Pages

Friday, November 23, 2012

Vandalha Chapter 8



Saymen & Val:
Pangeran Kegelapan



Val dan seluruh prajurit Lyonne melakukan prosesi pemakaman besar kedua. Mereka telah kehilangan beberapa kesatria terbaik Vandalha termasuk Jesse, satu-satunya pria yang memiliki kemampuan untuk memimpin pasukan Lyonne dalam menghadapi gempuran-gempuran Stalker yang tiada henti. Meskipun Warchief secara mengesankan sanggup selamat dari kebrutalan Merrick, namun tubuhnya terluka parah dan tak mampu lagi bertarung. Kini hanya tinggal Val bersama Rosso yang harus memimpin segelintir pasukan tersebut mencapai Daratan Utama, ditambah Beedhes yang kondisinya masih belum stabil.
Ketika jasad Jesse akan dimasukkan ke dalam ruang mausoleum, tiba-tiba Beedhes merangsek ke depan barisan sembari membawa sebuah pedang besar.
“Dhart’, Jess’, suatu saat aku pasti akan menyusul kalian, tapi aku bersumpah hal itu takkan terjadi sebelum Lyonne kembali berjaya seperti dulu!”
Ia kemudian menancapkan pedang tersebut tepat di depan makam Jesse yang bersebelahan dengan makam Dhartu dan berteriak keras hingga menggema di langit kota yang kini semakin menghitam.
“Val, ijinkan aku memimpin pasukan kita. Kau fokuskan saja dirimu dengan nasib warga di Deadly Burrow.”
“Tidak. Aku sudah berjanji dengan Franc dan Jesse. Kalian semua akan tetap selamat sampai ke Daratan Utama. Jika kita harus menghancurkan kota ini agar kita bisa tetap hidup, hancurkan saja! Aku tidak peduli dengan peninggalan peradaban masa lalu atau semacamnya.”
“Tidak. Peradaban masa lalu itu tidak boleh hancur,” tiba-tiba seseorang muncul dari belakang Beedhes.
“Saymen? Dari mana kau datang? Kenapa kau bisa tiba-tiba ada di sini?” tanya Val kebingungan.
“Kau belum bisa pergi dari sini. Kita harus menyelamatkan Sephia sekarang juga.”
“Sephia? Apa yang terjadi dengannya? Di mana dia sekarang?”
“Dia ada di duniamu yang sebenarnya. Kau juga harus mengirim seseorang untuk membawa wargamu yang sudah akan mengungsi kembali.”
Jawaban Saymen membuat Val semakin kebingungan. Val mencoba memutar otak untuk memahami kalimat tersebut kata per kata, namun ia gagal untuk menterjemahkan informasi membingungkan tersebut ke dalam otaknya.
“Maaf, Saymen. Tapi sepertinya tak ada seorangpun di sini yang sanggup memahami maksudmu. Duniaku yang sebenarnya? Lalu kita sedang berada di mana? Dunia khayalan?”
“Kurang lebih begitu. Tak ada waktu untuk menjelaskan, tapi kau harus menemuiku bersama seluruh wargamu di lapangan tengah kota tidak kurang dari dua puluh empat jam lagi. Jika tidak, kalian akan terjebak selamanya di tempat ini.”
Val semakin tidak memahami maksud teman barunya itu. Membawa kembali seluruh warga ke tempat berbahaya ini hanya karena perkataan dari seseorang yang kemungkinan besar adalah orang gila? Yang benar saja, pikir Val.
“Aku tidak gila, kawan. Aku hanya berpikir jauh di atas kalian, sehingga kalian mungkin tak bisa memahaminya. Tapi percayalah, semua yang kukatakan itu benar adanya,” jawab Saymen seolah-olah mampu membaca pikiran Val.
“Percaya? Entahlah. Mungkin kau harus menunjukkan dulu beberapa bukti yang masuk akal agar kami mengerti.”
“Jam,” jawab Saymen, “periksalah jam kalian. Sudah berapa lama kalian berada di sini?”
Val dan sebagian prajurit pun memeriksa jam yang mereka bawa.
“Mati. Tepat pukul lima sore, beberapa saat setelah kemunculan Laercdan di alun-alun kota. Apa maksudnya?” tanya Val.
“Kalian terjebak di dalam sebuah dimensi buatan di mana waktu tidak berjalan. Perhatikan saja, bahkan cahaya matahari pun tidak menghasilkan bayangan di tempat ini. Tempat ini palsu, dan akan segera hancur,” terang Saymen.
“Ah...Kenapa tak ada seorangpun dari kita yang menyadarinya? Tapi mengapa semua hal ini terjadi pada kami?”
“Aku belum bisa menjelaskannya. Seseorang berkekuatan besar berniat membangkitkan sesuatu dari tempat ini, dan ia membutuhkan persembahan dalam jumlah besar, hanya itu yang bisa kuberitahukan kepada kalian,” terang Saymen.
“Jangan-jangan, persembahan itu adalah...”
“Ya. Jika dimensi ini lenyap, maka kalian akan terjebak di dalam kekosongan selamanya dan dianggap tidak pernah ada di tempat kalian yang sebenarnya. Persembahan inilah yang diinginkan oleh orang itu. Jadi, apakah kalian ingin keluar dari sini atau kalian lebih memilih untuk melanjutkan perjalanan dan menjadi tumbal?”
“Terserah apa katamu saja, Saymen. Kuharap kau tidak berbohong kepadaku karena saat ini kau telah kami anggap salah satu pahlawan kota kami,” tegas Val.
“Aku memang bukan bagian dari kalian, tapi percayalah. Tugasku adalah menyelamatkan manusia dari kehancuran. Sekarang, ikuti seluruh instruksi yang akan kuberikan,” Saymen kemudian menghadap ke arah Beedhes, “kau yang bertubuh raksasa, sepertinya kau yang paling cocok untuk menjemput warga kalian yang sudah mengungsi. Segera pergi dan gunakan alasan apapun untuk membawa mereka kemari. Mengerti?”
“Hei, tunggu dulu. Bukankah lebih cepat jika seseorang pergi ke sana menggunakan kuda atau kereta besi? Lihatlah ukuranku baik-baik. Memangnya ada kuda yang ukurannya seimbang denganku?” sela Beedhes.
“Kau pernah menunggang kadal raksasa?” jawab Saymen tenang.
Beedhes sedikit mengernyitkan dahi. Ia memberi sebuah ekspresi wajah kepada Val yang seolah-olah berkata,
 “Orang ini gila ya?”

***

Beedhes masih sedikit mengumpat dalam hatinya sekaligus heran dengan pria berpakaian mengkilat yang tiba-tiba saja datang dan mengusulkan bahwa ia harus menjemput warga yang sudah terlanjur mengungsi dengan menunggangi Rag’karnak. Orang macam apa yang sanggup menjinakkan makhluk sebesar ini? Bahkan ia sempat-sempatnya menamai kadal ini Betsy!
“Apa kau kenal pria aneh itu, kapten? Kurasa aku belum pernah melihatnya sejak perang pertama melawan makhluk-makhluk jelek, maksudku, stalker,” tanya Beedhes kepada Rosso yang juga ikut bersamanya.
“Entalah. Tapi menurutku gayanya mirip dengan orang-orang Persatuan Penyihir dari Slopherm. Atau mungkin saja dia berasal dari ‘daerah tanpa nama’.”
“Daerah tanpa nama ya? Hm, aku juga sepintas memikirkan kemungkinan itu. Banyak yang bilang kalau tempat itu merupakan gerbang neraka yang penuh makhluk menyeramkan, tapi bagiku tempat itu cuma padang tundra yang luar biasa luas. Tapi bukankah tempat itu tidak dihuni oleh bangsa manapun? Untuk mendekat ke pantainya saja butuh perjuangan keras. Orang itu terlalu misterius. ”
“Ah, sudahlah. Yang penting kita jalankan dulu tugas ini. Ngomong-ngomong, apa ini jalan yang benar menuju Deadly Burrow?” sela Rosso.
“Sepertinya begitu. Tapi...”
Rag’karnak mereka terhenti oleh sebuah lubang besar yang menghalangi jalan. Beedhes kemudian turun dan memeriksa lubang tersebut. Ia melempar sebongkah batu seukuran telapak tangan ke dalamnya untuk mengetahui seberapa dalam lubang tesebut, namun setelah beberapa lama tidak terdengar apapun.
“Lupakan saja lubang ini, masih ada hal yang lebih penting yang harus kita lakukan.”
Belum sempat mereka beranjak dari tempat mereka berdiri, terdengar suara seseorang dari dalam lubang.
“Hei, apa di sana ada orang?! Apa kau yang melempar batu ini?!” Teriak orang tersebut.
“Ah, ya. Maafkan aku,” jawab Beedhes, “Ngomong-ngomong sedang apa kau di bawah sana?”
“Hei, pertanyaan macam apa itu? Kalau dia ada di bawah dan bertanya seperti itu pada kita, itu artinya dia sedang terjebak di dalam, bodoh!”
Rosso menepuk kepala Beedhes dengan keras namun segera menyesalinya karena ternyata kepala raksasa itu ditambal dengan lempeng besi setebal dua senti.
“Sial, kau ini manusia atau bukan sih?” keluh Rosso.
“Bukan, aku raksasa suku laut,” jawab Beedhes polos.
“Jangan jawab pertanyaanku!” Rosso secara tidak sengaja kembali menepuk kepala lapis besi tersebut karena kesal.
“Hei, kau yang di bawah, apa kau butuh bantuan?” tanya Beedhes.
“Ya, kalau kalian berkenan. Aku akan sangat berterima kasih jika kalian mau membantuku.”
“Tapi bagaimana caranya mengeluarkanmu dari situ? Tidak ada tali atau benda lain di sekitar sini yang bisa kugunakan untuk...”
“Ah, tidak perlu. Berikan saja aku lempengan besi atau kayu,” jawab suara tersebut.
“Aku tidak mengerti, tapi baiklah, kebetulan aku membawa tameng,” jawab Beedhes sedikit kebingungan. Ia pun melempar sebuah tameng ke dalam lubang tersebut.
Tak lama setelah itu, terdengar suara seperti angin yang berhembus dari dalam lubang. Suara itu semakin mendekat hingga terlihat seorang pria muncul dengan sangat mengejutkan.
“Hei, Rosso! Hei! Hei!!” panggil Beedhes, namun Rosso masih sibuk memegangi tangannya yang lebam.
“Apa sih?! Kau ini lama-lama menyebalkan ya? Lihat, tanganku bengkak karena kepalamu yang...” Rosso menghentikan ucapannya. Wajahnya nampak takjub seakan tidak percaya dengan apa yang ia lihat.
Sang pria melayang di atas tameng yang dilempar oleh Beedhes barusan. Penampilan pria itu terlihat sangat mencolok dengan jubah perak dan baju zirah putih mengkilat yang tetap terlihat mengesankan meski sudah compang-camping, seakan ia baru saja kembali dari sebuah pertarungan besar. Terdapat banyak luka di sekujur tubuhnya, namun ia masih berdiri tegak dan menatap Beedhes dan Rosso yang  terkesima melihat dirinya. Ia melayang maju dan mendarat dengan perlahan di pinggir lubang
“Terima kasih, tuan-tuan. Kalian telah menyelamatkanku. Entah apa jadinya kalau aku terjebak di lubang laknat itu lebih lama lagi.” Pria itu kemudian turun dari tameng dan berjalan menghampiri Beedhes dan Rosso.
“Dia berjalan di tanah! Syukurlah, ternyata dia bukan arwah  penunggu hutan,” komentar Beedhes.
“Ternyata hanya itu yang kau pikirkan, hah?” jawab Rosso kesal. Ia berniat menepuk kepala Beedhes lagi, namun batal ia lakukan.
“Dengar, kapten. Bahkan monyet terbodoh pun tidak akan mengulang kesalahan yang sama, tapi lihatlah dirimu,” ejek Beedhes sambil terkekeh.
 “Diam kau!” bentak Rosso, “Ng, tuan berjubah. Ngomong-ngomong bagaimana kau bisa terjebak di lubang itu?”
“Panggil saja aku Grey. Ceritanya panjang, tapi intinya aku baru saja dikalahkan oleh seseorang dan dibuang di tempat ini. Oh, ya. Apa kalian melihat seseorang berkekuatan besar di sekitar sini? Ia memiliki kekuatan mengendalikan angin, api dan semacamnya. ” jawab sang pria.
“Pria berkekuatan besar? Maksudmu Saymen? Dia ada di...” Beedhes tidak melanjutkan ucapannya karena Rosso tiba-tiba menginjak kaki sang raksasa.
“Dasar bodoh!” bisik Rosso, “Kau tidak dengar penjelasannya barusan? Dia baru saja dikalahkan seseorang!”
“Ya, memangnya kenapa? Dan kenapa kita harus bisik-bisik seperti ini?” jawab Beedhes.
“Apa bukan kebetulan kalau ternyata seseorang yang mengalahkannya itu Saymen lalu ia ingin membalas dendam? Mereka berdua sama-sama penyihir, bisa jadi dia itu orang jahat. Kita tidak mau ambil resiko kan? Ingat, nasib Lyonne bergantung pada Saymen! Apa jadinya kalau seseorang tiba-tiba membunuhnya, hah?” lanjut Rosso.
“Benar juga. Tapi aku sudah terlanjur menyebut namanya. Bagaimana ini?” ujar Beedhes cemas.
“Ah, kau memang benar-benar tidak dapat diharapkan. Biar aku saja yang bicara!”
“Hei, apa yang sedang kalian bicarakan? Tadi sepertinya kau menyebut nama Saymen kan?” tanya Grey.
“Ahahahah! Bukan apa-apa kok. Soal Saymen, kami memang pernah bertemu dengannya, tapi ia tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak. Sebenarnya memang tidak ada jejaknya karena...karena dia terbang! Hahaha!” Jawab Rosso sekenanya.
“Hm, begitu ya?” gumam Grey.
 “Ah, baiklah, lupakan saja pertanyaanku tadi. Sekarang, biarkan aku membalas kebaikan kalian. Tapi aku tidak tahu harus membalas dengan apa. Aku bahkan tak punya uang sepeserpun.”
Rosso memandangi tameng Beedhes yang tergeletak di tanah dan tiba-tiba ia tersenyum seolah mendapat sebuah ide bagus.
“Sepertinya aku tahu bagaimana caramu membalas budi, tuan berjubah.”


***

Vandalha Chapter 7



Val & Jesse:
Serpihan Kenangan Masa Lalu

Val dan Jesse beserta seluruh komandan divisi sedang berkumpul untuk menghitung jumlah korban dan membahas rencana mereka selanjutnya. Setelah membawa pasukan yang terluka termasuk Beedhes ke barak paramedis, mereka kemudian berjalan menuju sebuah lapangan di tengah kota. Beberapa orang prajurit bertugas untuk menata jenazah sedangkan yang lainnya berdiri terdiam menatap kawan-kawan mereka yang terbujur kaku. Salah seorang dari mereka menyanyikan sebuah lagu berjudul ‘Pahlawan di Lembah Keabadian’ yang biasa dinyanyikan saat prosesi pemakaman seorang prajurit.
Val yang telah didaulat oleh Franc untuk menjadi walikota pun maju ke tengah-tengah barisan dan memberikan sebuah pidato penghormatan.
“Sungguh suatu kehormatan yang sangat besar untuk dapat berjuang bersama kalian semua, kesatria-kesatria terhebat di Vandalha. Kita telah berhasil menunjukkan kepada musuh yang ganas dan tidak kenal ampun bahwa kita masih terlalu tangguh untuk mereka kalahkan! Maka dari itu, jangan biarkan perjuangan kawan-kawan kita yang gugur ini sia-sia. Segera hapus kesedihan dari wajah kita dan bangkit untuk menyongsong harapan baru di daratan utama. Ingat, tidak ada perjuangan yang sia-sia selama kita masih bernafas untuk meraihnya! Perjuangan belum berakhir kawan-kawan!”
Setelah pidato berakhir, jenazah-jenazah tersebut kemudian dibawa menuju Lord Siphebsac Mausoleum, sebuah tempat pemakaman bawah tanah tempat seluruh pahlawan Lyonne dimakamkan, untuk menjalani prosesi selanjutnya.
Di tengah perjalanan menuju Mauloseum yang terletak tak jauh dari kantor walikota, seorang prajurit penjaga gerbang berlari menghampiri Jesse.
“Lapor, kak! Ada seorang pria berbadan besar berdiri di depan gerbang timur yang mencari kakak dan kak Val. Kami sudah berusaha mengusirnya, tapi dia tidak mau mendengarkan kami,” terang sang prajurit.
“Pria bertubuh besar? Seperti Beedhes?”
“Sepertinya bukan. Dia tidak sebesar raksasa laut dan tubuhnya penuh tato. Lagipula rambutnya panjang dan gimbal kecoklatan. Ia juga membawa sebilah pedang besar berlambang naga. Beberapa orang prajurit berusaha menjatuhkan dia, tapi orang itu terlalu kuat! Sekarang ia sedang bertarung melawan Warchief dan Kravitz!” jawab sang prajurit.
“Ah, sial! Kenapa harus ada masalah di saat seperti ini? Ya sudah, aku akan memeriksanya. Tolong beritahu Val kalau aku tidak bisa ikut masuk ke Mausoleum.”
“Siap, kak!”
Jesse pun segera berlari menuju gerbang untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sepanjang perjalanan ia terus mengingat-ingat ciri-ciri pria misterius tersebut. Tiba-tiba ia teringat sesuatu yang sangat penting tentang sang pria misterius.
“Keparat! Tidak mungkin kalau itu benar-benar dia. Tidak mungkin!” Jesse terus berlari menembus jalan-jalan sempit menuju pintu gerbang dengan perasaan galau.

***

“Hei! Sudah kubilang kalau aku tidak mau bertarung dengan pria  bedebah yang identitasnya tidak kukenal! Sebutkan namamu!” teriak Warchief sambil mengayunkan kapaknya hingga beradu dengan pedang besar milik sang pria tak dikenal.
“Aku hanya ingin mencari Jesse dan Val. Nama tak penting jika kau tak perlu mengingatnya kan?” jawab sang pria.
“ Sialan! Kau sudah mengucapkan omong kosong itu berkali-kali, tahu! Apa yang rusak dari otakmu itu sampai-sampai kau tidak tahu namamu sendiri, hah?”
“Aku sudah memasuki kota ini ratusan kali, tapi kenapa baru sekarang ada yang menempatinya, hah? Kemana saja kalian selama ini?”
“Aku tidak mengerti apa yang kau ucapkan. Kota ini selalu berpenghuni sejak dulu hingga sekarang. Sudah kubilang pasti ada yang rusak dengan otakmu itu!” jawab Warchief sambil terus mengayunkan kapaknya dan menyerang sang pria dengan hantaman-hantaman yang mampu menggetarkan tanah.
Tiba-tiba sang pria misterius berhenti bertarung dan berdiri tertegun. Pandangan matanya berubah kosong.
“Aku…aku… Ah, aku tak mengerti apa yang salah dengan otakku! Sudah sekian lama aku menunggu mereka untuk datang menjemputku, tapi sepertinya sia-sia. Mereka meninggalkanku! Mereka membiarkanku mati di sana hingga akhirnya pedang ini menolongku. Sekarang aku akan membalaskan semua yang pernah mereka lakukan padaku! Pengkhianat harus mati!” ia kembali menyerang Warchief dengan satu lompatan secepat kilat.
“Tuh, kan. Otakmu memang benar-benar rusak,” komentar Warchief sambil menahan serangan ganas sang pria berambut coklat.
“Kakek! Minta izin untuk menembakkan ballista!” teriak Kravitz dari arah menara. Seketika sebuah panah besar melesat ke arah pertempuran, namun meleset.
“Jangan dulu, dasar bodoh! Kau mau mengenaiku, hah?”
“Ah, tidak apa-apa kan kalau satu orang harus dikorbankan? Lagipula kau sudah tua, sudah bau tanah!”
“Aaaargh, dasar anak tidak berguna!” teriak Warchief kesal.
Pertarungan sengit terus berlanjut. Kedua senjata terus beradu dengan sangat keras sehingga menimbulkan percikan api dan suara nyaring yang memekakkan telinga. Setelah beberapa kali hantaman, pedang milik sang pria misterius terlempar jauh, membuatnya menjadi sasaran empuk bagi Warchief.
Warchief kemudian melempar salah satu kapaknya dengan kekuatan penuh ke arah sang pria, namun sayang, pria tersebut sanggup menghindar dan secepat kilat menghampiri Warchief yang masih kehilangan keseimbangan selama beberapa detik setelah melempar kapaknya.
Sekelebat bayangan hitam tiba-tiba muncul dari balik punggungnya. Dalam waktu singkat bayangan tersebut menyelimuti lengan kirinya, membentuk sebuah pola aneh di sekujur lengan lalu memanjang hingga ujung jari-jarinya dan mengeras menyerupai pisau tajam.
Dengan jarak sedekat itu, Warchief tak mampu lagi menahan serangan dari sang pria. Sebuah tebasan pun mendarat di dada kakek tua tersebut. Warchief jatuh tersungkur bersimbah darah, namun ia masih sadar dan berusaha bangkit.
“Keparat! Senjata macam…apa yang kau…Bangsat!” sumpah serapah keluar bersahutan dari mulutnya yang juga mengeluarkan darah.
“Sudah kubilang, aku hanya ingin mencari Val dan Jesse. Sekarang tunjukkan di mana mereka!” jawab sang pria misterius.
“Cih! Mati saja kau bedebah! Kau tidak akan maju selangkahpun dari tempatmu berdiri!” Warchief kembali berdiri dan mengayunkan kapaknya dengan susah payah. Namun belum sempat ia menyerang, sebuah bayangan panjang melesat dan menembus perutnya. Kali ini ia tak mampu lagi menahan serangan tersebut dan kehilangan kesadaran.
Kravitz seakan tidak percaya bahwa Warchief dapat dikalahkan dengan mudah. Ia berdiri terpaku di atas menara, memandangi medan pertempuran yang kini sunyi senyap tanpa suara sedikitpun. Kesadarannya kembali muncul dan ia dengan sigap menarik panah ballista, siap menembakkannya ke arah sang pria misterius, namun lagi-lagi sebuah bayangan hitam melesat ke arah menara, menembus tubuh kurus Kravitz sebelum ia sempat melakukan apapun.
Jesse yang baru saja sampai di depan gerbang tercengang dengan pemandangan yang ia lihat. Warchief, dwarf terkuat yang pernah ia temui dijatuhkan oleh seorang pria asing dengan tangan kosong. Namun beberapa saat kemudian air mukanya berubah. Kali ini ia semakin tercengang melihat wajah sang pria asing.
“Merrick!”
“Jesse!” pria bernama Merrick tersebut langsung berlari menghampiri Jesse dengan wajah gembira.
Jesse yang tidak menyadari sedikitpun dengan apa yang terjadi menyambut Merrick dengan canggung. Kenangan masa lalu bersama pria tersebut menyergapnya. Wajah Merrick yang telah terlupakan dari memorinya dalam sekejap muncul merangkai peristiwa demi peristiwa yang pernah mereka alami bersama. Tiba-tiba rangkaian tersebut terhenti pada sebuah gambar besar yang menyentak akal sehat Jesse. Ia kembali tersadar tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kenyataan yang dulu secara misterius menghilang dari ingatannya itu kini kembali dengan sebuah peringatan yang datang terlambat, karena bersamaan dengan itu perut Jesse telah tertembus pisau hitam, sedangkan wajah hangat Merrick kini berubah menjadi seringai yang menyeramkan.
“Merrick…kau…iblis…”
“Hahahahah! Pengkhianat! Pengkhianat harus mati! Mati!” tusukan demi tusukan terus dilancarkan ke tubuh Jesse yang kini tidak berdaya.
Para prajurit yang berada di sekitar tempat tersebut hanya bisa berdiri gemetaran menyaksikan para perwira mereka yang tangguh dan tak takut mati berhasil dikalahkan dalam sekejap.
Merrick berjalan perlahan memasuki gerbang tanpa memperhatikan sekitar, berhenti sejenak, kemudian berteriak,
“Valcrist! Keluar kau pengecut! Kau telah mempermalukan nama keluarga Leonard! Aku tidak sudi punya kakak sepertimu! Dasar pengkhianat! Pengkhianat harus mati!!!”
Merrick kemudian mengangkat tangannya ke udara, dan dengan gerakan menggenggam, sebuah cahaya ungu aneh meyelimuti tubuhnya, diikuti hempasan kuat dan suara ledakan yang menggelegar. 

***
Val Nampak begitu gusar mendengar laporan yang disampaikan oleh seorang prajurit beberapa saat setelah prosesi pemakaman selesai. Pesan Jesse tentang ketakutan terbesar mereka menggelayut di otaknya.
Dari kejauhan gerbang timur nampak begitu sunyi. Val menjadi semakin khawatir dan sedikit bergetar. Sesuatu pasti telah terjadi, dan pasti bukanlah sesuatu yang menyenangkan, pikirnya. Sial! Sial!!
Val terduduk lemas melihat kenyataan yang terjadi. Warchief, Jesse, dan belasan mayat prajurit berserakan di depan gerbang timur. Seakan seluruh harapan yang ia miliki lenyap seketika. Pertama Sephia, lalu para pahlawan perkasa andalan Lyonne, Franc, Warchief, kemudian Jesse. Lalu siapa lagi yang sanggup melindungi Lyonne jika ia mati?
“Sudah kuduga, kau pasti datang, kak,” sebuah suara yang terdengar akrab menyadarkannya dari lamunan. Seorang pria kekar bertato hitam berdiri tegak di puncak menara gerbang.
“Merrick! Apa kau sadar dengan apa yang sudah kau lakukan, hah?”
“Aku sadar dengan segala perbuatanku. Aku juga sadar kalau kau adalah satu-satunya alasan aku masih hidup sampai sekarang,” Merrick kemudian meludah ke tanah.
“Berarti kau juga sadar kalau kita sudah tidak bersaudara lagi. Kau telah melanggar sumpah keluarga! Kau bukan keluarga Leonard lagi, Merrick!”
“Justru kau yang lebih dulu melanggar sumpah! Meninggalkanku di tempat itu, dasar pengkhianat!”
Merrick kemudian melompat turun dan menatap wajah Val dengan penuh kebencian. Dari balik lengannya muncul bayangan hitam yang kemudian berubah bentuk menjadi sebuah pedang hitam berkilat. Dari tubuh Merrick keluar pula hawa gelap yang terlihat jelas di udara.
“Beberapa tahun yang lalu aku bertemu seorang pria di tempat itu, dan dia memberiku kekuatan untuk keluar dari sana. Pria itu juga memberiku kesempatan untuk membalas dendam, untuk menghabisi setiap orang yang telah berkhianat padaku! Mati kau Valcrist!!” ia menghampiri Val dengan langkah yang hampir seperti melayang. Sementara itu, bayangan hitam di belakang Merrick semakin menyelimuti tubuhnya, membentuk semacam tato hitam yang nampak menyala seperti api.
Val bergerak sedikit mundur, curiga dengan hawa pembunuh yang dirasakannya; sebuah hawa yang tidak terlalu asing.
“Merrick, dari mana kau mendapatkan kekuatan itu, hah?!”
“Oh, kau juga sebentar lagi akan tahu. Itu kalau kau tidak mati lebih dulu di tanganku! Hahah!” seringai iblis Merrick kembali muncul. Kali ini bersama dengan sebuah hentakan yang membuatnya melesat menuju ke arah Val.
Pedang hitam Merrick beradu dengan pedang scimitar yang baru saja dipungut Val dari mayat salah seorang prajurit. Namun mata Val terbelalak melihat pedang besar yang dipegangnya kini berubah menjadi sebatang besi berkarat yang tak jelas bentuknya.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan tersebut, tangan Val bereaksi cepat dan menjatuhkan sebuah bom asap ke tanah. Sebagai mantan ketua kompi ahli jebakan, benda-benda semacam itu selalu dibawanya dan terbukti telah menyelamatkan nyawanya berulang kali, termasuk saat ini.
Merrick hanya tertawa terbahak-bahak tanpa berusaha mencari Val. Ia berdiri tegak di tengah kabut asap tebal yang menyelimuti medan pertempuran.
“Val! Dasar banci! Hanya segitu saja kemampuanmu hah? Baiklah, bagaimana kalau kau kutantang bertarung dengan tangan kosong?” Ia kemudian membuang pedangnya ke tanah.
Dalam jarak pandang terbatas seperti itu, ia tak dapat menemukan di mana posisi Val, namun pandangannya langsung tertuju pada menara gerbang begitu ia mendengar suara balista melesat dan menggores bahunya.
“Ya ampun, ternyata kau memang benar-benar sampah! Kau tidak lihat apa? Temanmu tadi sudah mencoba melakukan hal yang sama, lalu sekarang di mana dia? Mati! Dasar bodoh!” teriak Merrick.
“Oh, ya? Coba saja bunuh aku kalau bisa!” ejek Val. Sementara itu, panah balista terus melesat ke arah Merrick.
Menyadari taktik Val yang terus menghujaninya dengan panah, Merrick melepas bayangan hitam yang melekat di tubuhnya dan kembali menghindar dari jangkauan Val dengan cepat. Bayangan hitam tersebut kemudian menggumpal menjadi sebuah bulatan berwarna hitam keunguan dan melesat ke arah menara. Benda tersebut meledak tepat di tengah menara dan meruntuhkan bangunan setinggi sepuluh meter tersebut bersama Val di dalamnya.
Beberapa saat kemudian, Merrick berjalan menghampiri puing-puing menara dengan waspada. Ia berhenti tepat di depan puing-puing tersebut dan meludah.
“Itulah akibatnya kalau kau berkhianat padaku!” Merrick menjulurkan tangannya seolah-olah ingin menarik bayangan hitam yang tadi meledak kembali, namun tak terjadi apapun. Bukan hanya itu saja, ia tersentak melihat sesuatu yang lebih mengejutkan terjadi.
Reruntuhan bangunan tersebut tiba-tiba bergetar hebat. Dari balik reruntuhan muncul seberkas cahaya putih yang semakin terang dan menyibak bebatuan yang menutupinya satu persatu. Perlahan namun pasti, Val muncul ke permukaan bersamaan dengan meredupnya cahaya putih tersebut. Di tangannya nampak seonggok makhluk hitam berlendir yang tertusuk sebuah belati emas.
“Untung perkiraanku benar,” komentar Val.
“Ke..keparat kau!” umpat Merrick.
“Kurasa makhluk ini berasal dari tempat yang sama dengan naga yang mengacak-acak kotaku. Dia adalah bagian dari Laercdan, naga kegelapan dalam legenda, bukan?”
“Hahahahahahahah! Dasar bodoh! Kau belum mengerti juga, ya? Kau pikir benda itu cuma bagian dari Laercdan, hah? Pikiranmu terlalu dangkal.”
“Jadi…kau…” Val terhenyak.
“Ya, akulah orang yang melepas binatang bernafas busuk itu ke kota ini. Mengesankan bukan?” jawab Merrick.
“Berarti kau adalah orang yang bertanggung jawab atas kematian Franc…” Val terdiam. Terlalu banyak bayangan yang berputar-putar di otaknya.
“Oh, jadi si idiot itu akhirnya mati juga. Baguslah, setidaknya ia bisa sedikit berguna, padahal yang kuinginkan adalah Sephi…” suara Merrick terhenti oleh belati emas Val yang menancap di tenggorokannya.
“Siapa kau sebenarnya? Aku sudah tidak bisa mengenalimu lagi, Merrick. Tidak, kau bukan adikku. Kau hanya makhluk keparat yang meniru wajah Merrick,” bisik Val kepada Merrick yang kini jatuh tergeletak dan meregang nyawa di hadapannya.
Merrik terbaring dengan darah mengucur dari tenggorokannya. Ia mengangkat tangannya ke atas, seolah ingin meraih Val, namun ia hanya bisa menatapnya dengan tatapan kosong.
“Kakak…Terima kasih,” Merrick menatap wajah Val dengan bahagia untuk yang terakhir kalinya. Nampak air mata menetes dari pipinya. Ia pun menutup mata dan tersenyum penuh kedamaian.
Melihat kenyataan bahwa mahkluk yang ia bunuh benar-benar Merrick, Val tertunduk lemas sambil memegangi tubuh adik kesayangannya yang telah tiada itu. Pikirannya melayang menuju masa-masa saat mereka masih muda dan penuh ambisi. Teringat di bayangannya tentang impian Merrick untuk mencari sebuah senjata naga legendaris yang ia yakini mampu menghidupkan kembali kedua orang tua mereka. Ironisnya, senjata tersebut malah digunakan untuk merenggut nyawa orang-orang yang mereka cintai. Namun semuanya telah berakhir. Kini yang tersisa hanyalah penyesalan dan air mata. 
***

Vandalha Chapter 6 Part 2





Sephia & Fiona:
Kutukan Waktu 
Bagian 2




Belum sempat aku mencari tahu apa yang selanjutnya terjadi, tiba-tiba saja segalanya kembali terhenti. Ah, ada apa lagi sih?! Gerutuku. Gambar-gambar proyeksi tersebut perlahan menjauh dan meredup hingga tersisa kegelapan mengelilingiku. Ampun deh.
"Maafkan aku, Sephia. Aku tak menyangka tempat Cherry bisa masuk ke tempat ini dengan mudah. Sekarang aku harus memindahkanmu ke tempat yang lebih aman." suara Laurell terdengar kembali, seakan-akan ia tepat di hadapanku.
"Hei, ada apa lagi ini? Aku tak suka tempat gelap seperti ini," protesku.
"Maafkan aku. Hanya ini yang aku bisa. Coba kau pikirkan suatu tempat yang bisa kau ingat. Jika tempat itu masih ada di pikiranmu, mungkin saja Red atau Cherry belum mengetahuinya. Kita bisa pindah ke sana," jawab Laurell. Seperti biasa, membingungkan.
"Ah, kalian ini menyebalkan sekali. Ya sudahlah, asalkan bukan di tempat super gelap seperti ini, akan aku coba."
Aku pun memutar otak dengan amat keras, mencoba membayangkan sebuah gambar, apapun itu di pikiranku. Secara lambat namun pasti, sebuah bayangan muncul. Sebuah ruangan perlahan muncul dan nampak di depan mataku. Banyak sekali benda-benda yang tak kuketahui namanya, namun terasa begitu akrab denganku. Sebuah meja, lalu sebuah benda tipis lebar berwarna putih dengan goresan-goresan hitam di bagian pojok, lalu setitik warna merah di ujungnya. Surat. Tak dapat kubaca, namun tanganku secara reflek langsung menyentuh benda itu. Lalu di tembok terdapat beberapa buah gambar seorang wanita yang memegang berbagai macam benda. Ah, terlalu banyak informasi yang tak kumengerti. Kepalaku jadi pusing tak karuan.
"Hmm, ternyata ruangan ini belum hilang dari ingatanmu ya?" wajah Laurell kini kembali nampak. Aneh, seingatku ia tak memiliki luka sebanyak itu di wajahnya.
"Hei, wajahmu...Kenapa?"
"Ah, ini. Jangan khawatir. Aku tadi sempat berkelahi dengan Cherry. Ia sudah berhasil kuusir kok," jawabnya enteng.
  "Tempat apa ini?" tanyaku lagi.
"Kau tidak ingat? Tempat ini adalah kamarmu sewaktu kami masih mengawasimu dua puluh tahun lalu."
"Ah, entahlah. Bahkan dengan semua proyeksi-proyeksi itu aku masih tak mengerti apapun. Yang aku ingat hanya bahwa pak tua Rheinberg itu sekarang sudah meninggal dan Lyonne itu adalah nama kota ini," jelasku sambil mendesah kecewa.
"Jangan khawatir. Kami akan berusaha sebaik mungkin agar ingatanmu kembali lagi. Kau takkan pernah menyadari betapa pentingnya ingatanmu bagi orang-orang jahat semacam Red dan Cherry," hibur Laurell.
"Hei, apakah proyeksi yang diberikan Cherry itu benar? Apakah Fiona yang kutahu itu bukan ibuku yang sebenarnya? Lalu apakah gadis kecil itu adalah aku?" aku mulai mempertanyakan segala hal yang kulihat dalam proyeksi satu persatu.
"Yah, setidaknya begitulah yang sebenarnya terjadi. Sejak dulu kami selalu melindungimu agar kau tidak terlibat tentang hal apapun yang berhubungan dengan perang kami dengan Red," jawab Laurell. Ia mengamati jendela dengan seksama, seakan memastikan tak ada yang mengetahui keberadaan kami.
"Perang kalian ini, apakah ada hubungannya dengan Lyonne? Kenapa sepertinya tak ada seorangpun yang mengetahui tentang apapun selain Rheinberg?" aku mulai penasaran.
"Sejarahnya panjang. Anggap saja kami memiliki perspektif dan dimensi yang berbeda dengan orang kebanyakan. Kami juga sangat berhati-hati tentang hal itu, sehingga hanya Rheinberg saja yang mengetahui seluruh rahasia kami."
"Sebegitu pentingkah urusan kalian itu? Lalu apa hubungannya denganku?"
"Kau...Ah, aku tak sanggup mengatakannya, Seph. Seperti yang kubilang, sejarah kami amat panjang. Aku takut kau belum sanggup menerima segala kenyataan tentang dirimu," jawab Laurell lagi. Selama beberapa detik ia tiba-tiba terdiam. Wajahnya menengadah, seolah ada sesuatu yang terjadi.
"Ada apa lagi?"
"Saymen. Kita harus pergi dari sini. Ayo, pegang tanganku."
"Ah, menyebalkan. Kau masih berhutang pertanyaan kepadaku, Laurell," keluhku sambil meraih tangannya.
"Jangan khawatir. Saymen adalah orang yang bijak. Setelah ini semua pertanyaanmu akan terjawab tanpa membuatmu kaget atau trauma lagi. Aku janji."
Ya, ya, terserah kau saja."
Beberapa saat kemudian, sebuah pusaran putih menyelimuti tubuh kami. Ah, benda ini lagi, pikirku. Benda mengesankan yang dapat membuat kami berpindah tempat ke...Hei, tempat apa ini?
"Selamat datang di Mediva, Seph," seorang pria berambut hijau menyambut kami. Aneh, sepertinya aku kenal orang ini.
"Saymen. Maafkan aku, aku terlambat. Red sudah memasukkannya ke dalam Time Void sebelum aku sempat..."
"Ya, aku sudah membaca laporanmu. Tidak apa-apa, asalkan Sephia masih bersama kita. Kerjamu bagus, Laurell," sela Saymen, pria aneh itu.
"Kalian itu terlalu banyak meminta maaf ya? Kocak deh," terdengar sebuah suara lagi di belakang Saymen.
Ya ampun. Itulah kalimat pertama yang muncul di benakku begitu aku melihat pria, ah, bukan, adik kecil yang manis ini. Wajahnya bersih dan bercahaya, ditambah lagi dia begitu imut! Entah kenapa aku memikirkan kata-kata itu. Entah apa artinya. Tapi yang jelas tubuhku terasa meleleh begitu aku menatap wajahnya.
"Ah, Orachj, selamat datang. Sephia, perkenalkan, dia adalah Orachj, Sang Hakim Agung, Tetua Generasi Pertama, Wakil Komandan Dewan Keamanan dan Pemimpin Tertinggi Bangsa Elf. Orachj, perkenalkan Sephia, wanita keturunan Fiona," terang Saymen.
"HAH?! Pemimpin tertinggi? Anak kecil imut ini?" tanpa sengaja aku kelepasan dan berteriak karena kaget.
Suasana berubah agak aneh dan kaku. Aku malu, malu sekali. Tak ada yang lebih memalukan dari saat ini. Tidak ada. Bahkan aku berani sumpah  wajah Orachj terlihat sedikit memerah mendengar kalimatku barusan.
"Ah, ng, anu, bagaimana kalau kita duduk dulu di dalam? Sepertinya akan lebih nyaman kalau kita bicara di ruang tamu," ajak Saymen.
"Ide bagus," jawab Laurell sembari menarik tanganku. Matanya seolah mengatakan kepadaku "Hei!" dan kubalas tatapan matanya dengan "Maaf, kelepasan," tanpa bersuara.
   
    


***

Monday, November 19, 2012

Vandalha Chapter 6



Sephia & Fiona:
Kutukan Waktu

Aku masih berjalan tanpa arah di padang rumput yang amat luas ini. Sial, ternyata tempat ini tak lebih baik dari ruangan putih tempatku terkurung tadi. Pikiranku semakin melayang ke atas langit hingga terhenti pada sebuah ketinggian tertentu. Tempat seluruh pertanyaanku mengambang, mencari jawaban yang entah berada di mana. Siapa diriku sebenarnya? Lalu nama-nama yang bercokol di otakku ini, siapa sebenarnya mereka? Val? Franc? Jesse? Sephia? Apa benar itu namaku? Lalu jika itu namaku, mengapa aku tak bisa mengingatnya sebagai namaku sedikitpun? Lalu pria berwajah menyebalkan ini, siapa dia sebenarnya? Aku terus memandangi padang rumput hijau ini sembari bertanya, tanpa mengerti mengapa aku harus bertanya, mengapa aku perlu mendapatkan jawaban atas semua itu. Pentingkah? Apa pengaruhnya untukku saat ini? Untuk kekosongan yang tengah kurasakan ini? Mungkin saja memang di sinilah seharusnya aku berada. Benarkah? Jika tidak, mengapa aku tak tahu di mana aku seharusnya berada? Padang rumput ini juga selalu hijau setiap saat aku memandanginya. Kecuali wanita berpakaian perak yang nampak dari kejauhan itu, tak ada lagi siapapun di sini. Tunggu dulu, wanita berpakaian perak? Ternyata ada orang lain selain diriku di sini!
“Yang Mu…maksudku Sephia,“ wanita berambut biru itu memanggil salah satu nama yang beterbangan di otakku.
“Kau memanggilku?“ tanyaku.
“Ya. Itu namamu, bukan?“ jawab wanita itu.
“Jika itu namaku, kenapa aku tak bisa mengetahuinya? Aku bisa mengingat nama itu, tapi aku tak tahu alasan kenapa aku harus mengingatnya. Pentingkah nama itu untukku?“ tanyaku.
“Ah, sial. Ternyata Red sudah menemukanmu lebih dulu, ya? Maafkan aku, Sephia. Aku terlambat menyadari sinyal bahaya dari Saymen.“
“Saymen? Satu nama lagi untuk kuingat, tanpa sedikitpun alasan untuk mengingatnya. Ada apa dengan dunia ini, hah? Kenapa kau datang mengganggu ketenanganku?!“ aku berubah histeris. Entahlah, perasaan yang merasuk ketika aku mendengar nama itu sungguh terasa tak nyaman.
“Seph, mungkin sebaiknya kita harus keluar dari tempat ini lebih dulu, sebelum pikiranmu benar-benar dihancurkan oleh efek dari Time Void,“ ujar wanita itu seraya menarik lenganku.
“Keluar? Adakah tempat lain selain tempat ini di luar sana? Bukankah semua tempat itu sama? Kosong dan tak berarti untukku?“ belum sempat kudengar kata lain keluar dari mulutnya, sebuah pusaran aneh berwarna putih muncul di hadapanku dan mulai menyelimuti tubuhku.
Lagi-lagi sebuah perasaan aneh yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Namun suara-suara di kepalaku menyebutkan suatu kata yang tak bisa kupahami artinya. Ketakutan? Apa itu? Mengapa aku harus menghilangkan rasa takutku? Ah, lagi-lagi suara itu menghilang sebelum aku mendapatkan jawaban yang kuinginkan. Pusaran itu pun menelan tubuhku dan kurang dari sedetik kemudian segalanya mulai berubah. Padang rumput tempatku berdiri berubah menjadi…ah, entahlah, aku tak tahu tempat apa ini.
“Ini adalah proyeksi masa lalumu, Seph. Setidaknya, ini adalah masa lalu yang perlu kau ketahui untuk saat ini,“ suara wanita itu terdengar di kepalaku, tapi aku tak dapat melihat wajahnya di manapun. “Jangan panik, kau sekarang sedang melihat rekaman masa lalumu, jadi aku tak mungkin bisa terlihat di situ, bukan?  Nikmati saja seakan-akan ini adalah sebuah film. Dan semoga setelah ini ingatanmu dapat pulih kembali.“
“Baiklah. Tapi sebelumnya ada beberapa pertanyaan lagi yang ingin kusampaikan padamu. Pertama, siapa namamu? Kau tiba-tiba saja datang dan melakukan semua ini, tapi kau belum menjelaskan alasannya dan yang kedua, bagaimana kau bisa tahu namaku? Bagaimana kau bisa mengenalku, padahal segala informasi apapun tentang dirimu tak pernah terlintas di otakku. Intinya adalah, siapa sebenarnya kau?“ tanyaku panjang lebar.
Wanita itu mendesah seakan ia sedang tersenyum, “Hmm, untuk ukuran manusia yang sedang kehilangan ingatannya, ternyata kau cukup kritis juga. Namaku Laurell, penjelasan dari pertanyaan-pertanyaanmu yang lain akan terjawab melalui proyeksi ini. Jangan khawatir, intinya aku adalah orang baik. Itu saja,“ jawabnya.
“Baiklah, itu jawaban yang cukup meyakinkan. Jadi, darimana aku harus mulai?“ tanyaku. Tak ada jawaban, namun tiba-tiba terdengar suara manusia di sekitarku, bising dan terasa panas. Ah, sebuah tempat yang ramai dan banyak orang berlalu lalang. Sebuah kata tiba-tiba menyeruak di otakku. Pasar. Apakah ini tempat di mana semua orang saling bertemu?
Tempat ini sungguh menarik. Orang-orang nampak bercakap-cakap dan saling menukarkan barang. Kertas dan besi-besi keemasan kecil itu bisa ditukar dengan sekarung makanan? Sungguh pertukaran yang aneh.
Tanpa kusadari, ada seorang gadis kecil yang berdiri tepat di hadapanku. Ia terus memandangiku hingga seorang wanita datang dan menghardiknya.
“Sephia! Ke mana saja kau? Jangan membuat ibu khawatir!“ bentak wanita itu. Meskipun suaranya tinggi dan kasar, namun aku dapat merasakan kehangatan dari tatapan matanya.
“Tapi, ibu, ada wanita aneh yang berdiri di sana,“ ia menunjuk ke arahku. Apa mungkin yang dia maksud benar-benar aku?
“Jangan terlalu banyak melamun, cepat bawakan bungkusan ini untuk pak Rheinberg! Kalau sudah selesai, pergilah bermain bersama teman-temanmu dan jangan pergi sendirian seperti itu lagi! Berbahaya!“ perintah wanita itu.
Gadis kecil itu berjalan sesuai perintah ibunya. Ia sesekali menoleh ke arahku dengan penasaran. Apa ia benar-benar bisa melihatku? Aneh.
Karena penasaran dengan kejadian barusan, aku mencoba mengikuti gadis itu menuju sebuah gedung megah dengan banyak sekali bentuk-bentuk menawan yang nampak seperti kayu yang berlubang atau sengaja dilubangi oleh pembuatnya. Ukiran kayu. Frasa itu serta-merta muncul di kepalaku. Apakah orang-orang suka menikmati keindahan seperti ini?
Perjalananku berlanjut menuju sebuah ruangan besar yang terletak di tengah-tengah rumah. Di sisinya terdapat susunan kayu yang bertumpuk menuju bagian atas ruangan. Tangga. Tapi di mana gadis kecil itu? Belum lama aku berpikir, sebuah suara nyaring terdengar dari balik sebuah pintu di ruangan bagian atas. Indah sekali, suara siapa gerangan? Akupun semakin penasaran dan memasuki ruangan tersebut.
Di dalam ruangan terdapat sekumpulan benda-benda aneh yang terbuat dari besi dan kayu dan salah satu diantaranya sedang dipegang oleh seorang pria gemuk berkumis lebat. Gadis kecil tadi duduk dengan manis disebelahnya. Pria gemuk tersebut terus menggesek benda yang ia pegang dengan semacam kayu tipis sedangkan suara indah yang dikeluarkan benda tersebut terus mengalun.
“Ada apa, sep? Kau kelihatan cemas,“ tanya pria gemuk tersebut.
“Ada kiriman dari ibu untuk paman,“ ia kemudian menyerahkan bungkusan yang ia pegang kepada pria itu.
“Hm, tumis Harleon, masakan ikan bergigi aneh favoritku. Sampaikan terima kasihku padanya,“ ia lalu mengelus kepala Sephia sementara gadis kecil itu kembali memperhatikanku. Yang benar saja, dia benar-benar bisa melihatku?
“Ada apa? Sepertinya masih ada sesuatu yang kau sembunyikan,“  tanya pria itu lagi.
“Ng, aku ingin mengatakannya, tapi mungkin paman juga takkan percaya,“ jawab Sephia.
“Katakan saja padaku, apapun yang kau katakan aku akan percaya kok,“ bujuk pria itu.
“Ada seorang wanita di pojok ruangan yang sedang memperhatikan kita, tapi tak seorangpun yang melihatnya. Bahkan ibu pun tak mau percaya,“ jawaban gadis itu kontan mengejutkanku. Apa yang sebenarnya terjadi?
“Kau tidak sedang berkhayal kan, seph?“ pria gemuk itu nampak cemas. Ia berusaha menyembunyikan raut wajahnya dari gadis kecil itu. Tapi tentu saja karena ia tidak bisa ‘melihatku’, aku jadi leluasa memperhatikan setiap gerak-geriknya yang semakin mencurigakan.
Pria itu kemudian membuka sebuah kotak besar di sudut ruangan dan mengambil sebuah benda kecil bewarna keemasan di dalamnya. Ia lalu kembali mengelus kepala Sephia.
“Kau pergi main saja dengan teman-temanmu, ya? Paman ada urusan mendadak.“
Gadis itu kemudian berjalan keluar dengan ragu. Sementara itu, si pria gemuk mengangkat benda kuning aneh tersebut dan mulai berbicara seakan ada orang yang mendengarkannya menggunakan benda tersebut. Bahasa yang ia ucapkan terdengar seperti komat-kamit tidak jelas di telingaku. Setelah selesai berbicara, ia meletakkan benda itu lagi dan berdiri dengan cemas di depan pintu, seakan ia sedang menanti seseorang.
“Ia sudah berkembang terlalu jauh, Rheinberg,“ seorang pria berambut hijau tiba-tiba muncul di hadapan si pria gemuk dan membuatnya terperanjat. Entahlah, bahkan aku sendiri tidak menyadari kehadirannya. Lagipula, dari mana ia masuk jika pintunya tidak terbuka? Aneh.
“Saymen,“ Rheinberg menggerutu. “Kau selalu muncul dan hampir membunuhku! Apa di tempatmu tidak ada benda yang bernama pintu, hah?!“
“Maaf mengagetkanmu, pak tua. Masalah yang kau sampaikan tadi terlalu membuatku terburu-buru sampai-sampai aku lupa mengetuk pintu,“ jawab Saymen tenang.
“Ya sudah. Di mana Fiona?“
“Sebentar lagi dia datang. Tenang saja, dia sudah kuingatkan agar mengetuk pintu dulu.“
Tak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Rheinberg pun beranjak dari tempatnya dan berniat membuka pintu.
“Tidak usah. Aku bisa masuk sendiri,“ sela seorang wanita langsing berambut putih yang tiba-tiba berdiri di samping Saymen. Wajahnya benar-benar mirip dengan ibu dari gadis kecil tadi.
“Sialan. Memangnya bangsa kalian tidak pernah belajar cara menggunakan pintu? Bukannya kau dulu juga manusia, hah?“ umpat Rheinberg lagi.
“Tidak. Kami tidak pernah mempelajari teknik kuno seperti itu lagi.“ jawab wanita bernama Fiona tersebut.
“Nah, karena kau sudah di sini, sekarang katakan padaku apa yang terjadi ‘dengannya’ dengan gamblang. Dengar ya, aku sudah bosan dengan rahasia-rahasia tidak masuk akal kalian. Katakan saja bagaimana hal ini akan berlanjut dan bagaimana cara mengakhirinya, itu saja.“ Rheinberg kemudian duduk di sebuah benda berbulu yang memiliki sudut siku-siku di pojok ruangan. Sofa.
“Baiklah. Penjelasannya singkat saja. Dia adalah satu-satunya keturunan yang tersisa dari  keluarga Frosthill yang telah bersumpah untuk merelakan diri sebagai penjara ‘sang ratu’ dan tentu saja meskipun kami sudah menyegel sebagian besar kekuatannya, gejala-gejala aneh dan sedikit kebocoran masih mungkin terjadi. Tapi pada dasarnya kau tidak perlu khawatir ia akan lepas kendali seperti waktu itu karena…” Saymen tiba-tiba memegangi kepalanya.
“Ada apa?“ Tanya Rheinberg.
“Red.“ jawab Saymen. “Ia mengirimkan sinyal-sinyal menyebalkan ini untuk menggangguku.“
“Red? Tidak mungkin. Dia sudah kukurung dengan ratusan segel dimensi buatanku sendiri. Tanpa kekuatan yang setara dengan ‘sang ratu’, ia takkan mungkin bisa menembus segel-segel itu.“ kilah Fiona.
“Setan keparat itu bisa lepas dari penjaranya? Sial, kekuatan macam apa yang ia miliki selama ini?“ umpat Rheinberg.
“Red adalah pria yang terobsesi untuk menemukan sumber kekuatan alam semesta, dengan kata lain mencari kekuatan Tuhan dan menguasainya, yang mana hal itu takkan mungkin berhasil ia lakukan. Tapi ia benar-benar menjadi duri yang sangat mengganggu bagi kami para penjelajah waktu.“ terang Saymen.
“Sial! Andai saja aku tahu cara untuk membunuhnya…Aku khawatir kalau suatu saat dia akan menemukan apa yang ia cari selama ini dan menghancurkan kita semua,“ tambah Fiona.
Apa-apaan ini? Kata-kata mereka terasa familiar di telingaku, tapi apa maksudnya semua ini? Siapa orang-orang berpakaian mengkilat itu? Selama beberapa saat mereka terlibat percakapan serius, hingga si pria berpakaian perak menghilang dalam sekejap mata diikuti temannya yang berjalan menuju pintu, namun tiba-tiba juga menghilang sebelum pintu tersebut sempat dibuka.
“Keparat. Percuma saja mereka kuberi kunci pintu kantorku,” gerutu Rheinberg. “Asal jangan tiba-tiba muncul saat aku sedang di WC saja sudah bagus.”
Rheinberg meraih sebuah bungkusan aneh yang tergeletak di atas meja dan berjalan keluar. Aku mengikutinya berjalan dari belakang hingga ia berhenti di depan gerbang gedung. Seorang pria berseragam rapi kemudian menghampirinya.
“Anda ingin berjalan-jalan, pak?” sambut pria itu ramah.
“Tidak. Aku ada urusan dengan Trisha, maksudku Fiona. Tolong kau jaga kantor ya? Oh, ya. Jangan lupa kau cari Franc dan suruh dia pulang. Anak itu selalu saja merepotkanku. Terakhir dia bersembunyi di bawah jembatan selatan, entah apa yang sedang dia kerjakan.”
“Baik, pak.” Pria berseragam tersebut kemudian bergegas menuju arah selatan.
Aku masih mengikuti Rheinberg sampai ke sebuah gedung lain yang nampak lebih kecil dan tidak terawat. Warna temboknya kusam dan banyak sekali terdapat tulisan dan gambar-gambar aneh. Aku berusaha membaca salah satu coretan di tembok tersebut. Ah, percuma. Aku bahkan tidak tahu huruf-huruf apa saja yang ada di tulisan tersebut. Sepertinya aku benar-benar tidak ingat apapun, setidaknya sebagian besar dari apa yang seharusnya bisa kuingat menghilang begitu saja dari kepalaku.
Seorang wanita keluar dari dalam gedung beberapa saat setelah Rheinberg mengetuk pintu. Ibu gadis kecil yang tadi. Aneh, suara mereka menjadi semakin samar, padahal aku berdiri tepat di hadapan kedua orang tersebut. Sebuah sensasi aneh muncul ketika pandanganku mulai meredup. Rasanya seperti seluruh isi tubuhku tertarik keluar selama beberapa saat, kemudian sebuah hempasan kuat membuatku berdiri kaku. Setelah itu, segalanya menjadi gelap. Apa yang terjadi?
“Maaf Seph, tapi proyeksi ini harus aku hentikan…Aaakh!” tiba2 terdengar suara Laurell entah dari mana datangnya.
“Hahahahahaha, menarik juga. Jadi kau mau mencoba membalikkan efek time void dengan cara rendahan seperti ini?” terdengar suara seorang wanita lain.
“Cherry! Mau apa kau kemari?”
“Hmmm, ternyata kau menyuguhkan proyeksi yang cukup menarik juga. Apa dia sudah sampai pada saat Fiona mati terbunuh?”
“Hei! Apa maksudmu? Lagipula apa yang terjadi? Aku tidak bisa melihat apa-apa!” aku berteriak histeris.
“Jangan berisik! Aku sedang ada urusan dengan kawanmu. Kau diam saja, mengerti?”
Wanita itu seakan mendengus tepat di wajahku. Sesaat kemudian, sebuah cahaya kemerahan berpendar dari kejauhan dan berjalan cepat menuju ke arahku. Cahaya tersebut semakin mendekat seolah- olah menembus dan membakar mataku. Rasanya sakit sekali. Sebuah sensasi ribuan jarum merambat di bola mataku, seakan dalam tiap ujung jarum tersebut diselipkan api yang membara. Aku terjatuh dan berguling-guling, atau setidaknya itulah yang kupikir sedang kulakukan karena keadaan gelap gulita dan aku hampir tidak dapat merasakan tubuhku selain rasa sakit ini.
“Ahahahahahahahah! Maaf, tadi itu aku cuma iseng. Nah, sembari kau menunggu urusan kami selesai, bagaimana kalau kau nikmati saja lanjutan dari proyeksimu yang tadi?”
Terdengar suara tangan dijentikkan dan cahaya merah yang tadi menyambar kini semakin membesar. Cahaya itu kini menyelimuti tubuhku dan berganti dengan cahaya putih yang menyilaukan. Sesaat kemudian segalanya kembali seperti semula, tepat beberapa saat sebelum proyeksi tersebut terhenti.

***

“Ah, bukannya aku menakut-nakutimu. Tapi urusan ini agak sedikit berbahaya. Kau paham, kan? Aku hanya tak ingin kau terluka saja,” ujar Rheinberg dengan senyum yang sedikit dipaksakan.
“Ya, aku paham, sih. Tapi dia masih anak-anak. Apa tidak apa-apa nantinya? Lagipula wanita itu kan…”
“Semua itu sudah kami atur. Kami juga sudah menjamin keselamatanmu apabila hal-hal buruk terjadi. Ritual semacam ini sudah jadi tradisi turun temurun setiap dua ribu tahun sekali yang sangat penting demi kelangsungan kota ini, tidak, bahkan benua ini. Tentu saja mau tidak mau kita harus melaksanakannya.”
“Baiklah, aku mengerti, Rheinberg. Kau jaga dirimu baik-baik ya,” wanita itu kemudian memeluk Rheinberg, mengecup keningnya dan berjalan menuju kereta yang telah menunggu di dekat situ beberapa saat sebelumnya.
“Sifat keibuan manusia memang sangat menarik. Kadang-kadang aku merasa iri dengan kehidupan bangsamu yang saling melengkapi satu sama lain,” Saymen tiba-tiba muncul entah dari mana.
Rheinberg nampak sedikit tercengang, namun kemudian berusaha menetralkan kembali ekspresinya.
“Ah, aku benar-benar tidak paham dengan cara berpikir kalian. Sampai matipun aku takkan pernah bisa mengerti cara berpikir makhluk-makhluk yang lahir entah dari mana dan hidup sampai ribuan tahun. Terkadang hal itu terdengar menakjubkan, namun juga terkadang membuatku iba. Terlahir sebagai makhluk tanpa ibu, kemudian menjalani kehidupan yang nyaris abadi tanpa tempat yang dapat disebut kampung halaman. Ironis sekali,”
“Memang begitulah cara kami hidup. Mungkin satu-satunya orang yang masih mengetahui asal-usul kami hanyalah Red. Tapi pria itu terlalu berbahaya untuk dibiarkan bebas. Biarlah teka-teki kehidupan kami tenggelam di kegelapan bersama pria terkutuk itu. Aku tak peduli,” jawab Saymen.
“Mungkin karena kau telah menganggap dunia ini sebagai rumahmu, sehingga kau rela mempertahankannya meskipun itu berarti kau kehilangan petunjuk untuk menemukan arti hidupmu?”
“Entahlah. Hampir semua kawan-kawanku mati dalam pertempuran melawan setan itu, sedangkan yang selamat jiwanya digerogoti oleh kegelapan atau menyepi di suatu tempat, mencoba melarikan diri dari kenyataan pahit bahwa kita telah ditakdirkan untuk musnah. Setelah pria itu menghancurkan semua harapan kami, ya, hanya bumi inilah satu-satunya tempat yang bisa kusebut rumah.”
“Hmmm, sepertinya aku semakin memahami kehidupan kalian. Maaf kalau tadi kata-kataku sedikit lancang. Ngomong-ngomong, di mana Fiona?” tanya Rheinberg.
“Aku sudah siap, pak tua. Kita mulai saja ritualnya atau bagaimana?” Fiona muncul namun tanpa pakaian yang mencolok seperti Saymen, hanya blus sederhana bermotif bunga-bunga putih dan rok hitam selutut. Penampilannya sangat mirip dengan wanita tadi, bahkan sekilas tak terlihat perbedaannya sedikitpun.
Mereka kemudian masuk ke dalam sebuah bangunan sambil memperhatikan sekitar dengan seksama. Aku benar-benar penasaran dengan gerak-gerik mereka yang begitu mencurigakan. Di dalam tempat tersebut terdapat sebuah benda panjang dan tipis yang disangga oleh empat batang kayu. Kasur. Di atas benda tersebut terbaring anak aneh yang kutemui tadi. Apa yang terjadi?
“Aku sudah memerintahkan prajurit untuk menjaga tempat ini. Tak ada yang dapat keluar-masuk tanpa sepengetahuanku dalam jarak dua puluh meter. Nah, Fiona, sekarang silahkan lakukan apa yang harus kau lakukan.”
“Penjagaanmu itu sia-sia pak tua. Tapi terserahlah, asalkan kau merasa tenang. Aku juga paham dengan perasaanmu.”
“Kalau kau paham dengan perasaanku, diam dan lakukan pekerjaanmu,” jawab Rheinberg kesal.
Fiona kemudian memegangi kepala sang gadis, lalu memejamkan matanya. Dalam sekejap, seluruh ruangan berubah putih dan muncul hawa dingin yang kuat dari arah gadis tersebut. Mata sang gadis pun perlahan terbuka.
Fiona...Akhirnya kita bertemu lagi. Masih merindukanku?” Suara sang gadis kecil berubah parau dan menyeramkan.
“Diam kau. Jika kau tidak berulah seperti dua ribu tahun lalu, aku akan melepas sedikit segel-segel penyiksa itu. Paham?”
Hahahahah! Memangnya Aku peduli? Sebentar lagi anak-anakku akan datang kemari dan menyelamatkanku! Tinggal dua puluh tahun lagi dan akan kuhancurkan  dunia kecilmu ini!
“Tidak akan terjadi selama aku masih di sini, Magisa.”
Hahahahahahah! Kau payah juga. Apa kau belum menyadarinya hah? Sini biar kuberi tahu. Bintang-bintang sumber kekuatanku sekarang sedang berkumpul, ditambah lagi, wanita itu juga datang tepat pada waktunya! Anak-anakku memang cerdas! Hahahahahah!” gadis itu menunjuk ke arahku. Apa-apaan ini?
Fiona memandangi pojok ruangan di mana aku berada. Meskipun dia tidak dapat melihatku, tapi sepertinya ia paham dengan perkataan sang gadis.
“Apa-apaan ini? Mereka melakukan proyeksi terlarang! Tapi bagaimana bisa?”
Sepertinya dua puluh tahun lagi keadaan kalian tidak sebaik sekarang, Fiona. Akuilah saja, cepat atau lambat kau akan mati dan akulah yang akan memimpin anak-anakku menuju dunia abadi!”
“Dunia abadimu itu Cuma omong kosong! Kau takkan pernah menemukan Ayah dengan cara seperti itu! Dasar jalang!”
“Oh, kita lihat saja siapa yang jalang! Hahahahahah!”
Gadis tersebut kemudian menatapku. Sebuah sinar merah memancar dari tubuhku dan seakan sinar tersebut terserap oleh sang gadis. Ia lalu mengayunkan tangannya ke arah Fiona dan seketika wanita itu terhempas ke tembok.
“Ugh! Dari mana kau bisa mendapatkan kekuatan sebesar itu?”
Rheinberg yang sejak tadi terkesiap melihat kejadian tersebut langsung bereaksi dan menghantam tubuh sang gadis kecil. Namun, belum sempat pukulannya mendarat, ia terpental kuat hingga menembus tembok.
Para penjaga yang melihat kejadian tersebut segera memenuhi ruangan. Namun tak lama setelah itu, sang gadis terkekeh sambil mengayunkan tangannya ke udara.
Sebuah cahaya menyilaukan memenuhi ruangan dan tiba-tiba ribuan jarum-jarum kecil beterbangan menembus tubuh para prajurit. Tak hanya sampai di situ. Ia kemudian merapalkan sesuatu yang membuat jarum-jarum tersebut memipih seperti pisau lalu menari-nari dan menimbulkan suara yang mengiris telinga. Dalam sekejap, hanya tersisa onggokan besar daging, tulang dan darah di lantai. Rasanya aku ingin muntah.
“Fiona, kau tidak apa-apa?” Saymen tiba-tiba muncul di hadapan Fiona, “maaf aku terlambat menyadari kalau ada sesuatu yang terjadi di sini. Maafkan aku.”
Oh, Saymenku yang tampan. Lama tidak bertemu, anakku, ah...bukan, ‘mantan anakku’ yang dulu paling kusayangi. Lihatlah, sebentar lagi aku akan bebas dan melepaskanmu dari cengkeraman wanita jalang itu,” sang gadis bersikap lemah lembut namun dengan ekspresi yang terlalu dibuat-buat.
“Diam kau! Darimana kau bisa mendapat kekuatan seperti itu, hah?!” bentak Saymen.
Oh, kau tak perlu tahu. Yang penting sekarang minggirlah. Aku ada urusan dengan nenek tua itu.”
Saymen kemudian mengeluarkan dua bilah pedang dari telapak tangannya.
“Tidak. Akulah yang akan berurusan denganmu.”
Ia kemudian melesat ke arah sang gadis dan mengayunkan kedua pedangnya. Namun sebuah cahaya putih menyilaukan kembali memancar dan menyelimuti tubuh Saymen. Ia mengerang kesakitan seolah-olah tubuhnya ditikam oleh ribuan pisau. Meskipun berada dalam keadaan seperti itu, ia berhasil menancapkan salah satu pedangnya tepat di dada sang gadis. Cahaya itu pun lenyap dan sang gadis kembali tergeletak tak berdaya.
“Maafkan aku, nak. Takdir memang kejam kepadamu. Tapi apa boleh buat, harus ada satu orang yang menanggung semua beban ini. Selamat tinggal,” Saymen kemudian mengangkat pedangnya dan bersiap memenggal kepala sang gadis. Ah, aku tak sanggup melihatnya.
Tak disangka, pedang yang diayunkan ke arah leher gadis itu malah patah dan hancur berantakan. Saymen berdiri terpaku seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Hahahahahahahah! Sekarang kau mau apa? Membunuhku pun kau tak sanggup!" Gadis itu kembali bangkit dan kini ia berdiri di atas ranjang dan perlahan melayang di udara. Dari tangannya muncul hembusan angin yang amat kencang disertai serpihan-serpihan es tajam yang berkelebat ke segala arah.
Dalam sekejap seluruh ruangan telah tertutup oleh salju dan es yang berwarna merah karena tercampur dengan darah. Aku tak mengerti apa yang terjadi karena badai barusan membuat segalanya kacau. Anehnya lagi, aku sangat yakin kalau hembusan angin tadi benar-benar terasa sampai ke arahku, sehingga aku harus memalingkan wajah.
Kini segalanya berubah hening. Saymen masih berdiri dengan tubuh tertutup salju, sedangkan sang gadis telah terkapar di lantai. Fiona, perempuan yang mirip dengan ibu sang gadis berdiri di hadapannya, dengan tangan yang berlumuran darah dan wajahnya terlihat kosong tanpa ekspresi.
"Saymen," panggilnya.
"Maafkan aku Fiona. Aku memang lemah dan tidak berguna," jawab Saymen.
"Jangan sedih anakku. Suatu saat kita pasti bisa bertemu kembali."
Aku agak sedikit kurang memahami apa yang terjadi saat ini, tapi secara samar-samar aku melihat sebuah asap berwarna kebiruan muncul dari mulut Fiona dan merasuki tubuh sang gadis. Saymen, sang pria berambut hijau yang sejak tadi terlihat kuat dan pemberani kini terisak. Entah apa yang wanita itu lakukan, tapi Saymen nampak sangat terpukul. Beberapa detik kemudian, Fiona jatuh tersungkur tak sadarkan diri. Apakah dia mati?
Rheinberg tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan nafas terengah-engah. Wajahnya penuh luka dan lengan kirinya nampak patah.
"Keparat! Jalang itu menghempasku dari lantai empat! Untung saja aku tidak mati! Hei..." Rheinberg terdiam setelah ia melihat apa yang terjadi.
"Fiona mengorbankan dirinya demi ritual ini," ujar Saymen.
"Sekarang aku tak punya siapapun untuk meyakinkanku bahwa aku melakukan hal yang benar," sambungnya.
"Hei, Saymen. Aku turut berduka atas kehilanganmu. Tapi kurasa ini adalah keputusan yang tepat. Seandainya Magisa kembali merajalela di dunia ini, mungkin takkan ada yang tersisa lagi dari dunia ini selain kepedihan tanpa akhir."
"Mungkin kau benar. Mungkin ini adalah pilihan terbaik. Tapi seandainya aku bisa lebih kuat, seandainya aku bisa membunuh Magisa, Fiona pasti takkan perlu melakukan hal ini. Kau tahu sendiri kan, yang ia lakukan itu lebih buruk dari kematian."
Apa maksudnya? Aku tak paham.