kau, dasar tua bangka! Ini juga sedang diusahakan, tahu! Kerjakan saja pekerjaanmu dengan benar! Jangan sampai daerah ini jatuh ke tangan mereka!“ balas Kravitz ketus.
“Keparat! Setelah perang ini selesai, ingatkan aku untuk menghantam mulut besarmu itu! Sial! Ke mana saja si Val itu? Dasar pemimpin yang tak bertanggung jawab!“ gerutu Warchief sembari terus mengayunkan dua buah kapak raksasa yang dipegangnya.
Gelombang serangan yang datang seakan tak ada habisnya. Makhluk-makhluk tersebut terus mengalir bagai air yang memenuhi danau kering. Warchief mulai terlihat kewalahan menghadapi mereka. Pertarungan tersebut terasa sangat tidak adil karena jumlah pasukan Lyonne hanya segelintir orang sedangkan jumlah para Stalker mencapai ribuan.
Tiba-tiba sebuah panah balista melesat dari arah gerbang dan menghantam gedung-gedung di dalam kota. Ternyata para stalker berniat untuk meruntuhkan gedung-gedung tempat pertahanan para penembak jitu. Melihat hal itu, Warchief segera bertindak. Ia melompat dengan cepat sambil menebas beberapa ekor Stalker dan membuat jalan lebar menuju balista tersebut dengan kapaknya. Lalu dengan mengerahkan segenap kemampuannya, ia mengambil posisi dan melempar salah satu kapak raksasanya ke arah sebuah balista besar yang berhasil masuk ke dalam kota. Seketika balista tersebut hancur berantakan. Sungguh suatu pertunjukan kekuatan dari bangsa Dwarf yang mengesankan. Melihat kekuatan sebesar itu berada di pihak mereka, para prajurit menjadi semakin bersemangat dan seakan lupa dengan rasa takut mereka. Dengan perkembangan yang tak terduga sebelumnya itu, untuk sementara, gerbang timur akan tetap bertahan.

***

Aku masih berjalan tanpa arah di padang rumput yang amat luas ini. Sial, ternyata tempat ini tak lebih baik dari ruangan putih tempatku terkurung tadi. Pikiranku semakin melayang ke atas langit hingga terhenti pada sebuah ketinggian tertentu. Siapa diriku sebenarnya? Lalu nama-nama yang bercokol di otakku ini, siapa sebenarnya mereka? Val? Franc? Jesse? Sephia? Apa benar itu namaku? Lalu jika itu namaku, mengapa aku tak bisa mengingatnya sebagai namaku sedikitpun? Lalu pria berwajah menyebalkan ini, siapa dia sebenarnya? Aku terus memandangi padang rumput hijau ini sembari bertanya, tanpa mengerti mengapa aku harus bertanya, mengapa aku perlu mendapatkan jawaban atas semua itu. Pentingkah? Apa pengaruhnya untukku saat ini? Untuk kekosongan yang tengah kurasakan ini? Mungkin saja memang di sinilah seharusnya aku berada. Benarkah? Jika tidak, mengapa aku tak tahu di mana aku seharusnya berada? Padang rumput ini juga selalu hijau setiap saat aku memandanginya. Kecuali wanita berpakaian perak yang nampak dari kejauhan itu, tak ada lagi siapapun di sini. Tunggu dulu, wanita berpakaian perak? Ternyata ada orang lain selain diriku di sini!
“Yang Mu…maksudku Sephia,“ wanita berambut biru itu memanggil salah satu nama yang beterbangan di otakku.
“Kau memanggilku?“ tanyaku.
“Ya. Itu namamu, bukan?“ jawab wanita itu.
“Jika itu namaku, kenapa aku tak bisa mengetahuinya? Aku bisa mengingat nama itu, tapi aku tak tahu alasan kenapa aku harus mengingatnya. Pentingkah nama itu untukku?“ tanyaku.
“Ah, sial. Ternyata Red sudah menemukanmu lebih dulu, ya? Maafkan aku, Sephia. Aku terlambat menyadari sinyal bahaya dari Saymen.“
“Saymen? Satu nama lagi untuk kuingat, tanpa sedikitpun alasan untuk mengingatnya. Ada apa dengan dunia ini, hah? Kenapa kau datang mengganggu ketenanganku?!“ aku berubah histeris. Entahlah, perasaan yang merasuk ketika aku mendengar nama itu sungguh terasa tak nyaman.
“Seph, mungkin sebaiknya kita harus keluar dari tempat ini lebih dulu, sebelum pikiranmu benar-benar dihancurkan oleh efek dari Time Void,“ ujar wanita itu seraya menarik lenganku.
“Keluar? Adakah tempat lain selain tempat ini di luar sana? Bukankah semua tempat itu sama? Kosong dan tak berarti untukku?“ belum sempat kudengar kata lain keluar dari mulutnya, sebuah pusaran aneh berwarna putih muncul di hadapanku dan mulai menyelimuti tubuhku.
Lagi-lagi sebuah perasaan aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Namun suara-suara di kepalaku menyebutkan suatu kata yang tak bisa kupahami artinya. Ketakutan? Apa itu? Mengapa aku harus menghilangkan rasa takutku? Ah, lagi-lagi suara itu menghilang sebelum aku mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Pusaran itu pun menelan tubuhku dan kurang dari sedetik kemudian segalanya mulai berubah. Padang rumput tempatku berdiri berubah menjadi…ah, entahlah, aku tak tahu tempat apa ini.
“Ini adalah proyeksi masa lalumu, Seph. Setidaknya, ini adalah masa lalu yang perlu kau ketahui untuk saat ini,“ suara wanita itu terdengar di kepalaku, tapi aku tak dapat melihat wajahnya di manapun. “Jangan panik, kau sekarang sedang melihat rekaman masa lalumu, jadi aku tak mungkin bisa terlihat di situ, bukan?  Nikmati saja seakan-akan ini adalah sebuah film. Dan semoga setelah ini ingatanmu dapat pulih kembali.“
“Baiklah. Tapi sebelumnya ada beberapa pertanyaan lagi yang ingin kusampaikan padamu. Pertama, siapa namamu? Kau tiba-tiba saja datang dan melakukan semua ini, tapi kau belum menjelaskan alasannya dan yang kedua, bagaimana kau bisa tahu namaku? Bagaimana kau bisa mengenalku, padahal segala informasi apapun tentang dirimu tak pernah terlintas di otakku. Intinya adalah, siapa sebenarnya kau?“ tanyaku panjang lebar.
Wanita itu mendesah seakan ia sedang tersenyum, “Hmm, untuk ukuran manusia yang sedang kehilangan ingatannya, ternyata kau cukup kritis juga. Namaku Laurell, penjelasan dari pertanyaan-pertanyaanmu yang lain akan terjawab melalui proyeksi ini. Jangan khawatir, intinya aku adalah orang baik. Itu saja,“ jawabnya.
“Baiklah, itu jawaban yang cukup meyakinkan. Jadi, darimana aku harus mulai?“ tanyaku. Tak ada jawaban, namun tiba-tiba terdengar suara manusia di sekitarku, bising dan terasa panas. Ah, sebuah tempat yang ramai dan banyak orang berlalu lalang. Sebuah kata tiba-tiba menyeruak di otakku. Pasar. Apakah ini tempat di mana semua orang saling bertemu?
Tempat ini sungguh menarik. Orang-orang nampak bercakap-cakap dan saling menukarkan barang. Kertas dan besi-besi keemasan kecil itu bisa ditukar dengan sekarung makanan? Sungguh pertukaran yang aneh.
Tanpa kusadari, ada seorang gadis kecil yang berdiri tepat di hadapanku. Ia terus memandangiku hingga seorang wanita datang dan menghardiknya.
“Sephia! Ke mana saja kau? Jangan membuat ibu khawatir!“ bentak wanita itu. Meskipun suaranya tinggi dan kasar, namun aku dapat merasakan kehangatan dari tatapan matanya.
“Tapi, ibu, ada wanita aneh yang berdiri di sana,“ ia menunjuk ke arahku. Apa mungkin yang dia maksud benar-benar aku?
“Jangan terlalu banyak melamun, cepat bawakan bungkusan ini untuk pak Rheinberg! Kalau sudah selesai, pergilah bermain bersama teman-temanmu dan jangan pergi sendirian seperti itu lagi! Berbahaya!“ perintah wanita itu.
Gadis kecil itu berjalan sesuai perintah ibunya. Ia sesekali menoleh ke arahku dengan penasaran. Apa ia benar-benar bisa melihatku? Aneh.
Karena penasaran dengan kejadian barusan, aku mencoba mengikuti gadis itu menuju sebuah gedung megah dengan banyak sekali bentuk-bentuk menawan yang nampak seperti kayu yang berlubang atau sengaja dilubangi oleh pembuatnya. Ukiran kayu. Frasa itu serta-merta muncul di kepalaku. Apakah orang-orang suka menikmati keindahan seperti ini?
Perjalananku berlanjut menuju sebuah ruangan besar yang terletak di tengah-tengah rumah. Di sisinya terdapat susunan kayu yang bertumpuk menuju bagian atas ruangan. Tangga. Tapi di mana gadis kecil itu? Belum lama aku berpikir, sebuah suara nyaring terdengar dari balik sebuah pintu di ruangan bagian atas. Indah sekali, suara siapa gerangan? Akupun semakin penasaran dan memasuki ruangan tersebut.
Di dalam ruangan terdapat sekumpulan benda-benda aneh yang terbuat dari besi dan kayu dan salah satu diantaranya sedang dipegang oleh seorang pria gemuk berkumis lebat. Gadis kecil tadi duduk dengan manis disebelahnya. Pria gemuk tersebut terus menggesek benda yang ia pegang dengan semacam kayu tipis sedangkan suara indah yang dikeluarkan benda tersebut terus mengalun.
“Ada apa, sep? Kau kelihatan cemas,“ tanya pria gemuk tersebut.
“Ada kiriman dari ibu untuk paman,“ ia kemudian menyerahkan bungkusan yang ia pegang kepada pria itu.
“Hm, tumis Harleon, masakan ikan bergigi aneh favoritku. Sampaikan terima kasihku padanya,“ ia lalu mengelus kepala Sephia sementara gadis kecil itu kembali memperhatikanku. Yang benar saja, dia benar-benar bisa melihatku?
“Ada apa? Sepertinya masih ada sesuatu yang kau sembunyikan,“  tanya pria itu lagi.
“Ng, aku ingin mengatakannya, tapi mungkin paman juga takkan percaya,“ jawab Sephia.
“Katakan saja padaku, apapun yang kau katakan aku akan percaya kok,“ bujuk pria itu.
“Ada seorang wanita di pojok ruangan yang sedang memperhatikan kita, tapi tak seorangpun yang melihatnya. Bahkan ibu pun tak mau percaya,“ jawaban gadis itu kontan mengejutkanku. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Kau tidak sedang berkhayal kan, seph?“ pria gemuk itu nampak cemas. Ia berusaha menyembunyikan raut wajahnya dari gadis kecil itu. Tapi tentu saja karena ia tidak bisa ‘melihatku’, aku jadi leluasa memperhatikan setiap gerak-geriknya yang semakin mencurigakan.
Pria itu kemudian membuka sebuah kotak besar di sudut ruangan dan mengambil sebuah benda kecil bewarna keemasan di dalamnya. Ia lalu kembali mengelus kepala Sephia.
“Kau pergi main saja dengan teman-temanmu, ya? Paman ada urusan mendadak.“
Gadis itu kemudian berjalan keluar dengan ragu. Sementara itu, si pria gemuk mengangkat benda kuning aneh tersebut dan mulai berbicara seakan ada orang yang mendengarkannya menggunakan benda tersebut. Bahasa yang ia ucapkan terdengar seperti komat-kamit tidak jelas di telingaku. Setelah selesai berbicara, ia meletakkan benda itu lagi dan berdiri dengan cemas di depan pintu, seakan ia sedang menanti seseorang.
“Ia sudah berkembang terlalu jauh, Rheinberg,“ seorang pria berambut hijau tiba-tiba muncul di hadapan si pria gemuk dan membuatnya terperanjat. Entahlah, bahkan aku sendiri tidak menyadari kehadirannya. Lagipula, dari mana ia masuk jika pintunya tidak terbuka? Aneh.
“Saymen,“ Rheinberg menggerutu. “Kau selalu muncul dan hampir membunuhku! Apa di tempatmu tidak ada benda yang bernama pintu, hah?!“
“Maaf mengagetkanmu, pak tua. Masalah yang kau sampaikan tadi terlalu membuatku terburu-buru sampai-sampai aku lupa mengetuk pintu,“ jawab Saymen tenang.
“Ya sudah. Di mana Fiona?“
“Sebentar lagi dia datang. Tenang saja, dia sudah kuingatkan agar mengetuk pintu dulu.“
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Rheinberg pun beranjak dari tempatnya dan berniat membuka pintu.
“Tidak usah. Aku bisa masuk sendiri,“ sela seorang wanita langsing berambut putih yang tiba-tiba berdiri di samping Saymen. Wajahnya benar-benar mirip dengan ibu dari gadis kecil tadi.
“Sialan. Memangnya bangsa kalian tidak pernah belajar cara menggunakan pintu? Bukannya kau dulu juga manusia, hah?“ umpat Rheinberg lagi.
“Tidak. Kami tidak pernah mempelajari teknik kuno seperti itu lagi.“ jawab wanita bernama Fiona tersebut.
“Nah, karena kau sudah di sini, sekarang katakan padaku apa yang terjadi ‘dengannya’ dengan gamblang. Dengar ya, aku sudah bosan dengan rahasia-rahasia tidak masuk akal kalian. Katakan saja bagaimana hal ini akan berlanjut dan bagaimana cara mengakhirinya, itu saja.“ Rheinberg kemudian duduk di sebuah benda berbulu yang memiliki sudut siku-siku di pojok ruangan. Sofa.
“Baiklah. Penjelasannya singkat saja. Dia adalah satu-satunya keturunan yang tersisa dari  keluarga Frosthill yang telah bersumpah untuk merelakan diri sebagai penjara ‘sang ratu’ dan tentu saja meskipun kami sudah menyegel sebagian besar kekuatannya, gejala-gejala aneh dan sedikit kebocoran masih mungkin terjadi. Tapi pada dasarnya kau tidak perlu khawatir ia akan lepas kendali seperti waktu itu karena…” Saymen tiba-tiba memegangi kepalanya.
“Ada apa?“ Tanya Rheinberg.
“Red.“ jawab Saymen. “Ia mengirimkan sinyal-sinyal menyebalkan ini untuk menggangguku.“
“Red? Tidak mungkin. Dia sudah kukurung dengan ratusan segel dimensi buatanku sendiri. Tanpa kekuatan yang setara dengan ‘sang ratu’, ia takkan mungkin bisa menembus segel-segel itu.“ kilah Fiona.
“Setan keparat itu bisa lepas dari penjaranya? Sial, kekuatan macam apa yang ia miliki selama ini?“ umpat Rheinberg.
“Red adalah pria yang terobsesi untuk menemukan sumber kekuatan alam semesta, dengan kata lain mencari kekuatan Tuhan dan menguasainya, yang mana hal itu takkan mungkin berhasil ia lakukan. Tapi ia benar-benar menjadi duri yang sangat mengganggu bagi kami para penjelajah waktu.“ terang Saymen.
“Sial! Andai saja aku tahu cara untuk membunuhnya…Aku khawatir kalau suatu saat dia akan menemukan apa yang ia cari selama ini dan menghancurkan kita semua,“ tambah Fiona.
Apa-apaan ini? Kata-kata mereka terasa familiar di telingaku, tapi apa maksudnya semua ini? Siapa orang-orang berpakaian mengkilat itu? Selama beberapa saat mereka terlibat percakapan serius, hingga si pria berpakaian perak menghilang dalam sekejap mata diikuti temannya yang berjalan menuju pintu, namun tiba-tiba juga menghilang sebelum pintu tersebut sempat dibuka.
“Keparat. Percuma saja mereka kuberi kunci pintu kantorku,” gerutu Rheinberg. “Asal jangan tiba-tiba muncul saat aku sedang di WC saja sudah bagus.”
Rheinberg meraih sebuah bungkusan aneh yang tergeletak di atas meja dan berjalan keluar. Aku mengikutinya berjalan dari belakang hingga ia berhenti di depan gerbang gedung. Seorang pria berseragam rapi kemudian menghampirinya.
“Anda ingin berjalan-jalan, pak?” sambut pria itu ramah.
“Tidak. Aku ada urusan dengan Trisha, maksudku Fiona. Tolong kau jaga kantor ya? Oh, ya. Jangan lupa kau cari Franc dan suruh dia pulang. Anak itu selalu saja merepotkanku. Terakhir dia bersembunyi di bawah jembatan selatan, entah apa yang sedang dia kerjakan.”
“Baik, pak.” Pria berseragam tersebut kemudian bergegas menuju jembatan.
Aku masih mengikuti Rheinberg sampai ke sebuah gedung lain yang nampak lebih kecil dan tidak terawat. Warna temboknya kusam dan banyak sekali terdapat tulisan dan gambar-gambar aneh. Aku berusaha membaca salah satu coretan di tembok tersebut. Ah, percuma. Aku bahkan tidak tahu huruf-huruf apa saja yang ada di tulisan tersebut. Sepertinya aku benar-benar tidak ingat apapun, setidaknya sebagian besar dari apa yang seharusnya bisa kuingat menghilang begitu saja dari kepalaku.
Seorang wanita keluar dari dalam gedung beberapa saat setelah Rheinberg mengetuk pintu. Ibu gadis kecil yang tadi. Aneh, suara mereka menjadi semakin samar, padahal aku berdiri tepat di hadapan kedua orang tersebut. Sebuah sensasi aneh muncul ketika pandanganku mulai meredup. Rasanya seperti seluruh isi tubuhku tertarik keluar selama beberapa saat, kemudian sebuah hempasan kuat membuatku berdiri kaku. Setelah itu, segalanya menjadi gelap. Apa yang terjadi?
“Maaf Seph, tapi proyeksi ini harus aku hentikan…Aaakh!” tiba2 terdengar suara Laurell entah dari mana datangnya.
“Hahahahahaha, menarik juga. Jadi kau mau mencoba membalikkan efek time void dengan cara rendahan seperti ini?” terdengar suara seorang wanita lain.
“Cherry! Mau apa kau kemari?”
“Hmmm, ternyata kau menyuguhkan proyeksi yang cukup menarik juga. Apa dia sudah sampai pada saat Fiona mati terbunuh?”
“Hei! Apa maksudmu? Lagipula apa yang terjadi? Aku tidak bisa melihat apa-apa!” aku berteriak histeris.
“Jangan berisik! Aku sedang ada urusan dengan kawanmu. Kau diam saja, mengerti?”
Wanita itu seakan mendengus tepat di wajahku. Sesaat kemudian, sebuah cahaya kemerahan berpendar dari kejauhan dan berjalan cepat menuju ke arahku. Cahaya tersebut semakin mendekat seolah- olah menembus dan membakar mataku. Rasanya sakit sekali. Sebuah sensasi ribuan jarum merambat di bola mataku, seakan dalam tiap ujung jarum tersebut diselipkan api yang membara. Aku terjatuh dan berguling-guling, atau setidaknya itulah yang kupikir sedang kulakukan karena keadaan gelap gulita dan aku hampir tidak dapat merasakan tubuhku selain rasa sakit ini.
“Ahahahahahahahah! Maaf, tadi itu aku cuma iseng. Nah, sembari kau menunggu urusan kami selesai, bagaimana kalau kau nikmati saja lanjutan dari proyeksimu yang tadi?”
Terdengar suara tangan dijentikkan dan cahaya merah yang tadi menyambar semakin membesar. Cahaya itu kini menyelimuti tubuhku dan berganti dengan cahaya putih yang menyilaukan. Sesaat kemudian segalanya kembali seperti semula, tepat beberapa saat sebelum proyeksi tersebut terhenti.

***

“Ah, bukannya aku menakut-nakutimu. Tapi urusan ini agak sedikit berbahaya. Kau paham, kan? Aku hanya tak ingin kau terluka saja,” ujar Rheinberg dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
“Ya, aku paham, sih. Tapi dia masih anak-anak. Apa tidak apa-apa nantinya? Lagipula wanita itu kan…”
“Semua itu sudah kami atur. Kami juga sudah menjamin keselamatanmu apabila hal-hal buruk terjadi. Ritual semacam ini sudah jadi tradisi turun temurun setiap dua ribu tahun sekali yang sangat penting demi kelangsungan kota ini, tidak, bahkan benua ini. Tentu saja mau tidak mau kita harus melaksanakannya.”
“Baiklah, aku mengerti, Rheinberg. Kau jaga dirimu baik-baik ya,” wanita itu kemudian memeluk Rheinberg, mengecup keningnya dan berjalan menuju kereta yang telah menunggu di dekat situ beberapa saat sebelumnya.
“Sifat keibuan manusia memang sangat menarik. Kadang-kadang aku merasa iri dengan kehidupan bangsamu yang saling melengkapi satu sama lain,” Saymen tiba-tiba muncul entah dari mana.
Rheinberg nampak sedikit tercengang, namun kemudian berusaha menetralkan kembali ekspresinya.
“Ah, aku benar-benar tidak paham dengan cara berpikir kalian. Sampai matipun aku takkan pernah bisa mengerti cara berpikir makhluk-makhluk yang lahir entah dari mana dan hidup sampai ribuan tahun. Terkadang hal itu terdengar menakjubkan, namun juga terkadang membuatku iba. Terlahir sebagai makhluk tanpa ibu, kemudian menjalani kehidupan yang nyaris abadi tanpa tempat yang dapat disebut kampung halaman. Ironis sekali,”
“Memang begitulah cara kami hidup. Mungkin satu-satunya orang yang masih mengetahui asal-usul kami hanyalah Red. Tapi pria itu terlalu berbahaya untuk dibiarkan bebas. Biarlah teka-teki kehidupan kami tenggelam di kegelapan bersama pria terkutuk itu. Aku tak peduli,” jawab Saymen.
“Mungkin karena kau telah menganggap dunia ini sebagai rumahmu, sehingga kau rela mempertahankannya meskipun itu berarti kau kehilangan petunjuk untuk menemukan arti hidupmu?”
“Entahlah. Hampir semua kawan-kawanku mati dalam pertempuran melawan setan itu, sedangkan yang selamat jiwanya digerogoti oleh kegelapan atau menyepi di suatu tempat, mencoba melarikan diri dari kenyataan pahit bahwa kita telah ditakdirkan untuk musnah. Setelah pria itu menghancurkan semua harapan kami, ya, hanya bumi inilah satu-satunya tempat yang bisa kusebut rumah.”
“Hmmm, sepertinya aku semakin memahami kehidupan kalian. Maaf kalau tadi kata-kataku sedikit lancang. Ngomong-ngomong, di mana Fiona?” tanya Rheinberg.
“Aku sudah siap, pak tua. Kita mulai saja ritualnya atau bagaimana?” Fiona muncul namun tanpa pakaian yang mencolok seperti Saymen, hanya blus sederhana bermotif bunga-bunga putih dan rok hitam selutut. Penampilannya sangat mirip dengan wanita tadi, bahkan sekilas tak terlihat perbedaannya sedikitpun.
Mereka kemudian masuk ke dalam sebuah bangunan sambil memperhatikan sekitar dengan seksama. Aku benar-benar penasaran dengan gerak-gerik mereka yang begitu mencurigakan. Di dalam tempat tersebut terdapat sebuah benda panjang dan tipis yang disangga oleh empat batang kayu. Kasur. Di atas benda tersebut terbaring anak aneh yang kutemui tadi. Apa yang terjadi?
“Aku sudah memerintahkan prajurit untuk menjaga tempat ini. Tak ada yang dapat keluar-masuk tanpa sepengetahuanku dalam jarak dua ratus meter. Nah, Fiona, sekarang silahkan lakukan apa yang harus kau lakukan.”
“Penjagaanmu itu sia-sia pak tua. Tapi terserahlah, asalkan kau merasa tenang. Aku juga paham dengan perasaanmu.”
“Kalau kau paham dengan perasaanku, diam dan lakukan pekerjaanmu,” jawab Rheinberg kesal.
Fiona kemudian memegangi kepala sang gadis, lalu memejamkan matanya. Dalam sekejap, seluruh ruangan berubah putih dan muncul hawa dinging yang kuat dari arah gadis tersebut. Mata sang gadis pun perlahan terbuka.
Fiona...Akhirnya kita bertemu lagi. Masih merindukanku?” Suara sang gadis kecil berubah parau dan menyeramkan.
“Diam kau. Jika kau tidak berulah seperti dua ribu tahun lalu, aku akan melepas sedikit segel-segel penyiksa itu. Paham?”
Hahahahah! Memangnya Aku peduli? Sebentar lagi anak-anakku akan datang kemari dan menyelamatkanku! Tinggal dua puluh tahun lagi dan akan kuhancurkan  dunia kecilmu ini!
“Tidak akan terjadi selama aku masih di sini, Magisa.”
Hahahahahahah! Kau payah juga. Apa kau belum menyadarinya hah? Sini biar kuberi tahu. Bintang-bintang sumber kekuatanku sekarang sedang berkumpul, ditambah lagi, wanita itu juga datang tepat pada waktunya! Anak-anakku memang cerdas! Hahahahahah!” gadis itu menunjuk ke arahku. Apa-apaan ini?
Fiona memandangi pojok ruangan di mana aku berada. Meskipun dia tidak dapat melihatku, tapi sepertinya ia paham dengan perkataan sang gadis.
“Apa-apaan ini? Mereka melakukan proyeksi terlarang! Tapi bagaimana bisa?”
Sepertinya dua puluh tahun lagi keadaan kalian tidak sebaik sekarang, Fiona. Akuilah saja, cepat atau lambat kau akan mati dan akulah yang akan memimpin anak-anakku menuju dunia abadi!”
“Dunia abadimu itu Cuma omong kosong! Kau takkan pernah menemukan Ayah dengan cara seperti itu! Dasar jalang!”
“Oh, kita lihat saja siapa yang jalang! Hahahahahah!”
Gadis tersebut kemudian menatapku. Sebuah sinar merah memancar dari tubuhku dan seakan sinar tersebut terserap oleh sang gadis. Ia lalu mengayunkan tangannya ke arah Fiona dan seketika wanita itu terhempas ke tembok.
“Ugh! Dari mana kau bisa mendapatkan kekuatan sebesar itu?”
Rheinberg yang sejak tadi terkesiap melihat kejadian tersebut langsung bereaksi dan menghantam tubuh sang gadis kecil. Namun, belum sempat pukulannya mendarat, ia terpental kuat hingga menembus tembok.
Para penjaga yang melihat kejadian tersebut segera memenuhi ruangan. Namun tak lama setelah itu, sang gadis terkekeh sambil mengayunkan tangannya ke udara.
Sebuah cahaya menyilaukan memenuhi ruangan dan tiba-tiba ribuan jarum-jarum kecil beterbangan menembus tubuh para prajurit. Tak hanya sampai di situ. Ia kemudian merapalkan sesuatu yang membuat jarum-jarum tersebut memipih seperti pisau lalu menari-nari dan menimbulkan suara yang mengiris telinga. Dalam sekejap, hanya tersisa onggokan besar daging dan darah di lantai. Rasanya aku ingin muntah.
“Fiona, kau tidak apa-apa?” Saymen tiba-tiba muncul di hadapan Fiona, “maaf aku terlambat. Maafkan aku.”
Oh, Saymenku yang tampan. Lama tidak bertemu, anakku, ah bukan, ‘mantan anakku’ yang dulu paling kusayangi. Lihatlah, sebentar lagi aku akan bebas dan melepaskanmu dari cengkeraman wanita jalang itu,” sang gadis bersikap lemah lembut namun dengan ekspresi yang terlalu dibuat-buat.
“Diam kau! Darimana kau bisa mendapat kekuatan seperti itu, hah?!” bentak Saymen.
Oh, kau tak perlu tahu. Yang penting sekarang minggirlah. Aku ada urusan dengan nenek tua itu.”
Saymen kemudian mengeluarkan dua buah pedang dari telapak tangannya.
“Tidak. Akulah yang akan berurusan denganmu.”
Ia kemudian melesat ke arah sang gadis dan mengayunkan kedua pedangnya. Namun sebuah cahaya putih menyilaukan kembali memancar dan menyelimuti tubuh Saymen. Ia mengerang kesakitan seolah-olah tubuhnya ditusuk oleh ribuan pedang. Meskipun berada dalam keadaan seperti itu, ia berhasil menancapkan salah satu pedangnya tepat di dada sang gadis. Cahaya itu pun lenyap dan sang gadis kembali tergeletak tak berdaya.
“Maafkan aku, nak. Takdir memang kejam kepadamu. Tapi apa boleh buat, harus ada satu orang yang menanggung semua beban ini. Selamat tinggal,” Saymen kemudian mengangkat pedangnya dan bersiap memenggal kepala sang gadis. Ah, aku tak sanggup melihatnya.

Vandalha Chapter 3

-->
Warchief & Val:
Global Chaos

Franc menggigit jarinya berkali-kali setelah ia menyaksikan sendiri seekor naga berkeliaran dan mengamuk di kotanya. Kini ia berdiri seorang diri di tengah alun-alun kota, seakan ingin menyambut naga tersebut dan menghabisinya dengan tangan kosong. Untunglah tindakan bodoh tersebut berhasil dicegah oleh Val yang dibantu Warchief dengan mengalihkan perhatian sang naga.
“Dasar bodoh! Apa yang sedang kau pikirkan, hah? Kami mencarimu ke mana-mana! Seluruh warga kota menunggu perintah darimu, Franc!“ bentak Val.
“Perintah apa?! Kita akan melakukan apa? Naga ini telah menghancurkan seluruh harapan kita! Apa lagi yang bisa kita harapkan? Penakluk naga?“ jawab Franc dengan nada frustasi.
Val menghantam wajah Franc dengan sangat keras dan membuatnya jatuh tersungkur. Ia lalu bangkit sambil tersenyum. Beberapa saat kemudian, tawa pahit menggema ke seluruh penjuru kota.
“Val, kau tahu apa yang diucapkan ayahku sesaat sebelum ia meninggal? Saat di mana ia menyerahkan wewenangnya sebagai walikota kepadaku, Francois Lizard, si bodoh dari Lyonne Timur? Ia sebenarnya hanya mengucapkan sebuah kalimat: ‘Jangan mengacaukannya kali ini, Franc.‘ Aku mengerti apa maksud ucapannya itu. Meskipun aku bodoh dan tidak berguna, aku harus menyelamatkan kota ini apapun resiko yang harus kutanggung. Tapi kini aku gagal. Aku bahkan tidak bisa melakukan apapun saat naga sial itu mengamuk di kotaku,“ Franc menundukkan kepalanya.
“Franc.“
“Tidak. Jangan katakan apapun. Dengar, mulai saat ini kepemimpinan Lyonne kuserahkan padamu. Kau harus bisa membawa mereka semua dengan selamat menuju Daratan Utama. Ada sedikit perubahan pada jalur penyeberangan. Detailnya tanyakan saja pada Warchief. Aku percaya padamu, Val,“ Franc memegang pundak Val. “Kudengar pusaka peninggalan nenek moyang Lyonne ini sanggup menembus tubuh seekor naga hingga ke jantungnya. Semoga saja legenda itu benar.“ ujarnya sambil menimang-nimang sebuah belati kecil keemasan di tangan kirinya. Ia lalu kembali berlari menuju alun-alun kota.
“Franc! Hei! Jangan bodoh! Jangan sia-siakan nyawamu!! Franc!!“ teriak Val. Namun Franc hanya menoleh dan tersenyum.
“Sungguh suatu kebahagiaan bisa mengenalmu, Val!“ balas Franc. Ia lalu kembali berlari menuju ke arah Laercdan yang tengah mengamuk. Sejurus kemudian, terjadi sebuah ledakan besar disertai hembusan angin yang dahsyat, menghempaskan debu-debu seakan sebuah badai besar sedang menghantam kota. Setelah itu segalanya kembali sepi. Tak ada Laercdan, juga Franc.
Val dan Warchief berlarian menuju alun-alun kota untuk memeriksa keadaan. Namun, segalanya benar-benar kosong dan sepi. Tak ada yang tersisa dari ledakan barusan. Val mengais sisa reruntuhan dan berharap Franc berhasil selamat dari kejadian yang sanggup menciutkan nyali pendekar terhebat sekalipun itu. Tapi nihil. Tak ada siapapun selain mereka di tempat itu.
“Sudahlah, anak muda. Kawanmu itu telah merelakan dirinya untuk ikut musnah bersama naga keji yang telah merusak kotanya. Lihatlah sisi baik dari semua itu. Setidaknya ia menjadi berguna, kan?“ hibur Warchief.
Val tersenyum kecut. “Hmph, sial. Ucapanmu itu benar juga. Tapi…apa kau pernah merasakan bagaimana rasanya kehilangan kawan-kawanmu, pak tua?“
“Beberapa kali. Setahun lalu kawanku Balore tewas dimakan tanaman pemangsa yang ia rawat sejak kecil di pekarangan rumahnya. Memang salahnya sendiri menanam makhluk terkutuk itu di kebunnya,“ jawab Warchief.
“Tapi apakah ia pantas mendapatkannya? Apakah setiap manusia pantas mati?“ tukas Val.
“Terkadang sebuah kepantasan tak dapat kita ukur dengan ukuran yang sama kepada setiap orang. Kau harus menemukan sesuatu yang dapat kau jadikan alasan untuk menjadikanmu pantas mati. Tapi menurutku semua itu tidak penting. Mati bukanlah tujuan kita hidup di dunia ini, anak muda. Mati hanyalah awal dari perjalanan abadi yang harus kau cari, bukan untuk kau pertanyakan.“
“Tapi untuk apa hidup jika suatu saat kita akan mati?“ sanggah Val.
“Ya, mengapa kita harus mati jika kita masih dapat bertahan hidup?“ Warchief kemudian meremukkan sebuah bongkahan puing bangunan dengan tangan kosong dan mengambil sebuah belati emas yang ia temukan di baliknya. “Kurasa temanmu itu telah menemukan alasan dari kehidupannya,“ ia lalu menyerahkan belati tersebut kepada Val.
“Warchief,“ Val menggenggam erat belati tersebut.
“Ya?“
“Apakah menurutmu semua yang kita lakukan ini sia-sia? Maksudku, jika suatu saat kita hanya menjadi debu dari peradaban ini, mengapa kita harus repot-repot mempertahankannya? Padahal kita tidak memiliki arti sedikitpun di dalamnya.“
Sang Warchief kemudian tertawa, “Harhharhharh! Kau bahkan tidak mengerti arti dari sebuah  kehidupan. Mengapa kau masih saja bersikeras mempertanyakan hal itu? Bahkan kaum Elf yang telah jutaan tahun mendiami dunia ini masih belum menemukan arti dari kehidupan mereka. Mungkin kita tidak akan pernah bisa menemukannya, tapi setidaknya kita masih punya tujuan hidup di dunia ini,“ jawab Warchief.
“Tapi bagaimana jika tujuan itu tak berarti?“ tanya Val.
“Nak, apa kau pernah jatuh cinta kepada seorang wanita?“ nada Warchief berubah serius.
“Ya. Sekali.“
“Mengapa kau mencintainya? Apakah ia pernah sedikitpun memberimu sesuatu selain balasan dari cintamu kepadanya? Lalu untuk apa kau mencintainya?“
“Entahlah. Aku hanya selalu ingin melihatnya bahagia. Itu saja,“ jawab Val ragu.
“Begitukah? Kau tidak punya alasan untuk mencintainya, tapi kau juga tidak punya alasan untuk tidak mencintainya. Melihatnya bahagia, hanya itukah?“
“Apa salahnya semua itu? Kau pasti juga pernah merasakannya, kan?“ tukas Val.
“Kau masih terlalu muda untuk memahami apa yang seharusnya tidak perlu kau pahami. Apa kau percaya pada Tuhan?“ Warchief kembali bertanya.
“Ya.“
“Nah, itu seharusnya menjawab semua pertanyaanmu. Ayo kita pergi dari sini,“ ujar Warchief sambil berjalan menuju kantor walikota, sedangkan Val masih terdiam di tengah alun-alun kota.
“Hei, tuan walikota! Seluruh warga telah menunggumu di pengungsian, menunggu instruksi! Jangan biarkan mereka menunggu lebih lama. Bisa-bisa kau tidak terpilih lagi sebagai walikota tahun depan! Harhharhharhharh!“ Warchief kembali berjalan.
Val segera tersadar dari lamunannya dan berlari mengikuti Warchief. Tak jauh dari situ, seorang wanita berjubah merah berdiri agak tersembunyi di balik reruntuhan, mengamati Val yang segera meninggalkan tempat tersebut. Wanita itu lalu mengamati bongkahan arang yang terlihat seperti kepala seekor naga di hadapannya. Setelah mengambil beberapa bagian dari bongkahan tersebut dengan pisau, ia lalu mengangkat tangannya ke atas. Seketika sebuah pusaran angin muncul dan menyedot tubuhnya dengan perlahan.  Beberapa saat kemudian, wanita itu menghilang tanpa bekas.

***


Sephia memacu kereta besinya dengan sangat cepat, menembus hutan lebat di pinggir kota Lyonne. Setelah berhasil meyakinkan komandan pasukan BCSF untuk segera mengerahkan pasukannya menuju Lyonne, ia kini memiliki kewajiban untuk menyelamatkan para wanita dan anak-anak di kamp pengungsian dari segala bahaya yang mungkin terjadi sampai perintah untuk bergerak menuju Decola dikeluarkan. Beberapa saat kemudian, telepon radionya berdering. Dari Franc.
“Ya?“ jawab Sephia.
“Sep, ini aku, Val. Dengar, segera kumpulkan seluruh warga di kantor walikota. Kita akan berangkat menuju Deadly Burrow hari ini juga. Biarkan BCSF saja yang melakukan pembersihan kota. Prioritas utama kita sekarang adalah para warga,“ jelas Val.
“Baiklah. Tapi ngomong-ngomong, kenapa kau menggunakan telepon walikota? Di mana Franc?“ tanya Sephia.
“Nanti kujelaskan. Segera laksanakan perintahku. Hari sudah semakin gelap. Jika kita bisa melewati jalur Deadly Burrow saat tengah malam, mungkin kita bisa sampai di sana dengan aman. Pokoknya jangan sia-siakan waktu yang sempit ini,“ jawab Val.
“Baiklah. Tapi katakan sekali lagi bahwa kau percaya padaku.“
“Terserah kau saja, nona. Dengarkan baik-baik, ya. Aku…” telepon terputus secara tiba-tiba.
Sephia memacu kereta besinya dengan lebih cepat. Ada sesuatu yang tidak beres sedang terjadi. Ia tahu itu.
Sephia menghentikan laju keretanya. Ia tercengang melihat keadaan kota yang baru saja ia tinggalkan sejam yang lalu kini telah berubah menjadi reruntuhan kota mati yang lebih mengenaskan dari kehancuran apapun yang pernah ia lihat. Nampaknya naga terebut telah menyelesaikan tugasnya dengan baik, pikir Sephia. Tanpa pikir panjang, ia segera menelepon Val. Tak ada jawaban.
“Mencari kawanmu?“ seorang pria berambut hijau tiba-tiba muncul di hadapannya.
“Kau! Apa yang terjadi? Mengapa kau kembali lagi?“ Sephia kebingungan.
Global Chaos.“ jawab pria itu.
“Apa? Aku tidak mengerti!“ Sephia semakin kebingungan.
“Kekacauan massal. Nampaknya penjelajah waktu yang kukejar ini telah mengacaukan kehidupan seluruh penduduk kotamu, entah apa maksudnya.“ jelas pria itu.
“Itu berarti, Val dan yang lainnya sedang berada di dalam Time Paradox, seperti yang terjadi padaku beberapa saat yang lalu?“ tanya Sephia lagi.
“Benar. Tetapi mereka tidak sekedar berada di sana. Dimensi itu sangat tidak stabil karena merupakan hasil manipulasi dari seseorang. Mereka bukan Tuhan, kau tahu itu kan? Tak ada satupun dari pekerjaan mereka yang sempurna. Cepat atau lambat celah dimensi itu akan musnah jika terlalu lama dibuka.“
“Lalu apa yang bisa kita lakukan? Maksudku, bagaimana cara mengeluarkan Val dan yang lainnya dari dimensi itu?“ Sephia menatap pria berambut hijau tersebut.
“Tidak ada. Yang dapat kita lakukan hanyalah menunggu mereka menemukan nasib mereka sendiri dalam kekacauan itu,“ jawab sang pria berambut hijau. “Ngomong-ngomong, namaku Saymen.“
“Aku Sephia. Berapa lama kita harus menunggu mereka?“
“Tidak perlu. Lihatlah ke sana,“ Saymen menunjuk sebuah kepulan asap yang muncul secara tiba-tiba di kejauhan. Nampak seorang pria berjalan menghampiri mereka.

***


Val dan Warchief berjalan melalui jalan utama menuju gedung walikota sambil sesekali melihat keadaan sekitar, kalau-kalau ada seseorang yang masih berdiam di rumah mereka.
“Aneh, seharusnya kantor walikota tak sejauh ini, kan?“ keluh Warchief.
“Entahlah. Sepertinya aku juga merasakan sesuatu yang mencurigakan di sekitar sini. Seperti ada seseorang yang mengikuti kita.“ jawab Val.
“Hmm, aneh juga. Hei, apakah menara itu ada di situ sebelumnya? Rasanya aku baru pernah melihatnya sejak aku datang ke sini.“ Warchief menunjuk sebuah menara yang berdiri tegak di antara reruntuhan Bank Lyonne.
“Hei, aku juga baru menyadarinya. Itu adalah menara yang sama dengan yang muncul dari bawah patung Lord Siphebsa. Kami belum sempat memeriksa isinya karena kekacauan yang datang terus-menerus. Tapi aneh, kenapa menara itu berada di situ?“  ujar Val keheranan.
“Mungkin itu menara yang lain. Sungguh ironis, misteri kota tertua di daratan Vandalha ini baru terungkap setelah kota ini sendiri berubah menjadi abu.“ komentar Warchief.
“Apa maksudmu?“ Val kebingungan.
“Jangan katakan kalau kau belum pernah membaca kitab ramalan Bangsa Vnah ‘Skritc Sitketha’. Kau pernah membacanya bukan?“
“Belum.“ jawab Val.
“Ya ampun. Padahal itu adalah mata pelajaran wajib kaum Dwarf  di sekolah dasar. Tak kusangka ternyata kota ini masih begitu terbelakang.“ Warchief menepuk dahinya.
“Memang apa saja yang tertulis dalam kitab tersebut?“   
“Tidak terlalu banyak. Hanya ramalan tentang kehancuran peradaban tua mereka di sini dan kemunculan kembali ‘Sang Abadi’ yang mereka sembunyikan di bawah tanah kota ini. Sudahlah, itu hanya buku ramalan usang yang kemungkinan terjadinya sangat kecil,“ jawab Warchief.
“Ya, tapi kau bilang sesuatu atau seseorang akan muncul dari dalam kota ini. Dan melihat menara ini menjulang tinggi di atas tempat yang tidak mungkin ia berada di sana, kurasa sekarang kemungkinan terjadinya menjadi seratus persen. Bagaimana menurutmu?“ tambah Val.
“Tidak. Belum seratus persen. Masih ada satu lagi yang belum terjadi, yaitu kemunculan sekelompok manusia setengah malaikat dari dunia lain.“ sanggah Warchief.
“Manusia setengah malaikat?“
“Mereka berwajah seperti manusia, namun tubuh mereka berkilauan bagai permata. Entahlah, tak ada penjelasan lebih lanjut tentang mereka. Dan menurutku, ramalan tentang kedatangan merekalah yang membuat kemungkinan terjadinya semua hal itu menjadi kecil.“ lanjut Warchief.
Mereka kemudian kembali berjalan menyusuri jalanan yang rusak berat akibat langkah kaki kawanan gajah yang dilepas untuk memancing Laercdan beberapa saat yang lalu. Tiba-tiba, Val menghentikan langkahnya.
“Owh, yang benar saja! Aku sudah hafal benar jalan ini, tapi kita hanya berjalan di tempat yang sama, seakan kita tidak pernah berjalan sama sekali!“ teriak Val.
Ada apa? Jangan terlalu mengeluh begitu. Mungkin karena kita terlalu kelelahan akibat kejadian-kejadian barusan.“ jelas warchief.
“Warchief,“ Val menoleh kebelakang dengan pandangan keheranan. “Kurasa kita memang benar-benar tidak berjalan sama sekali. Lihatlah,“ Warchief kemudian ikut menoleh dan terkesiap.
“Kita masih berada di alun-alun kota. Bagaimana bisa? Omong kosong macam apa ini?“ umpat Warchief.
Ada seseorang yang mengganggu kita. Mungkin tukang sihir,“ timpal Val.
“Tukang sihir macam apa yang bisa melakukan hal seperti ini? Yang benar saja! Sejauh yang kutahu, para penyihir itu cuma sekumpulan  pembohong idiot dengan mantra-mantra dan trik-trik sulap mereka yang memuakkan. Mereka cuma penipu!“ tukas Warchief.
“Mungkin yang satu ini adalah penipu ulung. Ataukah ini hanya ilusi mata saja?“ Val mengusap matanya berkali-kali. Pandangannya sedikit kabur, namun ia samar-samar melihat sebuah bayangan dari kejauhan. “Hei, Warchief. Sepertinya aku melihat seseorang di sana.“
Sebuah siluet hitam nampak dari kejauhan, entah pria atau wanita, seakan sedang menatap mereka. Bayangan tersebut kemudian menghilang di sela-sela reruntuhan gedung, meninggalkan asap tebal menyelimuti tempat ia sebelumnya berada.
“Leon. Gaya melarikan dirinya mirip, tapi siapa tahu?“ komentar Warchief.
“Mungkin ia ingin memberitahukan sesuatu, atau ingin menunjukkan jalan kepada kita. Apa kita harus mengikutinya?“ Tanya Val.
“Terserah kau saja, daripada kita mati bosan di sini,“ jawab Warchief.
Mereka pun mengikuti arah bayangan tersebut menghilang, hingga sampai di depan pintu salah satu menara yang menjulang dari dalam tanah. Menara tersebut memiliki arsitektur yang sama dengan menara lainnya, namun memancarkan cahaya yang terang, yang bahkan dapat terlihat dari kejauhan.
Di dalam menara, pajangan senjata-senjata raksasa menyambut mereka. Pedang, kapak, katana, bahkan tameng kayu khas suku pedalaman tertata rapi dalam sebuah kotak kaca berukuran raksasa dan dilingkari semacam lambang-lambang sihir yang kemungkinan besar digunakan untuk melindungi senjata tersebut dari gangguan luar.
“Hmm, apa maksud dari pajangan senjata ini?“ Tanya Val.
“Senjata seluruh suku yang ada di Vandalha. Seperti sebuah simbol persatuan masa lalu. Ini seperti kebiasaan bangsa Vnah untuk menjalin perdamaian dengan seluruh bangsa. Lihat, bahkan ada Creotos, panah legendaris bangsa High Elf yang digunakan oleh para jendral saat perang besar melawan Nic Azura ribuan tahun lalu,“ terang Warchief.
“Siapa itu Nic Azura? Sepertinya aku pernah mendengar nama itu,“ tanya Val lagi.
“Ia adalah pria dari masa lalu yang sudah seharusnya terlupakan dari sejarah benua ini. Kau tahu mengapa bangsa Elf menyebut daratan utama Mainland sebagai ‘tanah terkutuk’?“
“Karena tanah di tempat tersebut dapat membuat mereka jatuh sakit dan mati tanpa sebab? “ jawab Val.
“Benar sekali. Tapi mengapa hal itu bisa terjadi? Jawabannya adalah Nic Azura. Ia adalah keturunan terakhir dari suku geomancer yang terkenal karena kemampuan mereka dalam merusak unsur tanah dan memasang kutukan pada tempat tertentu. Ah, sejarah pria itu terlalu panjang untuk kuceritakan. Intinya pria itu adalah penjahat perang terbesar di Vandalha ribuan tahun lalu, dan kenapa tiba-tiba aku jadi mengantuk ya?“ Warchief lalu memegangi kepalanya yang semakin terasa berat.
“Warchief? Hei, apa yang terjadi? Hei! Akh, kenapa aku juga mengantuk?“ Val kemudian jatuh tersungkur tepat di samping Warchief.

***

Seorang pria dengan jubah perak berdiri di depan dua orang pria yang tak sadarkan diri sambil sesekali memandangi pergelangan tangannya yang dililit semacam rumput kering yang mengeluarkan bau harum. Ia kemudian menoleh setelah terdengar suara langkah kaki dari belakang.
“Kau terlambat, Cherry,“ pria tersebut berkata kepada kawannya, seorang wanita berjubah merah hati yang baru saja datang.
“Maaf. Kepalaku agak pusing hari ini. Bau busuk yang dihasilkan naga gosong ternyata lebih parah dari bau mayat. Bagaimana dengan mangsa, maksudku ‘orang terpilih’ kita kali ini?“ jawab wanita tersebut.
“Sulit juga. Saymen sudah lebih dulu mencium keberadaan kita. Bahkan dia juga membawa seseorang lagi, entah siapa,“ tambah pria tersebut.
“Pria atau wanita?“ tanya wanita itu lagi.
“Wanita.“
“Hmmm, kalau begitu dia bagianku. Kau urus saja rencana kita,” wanita itu kemudian memandangi wajah Val lekat-lekat. “Pria ini sungguh tampan. Boleh aku bawa yang satu ini?“
“Ah, dia itu pesanan Red, ‘anak spesial’, jangan dibawa. Orang tua jelek itu saja. Dia cocok dijadikan kendaraan. Kudengar bangsa dwarf memiliki punggung sekeras batu,“ tukas si pria.
“Tidak jadi ah. Ayo cepat selesaikan pekerjaan kita,“ wanita itu mengangkat tangannya ke atas yang kemudian memunculkan sebuah pusaran putih raksasa dari telapaknya.
“Wah, ini bakalan jadi permainan yang asyik nih. Terlepas dari pekerjaan membuat gedung-gedung palsu ini,“ komentar si pria.
“Siapa bilang gedung-gedung ini palsu? Kau sudah lupa ya, ‘celah besar’ itu tepat berada di mana?“ jawab si wanita.
“Oke, oke. Kau lebih pintar dari aku dan kau tahu segalanya tentang ‘rahasia-rahasia’ membosankan itu. Puas?“ pria itu kemudian mengambil sehelai rambut dari kepala Val dan Warchief Ialu berdiri tepat di samping si wanita. “Mudah-mudahan Saymen tidak ada di sini,“ ia pun menjentikkan jarinya dan perlahan mereka tersedot ke dalam pusaran tersebut. Sekejap kemudian, segalanya kembali tenang. Tak ada pria maupun wanita berjubah.

***

“Nak? Nak, hei bangunlah,“ suara Warchief sayup-sayup terdengar  di telinga Val. Ia lalu mengangkat kepala, segalanya masih terlihat buram.
Setelah berusaha mengumpulkan kesadaran, Val kemudian bangkit dan memandangi sekelilingnya dengan seksama.
“Sepertinya ada seseorang tadi yang membuat kita tertidur.“
“Ya, aku juga merasakannya. Tapi aneh, untuk apa ia melakukan itu? Bahkan tak ada sedikitpun dari barang-barangku yang diambilnya,“ komentar Warchief.
“Mungkin sebaiknya kita lanjutkan pemeriksaan kita. Siapa tahu orang  misterius tadi sudah lebih dulu masuk ke dalam menara ini,“ usul Val.
“Ya, tapi bagaimana kita bisa mengenali orang itu jika kita bahkan tidak ingat sedikitpun bentuk wajahnya?“ sela Warchief.
“I-iya juga. Aku tidak kepikiran tentang hal itu,“ Val menggaruk-garuk kepalanya. “Tapi tak ada salahnya jika kita mencoba, kan? Setidaknya kita bisa tahu apa yang ada di dalam menara ini.“
“Ya, tapi tetap dengan misteri yang berputar di kepala kita. Hal apa yang bisa lebih buruk dari itu?“ sahut Warchief dengan nada frustasi.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan menyusuri lorong menara yang berujung pada sebuah tangga berpilin. Tangga tersebut mengitari sebuah pilar raksasa penuh ukiran-ukiran yang terbuat dari marmer. Sekali lagi Val dan Warchief dibuat terkagum-kagum dengan arsitektur menara tersebut.
“Hei, Warchief, apa kau tahu arti dari ukiran di menara ini?“ tanya Val sambil menunjuk ukiran-ukiran raksasa yang menutupi hampir seluruh bagian pilar tersebut. “Aku pernah melihatnya di menara yang pertama kali muncul beberapa hari yang lalu. Kurasa Sephia dulu pernah mengatakan sesuatu tentang ukiran-ukiran ini.“
“Maksudmu ukiran takdir? Kebiasaan bangsa Vnah menuliskan ramalan-ramalan mereka dalam sebuah monumen? Ya ampun, wanita macam apa kawanmu itu? Bahkan di antara kaum Dwarf di Deadly Burrow hanya aku yang diajari cara membaca ukiran tersebut oleh pemimpin kami yang terdahulu. Lambang-lambang tersebut sangat sakral sehingga hanya sedikit orang yang diperbolehkan untuk membacanya, tahu?“ ujar Warchief keheranan.
“Ng, dia memang agak misterius. Ah, sial! Aku benci dengan rahasia-rahasia menyebalkan seperti ini,“ umpat Val.
“Jangan keburu kecewa dulu. Dengar ini baik-baik. Ukiran ini menceritakan tentang seorang raja pada masa lalu yang memimpin dua juta prajurit untuk memusnahkan kaum pengembara yang mengganggu negeri mereka selama puluhan tahun. Raja tersebut sangat kuat dan memiliki puluhan pengawal pribadi yang kekuatannya setara dengan ratusan prajurit sehingga ditakuti oleh musuh-musuh bahkan oleh kawannya sendiri. Kaum pengembara yang telah memahami betapa mengerikan musuh mereka kemudian berusaha menjatuhkan sang raja melalui seorang wanita yang kemudian berhasil menaklukkan hati sang raja. Raja tersebut tanpa sadar masuk ke dalam perangkap dan selamanya terjebak dalam sebuah celah besar di negeri tanpa cahaya, di mana angin mati dan suara tak pernah terdengar. Hmm, cerita yang klise, tapi aneh,“ Warchief nampak berpikir serius selama beberapa saat.
“Hei, Warchief, apa maksud dari cerita tadi? Celah besar? Negeri tanpa cahaya? Kedengarannya seperti kiasan yang dilebih-lebihkan,“ komentar Val.
“Bagiku itu terdengar seperti gumpalan omong kosong yang diukir oleh bangsa Vnah karena mereka tidak tahu lagi apa yang perlu ditulis dalam ukiran ini,“ jawab Warchief ketus.
“Hei, kenapa kau jadi emosi begitu? Aneh.“
Mereka menaiki tangga berpilin tersebut hingga sampai pada lantai pertama yang juga merupakan puncak menara. Di lantai itu terdapat lebih banyak ukiran-ukiran serupa ditambah dengan sebuah altar yang di atasnya terdapat sebuah bongkahan permata besar. Bongkahan tersebut nampak sedikit retak dan terdapat beberapa serpihan permata di sekitarnya. Seakan-akan seseorang berusaha merusak bongkahan tersebut, namun gagal.
“Apa maksudnya ini?“ Warchief menunjuk bongkahan raksasa yang berkilau redup tersebut.
“Maksudmu? Hei, jangan mengejekku seperti itu, ya? Mentang-mentang aku tidak tahu apa-apa,“ sahut Val.
“Maksudku altar ini dan permata yang ada di atasnya. Sepertinya sedang terjadi sebuah ritual di sini sebelum ada seseorang yang mengganggu jalannya ritual dan berusaha menghancurkan permata ini,“ komentar Warchief sembari menyentuh bongkahan tersebut.
“Dan kenapa kau begitu peduli pada hal semacam itu, Warchief? Bukankah hal yang kau ceritakan tadi setidaknya telah terjadi ratusan ribu tahun yang lalu?“ tanya Val.
“Kau tidak akan mengerti. Jika di tempat ini terjadi sebuah ritual yang melibatkan permata sebesar ini, pasti karena dahulu ‘mereka’ pernah menyerang tempat ini,“ gumam Warchief.
“Mereka? Maksudmu makhluk jelek yang…”
Stalker, “ sela Warchief. “Nama resmi untuk makhluk-makhluk jelek yang menyerang kotamu adalah Stalker. Memang nama yang aneh, tapi cocok dengan kebiasaan mereka menyerang dari belakang saat kita lengah. Keparat-keparat busuk!“ Warchief menghentakkan kapaknya ke lantai.
Ada apa denganmu sih?“ tanya Val keheranan.
“Tidak apa-apa. Hanya sedikit masalah yang belum terselesaikan. Hei, apakah kau tidak merasa udara di sini agak dingin?“ jawab Warchief.
“Ya, memang agak dingin,“ Val menghela nafas.
Perlahan-lahan dinding ruangan tersebut memutih seakan suhu berada di bawah nol derajat. Lumut yang menempel di atasnya pun ikut membeku. Beberapa saat kemudian muncul sebuah asap putih dari lantai. Asap tersebut membentuk bayangan manusia yang semakin lama semakin jelas, kemudian dengan cepat asap itu meletup dan menghilang tanpa bekas. Kini nampak jelas seorang pria berpakaian mengkilap seperti perak berdiri tegak, menatap Val dan Warchief dengan tajam.
“H-hei, apa-apaan ini? Siapa kau? Dan apa-apaan ini?“ Val nampak syok dengan kejadian barusan.
“Valcrist Leonard,“ panggil pria tersebut.
“Ya, itu memang namaku. Sungguh sangat mengagetkan sekali kau tahu namaku,“ Val melirihkan suaranya, “mengerikan.“
“Tunggu dulu! Kau seenaknya muncul dengan sihir bodoh seperti itu dan kau tidak mau menyebutkan namamu? Menurutku itu tidak sopan,“ sela Warchief. Ia mengangkat kapaknya dan bersiap untuk menyerang.
“Aku tidak memiliki nama, dan ditakdirkan untuk demikian. Nama memang indah, tapi ia takkan berarti jika kau tak dapat mengingatnya bukan?“ jawab pria tersebut.
Val terkekeh, lalu berbisik kepada Warchief, “Dia kena amnesia. Haha, lucu, tukang sihir keparat yang lupa namanya sendiri.“
“Aku membawa pesan untukmu. Apapun yang terjadi, jangan bangkitkan sang raja! Tinggalkan tempat ini dan temukan jalan menuju persimpangan yang dulu kalian lewati, lalu pergi. Jangan kembali!“ seketika kabut asap kembali menyelimuti pria tersebut. Beberapa saat kemudian, segalanya kembali sepi.
“Aku memang tidak paham dengan kata-katanya barusan, tapi menurutku dia itu menyebalkan. Apa kau juga berpikir begitu?“ komentar Val.
“Yah, kurang lebih. Hal pertama yang kuinginkan tadi adalah menghantam kepalanya dengan keras agar ia tidak berbicara lagi! Huh, bikin kesal saja, “ Warchief meletakkan kembali kapaknya ke tanah. “Ngomong-ngomong, apa kau masih ingat ucapannya tadi?“
“Ng, aku sudah lupa tuh,“ jawab Val enteng.
“Ya sudah. Sepertinya kita sudah mencapai puncak dari menara ini dan tidak menemukan apapun. Bagaimana jika kita kembali saja?“ tanya Warchief.
“Ng, mungkin sebaiknya memang begitu. Coba lihat keluar,“ jawab Val sembari memandang keluar melalui jendela.
“Demi para leluhur dan orang-orang bodoh yang mengikutinya!“ Warchief terperanjat melihat pemandangan di luar menara. Ratusan bahkan ribuan titik cahaya merah bergerak dengan cepat dari arah bukit Parada menuju kota.
Warchief dan Val segera berlari keluar dan secepatnya bergerak menuju kantor walikota di mana seluruh warga berkumpul. Serangan Stalker, dan kali ini mereka datang dengan jumlah yang lebih besar!

***

“Jesse! Segera siagakan orang-orangmu untuk menyegel pintu gerbang dan tembok utara! Yang lainnya, buat jalur untuk melarikan diri menuju Deadly Burrow melalui pintu selatan!“ teriak Val sesampainya di kantor walikota.
“Hei, Val, ada apa ini? Di mana Franc? Apa yang terjadi?“ tanya Jesse yang kebingungan dengan berondongan perintah dari Val.
“Sudah, cepat lakukan! Aku ditugasi oleh Franc untuk memimpin kalian sekarang. Stalker mulai menyerang lagi dan kita sudah tidak punya banyak waktu! Cepat!“ setelah mendengar penjelasan dari Val tersebut, tanpa pikir panjang Jesse segera bergegas menuju tenda pusat komando BCSF diikuti Warchief.
“Val, yang kau katakan tadi…apa yang terjadi?“ tanya seorang pengawal.
“Di mana Sephia? Apa dia sudah kembali dari kamp?“ balas Val, seakan tidak memperhatikan pertanyaan sang pengawal.
“Belum. Dia belum kembali. Val, tolong ceritakan apa yang terjadi dengan Franc! Apa dia sudah…”
“Ya. Dia telah mengorbankan diri untuk menyelamatkan kota ini. Dengar, kita tidak boleh menyia-nyiakan pengorbanannya itu. Kita harus dapat selamat dari sini!“ ujar Val berapi-api.
“Baiklah, apapun akan kulakukan demi kota ini. Mulai saat ini, kau memiliki nyawaku, nyawa seorang pengawal tidak berguna yang siap mati untuk apapun!“ pengawal itu berlutut di hadapan Val.
“Jangan bodoh. Kau tidak akan berguna jika mati, kan? Jika tidak berguna saat ini, bertahan hiduplah agar bisa berguna lain waktu!“ jawab Val. Jawabannya begitu menyentak hati sang pengawal, hingga ia terisak-isak selama beberapa saat.
“Baiklah, kak! Entah kapan aku bisa membalas semua yang telah kau perbuat!“ mata pengawal itu berkaca-kaca.
“Sudahlah, bahkan aku belum melakukan apapun, kan? Tugasmu adalah melindungi warga yang tidak bisa bertarung agar dapat melarikan diri melalui jalur selatan. Lakukanlah dengan sepenuh hati!“ perintah Val. Sambil terisak, pengawal itu segera memberi hormat kepadanya dan bergegas keluar.
Val menghela nafasnya. “Ternyata tidak mudah menjadi dirimu, Franc. Apakah beban seperti ini yang terus kau bawa sejak saat itu? Kau memang hebat, kawan. Kau bukan orang bodoh,“ bisik Val lirih. Pandangannya mengembara hingga ke puncak bukit Parada. Ia kemudian kembali sadar setelah melihat kerumunan titik api yang semakin mendekat kini berubah menjadi kepulan asap besar di gerbang utama.
***

“Sial! Ke mana mereka semua?“ umpat Jesse ketika ia mendapati tenda komando BCSF yang kosong melompong. Ia kemudian melangkah dengan hati-hati memasuki tenda, sembari memeriksa keadaan sekitar.
Tak ada tanda-tanda terjadi pertarungan di sekitar tenda, tak ada ceceran darah atau semacamnya, itu berarti tak ada hal buruk yang menimpa mereka, pikir Jesse. Tapi kesunyian yang begitu terasa membuat bulu kuduknya merinding. Bagaimana bisa satu kompi pasukan tersebut dapat menghilang dari tempat ini tanpa diketahui oleh setidaknya salah seorang dari anak buahnya? Jesse kemudian mengambil sebuah jam weker yang tergeletak di atas meja. Jam sembilan lebih sepuluh menit. Jam tersebut berhenti berdetak sepuluh menit yang lalu, tepat beberapa saat sebelum Val dan Warchief tiba di kantor walikota. Jesse kemudian memandangi Warchief dengan curiga.
“Nak, sepertinya ada sesuatu yang tidak beres terjadi di sini. Sebaiknya kita kembali dan kabarkan hal ini kepada Val,“ saran Warchief.
“Hei, Warchief. Apa kau merasa ada hal aneh yang terjadi sebelum kalian datang kemari?“ tanya Jesse.
“Jangan bertanya tentang hal aneh padaku. Aku sudah muak mendengar kata itu,“ jawab Warchief. “Kau mau mulai dari mana? Naga raksasa dalam legenda yang berubah jadi nyata? Menara-menara yang ada di ramalan omong kosong bangsa Vnah yang juga menjadi nyata? Penyihir menyebalkan yang membuat segala keanehan menjadi hal biasa? Akan kuceritakan semuanya dengan senang hati,“ lanjutnya.
“Kalau begitu lupakan saja. Tapi, Warchief, kurasa keanehan tersebut memiliki hubungan dengan menghilangnya pasukan BCSF dan serangan ini. Anak buahku telah memasang alat pengintai dalam radius lima kilometer dari kota yang akan berfungsi jika makhluk tersebut menyerang lagi. Namun, tak ada satupun dari alat tersebut yang bereaksi hingga saat ini. Apakah menurutmu itu tidak aneh?“ jelas Jesse.
“Aneh sih tidak, tapi tetap harus kita waspadai,“ Warchief meletakkan kapaknya di pundak dalam posisi siaga. Pandangannya berubah tajam. “Ada seseorang.“
Sekumpulan kelebat bayangan terlihat bergerak dengan cepat di luar tenda, mengitari Jesse dan Warchief dengan gerakan-gerakan yang teratur.
“Ah, aku paling benci saat seperti ini, menghadapi musuh yang tidak jelas,“ Jesse kemudian berteriak, “Hei! Masuklah kalian! Hadapi kami dengan jantan!“
Bayangan-bayangan tersebut kemudian berkumpul di pintu tenda, seakan sedang membentuk sebuah barisan. Salah satu bayangan kemudian memasuki tenda. Seorang pria dengan seragam BCSF.
“Ah, sial. Ternyata kalian,” umpat Jesse. “Kenapa kalian harus menyelinap di tenda sendiri begitu segala?“ tanya Jesse.
“Namaku Rosso. Komandan satuan elit jarak dekat BCSF. Julukan kami adalah Hyenas,“ jawab pria tersebut. “Kami sedang melaksanakan patroli rutin dan baru saja kembali beberapa saat yang lalu dan menemukan hal yang sama dengan yang mungkin kalian temukan di sini,“ terangnya.
“Bahwa markas kalian kosong melompong?“ sela Warchief.
“Ya. Bahkan komunikasi radio terputus baik dengan markas komando di Arch Plain maupun dengan markas pusat di Daratan Utama. Intinya, kami benar-benar kehilangan kontak dengan dunia luar.“
“Ini benar-benar tidak masuk akal. Apakah selain kau dan pasukanmu yang ada di luar masih ada lagi pasukan yang tersisa?“ tanya Jesse.
“Entahlah. Kami sempat menangkap sebuah sinyal dari Deadly Burrow yang kami duga merupakan sinyal radio dari pasukan pengintai yang disiagakan di sana. Selain itu, kami tidak bisa mendapatkan sinyal apapun,“ jawab Rosso.
Tiba-tiba Seorang anak buah Rosso masuk ke tenda dan berkata, “Ada tanda penyerangan dari gerbang timur!“
Tanpa pikir panjang, mereka berlari menuju gerbang timur secepat mungkin.

***

Val kini berdiri di tengah kerumunan pasukan yang baru saja kehilangan pemimpinnya. Tidak mudah memimpin sebuah pasukan yang tahu persis bahwa mereka akan kalah di pertempuran ini, pikirnya. Namun tetap saja, misi bunuh diri ini harus dilakukan demi keselamatan seluruh warga Lyonne yang kini sedang dalam perjalanan menuju Deadly Burrow.
“Saudara-saudaraku! Kita tengah berdiri di ujung batas sebuah zaman! Batas di mana kebebasan tidak dapat kita beli dengan mudah! Kalian dengar suara itu? Suara gebrakan-gebrakan penuh nafsu membunuh yang ingin melumat kita menjadi abu! Jawablah, saudara-saudaraku. Apakah kita akan menjawab gebrakan itu? Ataukah kita hanya akan diam saja menanti ajal, yang cepat atau lambat akan menghampiri kita juga?“ Val berhenti sejenak dan memperhatikan sekitarnya. Nampaknya mereka mulai tergerak. Ia kemudian melanjutkan orasinya. “Apapun yang terjadi, kita akan tetap bersaudara. Kita adalah satu, dan tak terkalahkan!!“ bersamaan dengan kalimat tersebut, gerbang timur runtuh.
Para Stalker berhamburan dari balik gerbang, menghantam pasukan Lyonne yang telah siap menghadang mereka tanpa ampun. Di antara para Stalker tersebut terlihat seekor yang berukuran jauh lebih besar dan dari caranya bertarung, ia terlihat lebih cerdas dari yang lainnya. Ia bahkan dapat berbicara seperti manusia, namun dalam bahasa aneh yang disertai teriakan-teriakan. Val mengamati gerak-geriknya agak lama, hingga ia dikagetkan oleh suara Jesse yang telah berdiri di sampingnya.
“Pasukan BCSF sudah datang, Val,“ Val kemudian membalikkan badan. Wajahnya nampak kecewa dengan ucapan Jesse. Ironis, pikirnya.
“Hanya ini?“ Val memandangi Jesse dengan tajam.
“Hei, aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi seluruh kompi yang mereka bawa seperti ditelan bumi. Lagipula mereka itu pasukan khusus. Hyenas. Kekuatan mereka setara satu kompi petarung jarak dekat,“ jelas Jesse yang dibalas pandangan kesal dari Val. “Ya, memang masih tidak cukup sih,“ ucap Jesse lagi sambil menggaruk-garuk kepalanya.
“Hyenas,“ gumam Val. Ekspresinya sedikit mengejek. “Hei, Jesse. Karena kau adalah orang yang telah berpengalaman menghadapi Stalker, setidaknya dalam pertarungan kemarin, aku menginginkan pendapatmu tentang ini,“ lanjut Val.
“Tentang apa?“
“Lihatlah,“ Val menunjuk Stalker besar yang ia perhatikan sejak tadi. “Pria besar itu, bukankah ia mirip sekali dengan Beedhes? Maksudku, raut wajahnya amat mirip dengan wajah-wajah suku raksasa laut, kan?“ Tanya Val.
“Entalah,“ Jesse mengernyitkan dahi.
“Tubuhnya memang besar, tapi ia bercangkang dan,“ Jesse terkesiap. “Tato itu…Ah, sial! Dia memang Beedhes! Lihatlah, dia memiliki tato yang sama dengan milik Dhartu; Tato bekas lambang pasukan pembebasan yang pernah bertugas di Slopherm! Dhartu, Beedhes dan aku dulu memiliki lambang tersebut, meski sekarang milikku sudah kubuang. Tapi Beedhes masih memilikinya. Ya Tuhan! Apa-apaan ini? Beedhes, bersama makhluk-makhluk menjijikkan itu?“
“Itulah masalahnya. Aku benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya…Hei! Mau ke mana kau? “ Val berusaha mencegah Jesse yang merangsek maju menuju ke arah makhluk yang mirip Beedhes tersebut, namun gagal.
“Beedhes! Apa yang sedang kau lakukan, hah? Membantu musuh? Dasar pengkhianat!“ Teriak Jesse. Makhluk tersebut berhenti sejenak, memandangi Jesse, kemudian berteriak dan menghantamnya hingga Jesse terpental beberapa meter.
“Jesse!“ Val berlari menghampiri Jesse. “Kau sudah gila, ya? Mungkin dia memang Beedhes, tapi lihatlah! Dia bukan Beedhes yang dulu. Ia telah menjadi bagian dari musuh sekarang.“
Jesse tertawa. Ia kemudian bangkit dan menghunus pedangnya. “Ya, aku tahu. Dan sesuai sumpah yang kami ucapkan dulu saat menjadi pasukan pembebasan, pengkhianat harus mati!“ Jesse melompat maju dengan kecepatan yang sangat mencengangkan. Ia kini terlibat adu senjata dengan Beedhes.
“Val, maksudku, Walikota Val, komandan pasukan khusus Rosso melapor dan siap melaksanakan tugas!“ Rosso yang sejak tadi berdiri di samping Val mulai berbicara.
“Ya, laksanakan saja tugasmu,“ jawab Val dengan nada kesal.  “Jagalah agar pria bodoh itu tidak mati, ya?“ perintah Val sambil menunjuk ke arah Jesse yang tengah bertarung mati-matian melawan Beedhes.

***

Sephia berdiri terpaku di tengah jalan menuju kantor walikota dengan cemas. Ia sesekali menatap Saymen, pria aneh yang baru saja dikenalnya, berharap ia mengatakan sesuatu yang dapat menenangkan hatinya. Tetapi, tentu saja, Saymen tetap membisu, seakan hal tersebut merupakan hal yang biasa baginya. Sephia masih tak habis pikir bagaimana bisa seseorang mempertahankan kewarasannya menghadapi permasalahan ruang waktu yang serba tak pasti dan bahkan membuat urusan tersebut sebagai pekerjaannya. Sepertinya aku takkan pernah sedikitpun memahami fakta dari kegilaan-kegilaan yang berputar di dunianya, pikirnya. Namun, Sephia masih sangat berharap Saymen mengucapkan sesuatu.
“Sephia,“ Saymen mulai membuka mulutnya yang sejak tadi membeku.
“Owh, terima kasih Tuhan, Kau akhirnya membuatnya berbicara,” jawaban Sephia membuat Saymen mengernyitkan dahi. “Jangan pertanyakan ucapanku tadi. Ada apa?“ kilah Sephia.
“Tentang pria yang tadi sempat terlihat di balik asap,“ Saymen menghentikan ucapannya.
“Ya, kurasa dia itu Val, kan? Dari perawakannya sudah jelas. Tapi kenapa ia belum juga keluar dari asap itu? Bukankah jika dia sudah terlihat, berarti dia dan warga yang lainnya sudah terbebas?“
“Jangan kaget, tapi yang kau lihat sekarang ini kemungkinan besar bukan Val,“ jawab Saymen dingin.
“Hei, aku benar-benar tidak paham dengan caramu bercanda. Katakanlah setidaknya sesuatu yang masuk akal! “ ujar Sephia setengah berteriak. Wajahnya sedikit memerah.
“Hmm, kulihat kau begitu mengkhawatirkan pria ini. Ada sesuatukah?“ Wajah Sephia semakin memerah.
“Tidak ada apa-apa. Lupakan saja. Cepat katakan apa maksudmu tadi.“
“Pria itu, dia juga sama denganku, “ jawab Saymen. “ Ia berasal dari dimensi lain.“
“Tuh, kan. Kubilang juga apa. Aku benar-benar tidak paham dengan caramu bercanda,“ komentar Sephia.
“Aku serius. Lihat saja, setelah asap itu hilang, bahkan kau pasti juga dapat merasakan perbedaannya,“ lanjut Saymen.
Setelah agak lama menunggu, akhirnya pria tersebut mulai berjalan menuju ke arah mereka. Asap yang sejak tadi menutupinya perlahan mulai menipis dan menampakkan wajahnya. Mata coklat yang tajam, rambut gimbal hitam kecoklatan serta bekas goresan luka di kening tersebut langsung dapat dikenali Sephia. Tak ayal, wanita tersebut serta merta berlari ke arahnya. Berbeda dengan reaksi Sephia yang begitu emosional, Saymen terperanjat setelah melihat sosok pria tersebut.
“Sephia! Tunggu! Dia bukan Val yang kau kenal!“ Teriak Saymen.
“Sudah terlambat, Saymen. Dia milikku sekarang,“ jawab pria yang mirip Val tersebut. Ia kemudian menarik lengan Sephia dan meletakkan telunjuknya di kening wanita itu, yang secara mengejutkan membuatnya tak sadarkan diri. Wajah pria tersebut perlahan berubah menjadi wajah pria lain yang lebih tua dan menyeramkan.
“Red! Bedebah kau!“ Saymen berlari ke arah pria tersebut sambil mengepalkan tangannya yang perlahan mengeluarkan cahaya putih keperakan. Ia kemudian menembakkan cahaya dari tangannya itu ke arah sang pria misterius, namun tiba-tiba padam sebelum sampai pada tujuannya.
“Ah, tidak mungkin,“ Saymen terhenyak. Pria bernama Red tersebut tersenyum licik.
“Haha, apa kau lupa aku ini siapa? Apa kata ‘Fiona’ mengingatkanmu pada sesuatu? Atau seseorang, mungkin?“ Red menghentakkan kakinya dan seketika muncul pusaran angin mengelilingi dirinya.
“Mau ke mana kau?“ Saymen kembali merangsek maju, namun ia langsung terpental begitu tangannya menyentuh pusaran tersebut.
“Sial! Darimana ia mendapatkan kekuatan itu? Kalau begini, aku tak bisa melawan bedebah ini sendirian. Kuharap Laurell bisa mencapai pria itu secepatnya,“ ujar Saymen. Dari mulutnya nampak mengalir darah segar akibat efek pusaran barusan.
“Oh, teman birumu itu?” sela Red. “Kurasa Cherry telah membereskannya sekarang ini. Sebaiknya sekarang ini kau lebih mengkhawatirkan dirimu sendiri saja. Lihatlah keadaanmu sekarang,“ ia menghempas Saymen dengan satu serangan dan terkekeh.
“Sampah.“
Ia kemudian kembali menghentakkan kakinya. Kali ini muncul sebuah pusaran angin besar yang menyerupai seekor naga raksasa. Pusaran tersebut menghantam Saymen dengan dahsyat, hingga membuat tubuhnya seakan tersayat-sayat pedang.
Setelah puas menyiksa Saymen yang kini terkapar tak berdaya, Red kemudian mengangkat tangan dan mengeluarkan pusaran hitam di atas kepalanya. Tak disangka, beberapa saat sebelum ia masuk ke dalam pusaran tersebut, Saymen berhasil memegangi kaki Red dengan seluruh sisa tenaga yang ia miliki.
“Lepaskan tanganmu, Saymen! Percuma saja kau melawan!“ Teriak Red.
“Haha, aku bukan orang yang bisa kau kalahkan begitu saja. Aku juga tahu rahasiamu, bodoh. Sekarang kau pilih: Sephia atau sepatu kesayanganmu ini!“ Saymen semakin mempererat genggamannya. Sementara Red menggeram kesal dan berusaha memberontak.
“Saymen! Keparat kau! Tunggu saja nanti. Lain kali kita bertemu, kau akan kubunuh!“ Ia akhirnya dapat terlepas dari genggaman Saymen, namun dengan melepas kedua sepatu boot hitamnya.
Dalam sekejap Red menghilang bersama dengan Sephia, meninggalkan Saymen yang tersungkur karena luka parah yang dideritanya.

***