Pages

Friday, January 21, 2011

Vandalha Chapter 5

Warchief & Val:
Elegi Medan Pe(rang)mbantaian

“Apa yang kau cari dari negeri tandus
berladang duri dan bangkai orang mati?
Apa yang kau cari dari kejayaan semu
setelah menaklukkan negeri orang miskin
dan orang tinggal tulang?
Apa yang kau cari wahai pahlawan perang
Ceceran darah di baju zirahmu kah
atau
hanya sekedar senyum dan elu-elu tawa riang rakyat jelata
mengagumi patung emasmu
dan tengkorak yang berjajar di dadanya?“


Warchief semakin kewalahan menghadapi para Stalker yang kini mengganas setelah melihat banyak prajurit yang terkapar tak terurus di tanah. Naluri hewan yang begitu kuat mendorong mereka untuk segera mengakhiri perang dan memangsa prajurit-prajurit malang tersebut. Sungguh sebuah pemandangan yang membuat siapapun miris, tak terkecuali Warchief yang meskipun telah ribuan kali melalui berbagai peperangan masih dapat merasakan kepedihan saat ia kehilangan orang-orang yang ia cintai. Sungguh harga yang terlalu mahal yang harus dibayar untuk melindungi negeri yang telah menghidupi ratusan ribu orang ini.
Warchief dan pasukan penahan masih menahan gelombang serangan dari luar sementara Jesse tengah bertarung melawan ‘Beedhes’ dibantu oleh Rosso. Gesekan pedang diantara mereka menimbulkan gema yang menggetarkan tanah di sekitarnya.
“Jesse, aku tahu mungkin ini waktu yang kurang tepat, tapi bisakah kau ceritakan sedikit tentang pria raksasa yang sedang kita hadapi ini?“ tanya Rosso di sela-sela pertarungan mereka.
“Dia adalah temanku yang berkhianat atau mungkin entah apa yang merasukinya sampai dia bertarung untuk makhluk-makhluk jelek itu. Tapi yang jelas, dia adalah ancaman untuk pasukan kita dan harus segera dimusnahkan. Kau takkan ingin tahu kekuatan apa yang disimpannya selama ini. Bahkan Dhartu, pria terkuat di sini, diam-diam takut dengannya.“ jawab Jesse.
“Lalu di mana Dhartu sekarang?“ tanya Rosso lagi.
“Dia sudah mati. Tewas dibunuh makhluk-makhluk keparat itu.“
“Oh, maafkan aku,“ ujar Rosso.
“Tidak usah dipikirkan. Ngomong-ngomong, di mana Val?”
“Entahlah. Tadi dia sedang ke barak paramedis untuk memeriksa seseorang yang terluka parah,“ jawab Rosso. Namun belum sempat ia berkata apapun lagi, sebuah batu besar melesat ke arahnya.
Nampaknya mereka mengacuhkan beedhes terlalu lama dan membuatnya berang. Ia pun berteriak dan menghantam Jesse dengan tamengnya hingga membuat Jesse terpental beberapa meter. Rosso yang berusaha menolongnya dihadang oleh segerombolan Stalker yang memegangi lengannya. Sementara itu, Beedhes merangsek maju dan berdiri tegak dengan wajah penuh kebencian di hadapan Jesse. Hantaman demi hantaman mendarat di tubuh tak berdaya pria malang itu. Saking kerasnya hantaman tersebut, setiap kali Beedhes melancarkan serangan tanah di sekitarnya berderak dengan kencang. Anehnya, Jesse seakan tidak merasakan apapun. Ia hanya tersenyum dan membalas hantaman Beedhes dengan tatapan tajam.
“Hahahahah! Ternyata kau memang bukan Beedhes. Dia sudah mati!” Jesse tersenyum. “Aku tidak peduli siapa dirimu, tapi kuingatkan satu hal. Sekuat apapun tubuh yang kau pinjam atau kau curi itu, kau takkan pernah bisa menandingi kekuatan Beedhes yang asli!“
Beedhes menjadi semakin berang. Ia kembali berteriak dan kali ini teriakannya jauh lebih keras dari sebelumnya. Sebuah serangan penghabisan siap ia lakukan.
Tiba-tiba sebuah angin kencang berhembus dan menghempas Beedhes hingga membuatnya terhuyung. Angin itu menghembus dirinya beberapa kali hingga ia mengamuk dan berteriak keras. Ia mengayun-ayunkan tangannya dengan kalap untuk menghalau angin yang menerpanya, namun gagal. Angin itu terus menghempasnya hingga ia menabrak sebuah tembok. Tekanan yang ditimbulkan angin tersebut sangat kuat sehingga ia seakan tertahan di tembok tersebut dan tidak mampu bergerak.
Jesse yang terkesiap melihat kejadian tersebut segera tersadar dari rasa kagumnya dan mulai menyadari sebuah kesempatan yang terbuka lebar. Beedhes tidak berdaya! Ia kemudian melompat dengan cepat ke arah Beedhes sambil mengayunkan pedangnya. Pedang tersebut kini hanya tinggal beberapa puluh senti dari leher Beedhes.
“Tunggu!” teriak seseorang dari kejauhan. Val. “Jangan bunuh dia!” teriaknya lagi.
Jesse yang hanya tinggal sejengkal lagi dari membunuh Beedhes menoleh ke arah suara tersebut.
Val berjalan bersama seorang pria aneh berpakaian perak yang mengangkat tangannya setinggi dada, seakan ia sedang menggenggam sesuatu di tangannya.
“Val. Ada apa ini?” tanya Jesse penasaran. Ia menatap sang pria berpakaian perak dengan curiga. “Apa kau yang menahan Beedhes dengan angin itu?” tanya Jesse lagi berspekulasi, melihat penampilan pria tersebut yang sangat tidak wajar.
“Kau benar. Sepatu Galewhistler milik Red ini mampu mengendalikan tekanan dan suhu udara dan mengkonsentrasikannya sebagai tekanan kuat yang bisa dikendalikan dengan leluasa sebagai hempasan angin,” terang pria tersebut panjang lebar. Jesse hanya bisa mengernyitkan dahinya.
“Namanya Saymen. Dia datang dari mana aku juga tidak tahu dan dia juga tidak mengatakannya. Tapi kau lihat sendiri dia bisa melakukan sihir hebat seperti itu,” sambung Val enteng.
“Mungkin dia datang dari Slopherm. Aku pernah melihat beberapa orang penyihir yang bisa melakukan hal semacam itu di sana,” sela Rosso yang dengan susah payah berjalan menghampiri mereka setelah berhasil menghabisi para Stalker yang menghadangnya.
“Tidak penting dari mana asal pria aneh ini, tapi apakah dia benar-benar ingin membantu kita?” tanya Jesse lagi.
“Jangan khawatir. Aku juga memiliki beberapa misi di tempat ini, dan salah satunya adalah mengusir makhluk-makhluk yang menyerang kalian,” jawab Saymen. “Dan soal kawan besarmu itu, aku bisa mengembalikannya seperti semula.”
Jesse kembali terkejut. Seorang pria dengan penampilan aneh dan kemampuan yang aneh pula tiba-tiba muncul dan mengatakan bahwa ia mampu mengembalikan  makhluk yang mirip Beedhes kembali menjadi Beedhes. Benar-benar tidak masuk akal! Pikir Jesse.
Ia kemudian menampar wajahnya sendiri dan mengerang kesakitan. Val menatap Jesse dengan heran. Ia mengangkat bahunya dan geleng-geleng kepala.
“Aku hanya memastikan,” kilah Jesse.
“Entahlah. Sejak tadi keanehan-keanehan terus terjadi dan kau masih belum percaya kalau semua ini bukan mimpi?”
“Sudah kubilang, aku hanya memastikan.”
“Ng, sepertinya kita kita kedatangan tamu, kawan-kawan,” sela Rosso.
Kepulan asap tebal muncul dari arah gerbang timur. Nampak segerombolan Stalker sedang menuju arah mereka dengan cepat.
“Lagi? Kita sudah kehilangan banyak pasukan dan mereka masih berdatangan lagi?” komentar Jesse dengan nada frustasi.
“Tenang. Biar aku saja yang menghadapi mereka,” tanpa basa-basi Saymen berdiri tegap menghadang gerombolan tersebut. Ia kemudian mengangkat tangannya keatas dan merapalkan sebuah mantra. Dalam sekejap muncul sebuah pusaran putih di hadapannya. Pusaran tersebut awalnya hanya sebesar manusia, namun kemudian membesar hingga menyelimuti semua orang yang berada di situ, dan terus membesar hingga menyelimuti seluruh kota. Val, Jesse, Rosso, dan semua orang yang menyaksikan kejadian tersebut terpana melihat fenomena yang belum pernah mereka lihat sebelumnya itu.
Para Stalker yang ketakutan melihat pusaran tersebut berlarian menyelamatkan diri dan meninggalkan kota, seakan mereka pernah menghadapi kekuatan itu sebelumnya dan tidak ingin mengalaminya lagi. Wajah-wajah mengerikan tersebut berubah menjadi segerombolan penakut yang berlari tunggang langgang menyelamatkan diri mereka masing-masing. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat aneh, langka, dan menakjubkan.
Hanya dalam beberapa menit, seluruh ruas jalan telah bersih dari gerombolan Stalker. Setelah gerbang berhasil disegel, para prajurit bersorak riang. Mereka telah berhasil menahan makhluk-makhluk tersebut dengan susah payah dan akhirnya berhasil mengusir mereka meskipun mereka tak tahu menahu apa yang sebenarnya terjadi. Sementara Saymen masih berdiri tegak dan memandangi sepatunya yang berubah menjadi semakin kemerahan.
“Luar biasa, kau melakukan semua ini seorang diri bahkan tanpa mengeluarkan keringat setetes pun. Siapa sebenarnya kau ini?” Val nampak tercengang dengan kehebatan kawan barunya itu.
“Aku cuma seorang pengembara yang kebetulan melintas. Nah, karena sekarang hutang budiku kepada kalian sudah terbayar lunas, aku pamit dulu.“ jawab Saymen.
“Hei, Jangan terburu-buru seperti itu. Aku masih penasaran dengan…” belum sempat Val berkata apapun lagi, Saymen telah menghilang tanpa bekas. Semua yang berada di tempat itu nampak kebingungan dengan kejadian aneh yang terjadi begitu cepat sehingga membuat mereka tidak sempat berpikir.
“Kawanmu itu aneh sekali,” komentar Jesse sambil menepuk pundak Val.
Seluruh pasukan kemudian berjalan kembali menuju pos mereka masing-masing, seakan tak terjadi keanehan apapun. Mereka terlalu lelah untuk memikirkan hal-hal selain mempertahankan kemenangan yang datang secara tiba-tiba ini.

***


Warchief masih berdiri dengan dua buah kapak raksasa di kedua tangannya. Ia memandangi lekat-lekat pintu gerbang yang berjarak seratus meter dari tempatnya berdiri, seolah-olah masih khawatir jika para Stalker datang kembali.
“Ini aneh. Sedetik yang lalu aku masih asyik membacok kepala monster ganas yang tidak takut mati, tapi sekarang tiba-tiba mereka semua lari ketakutan hanya karena angin kecil seperti itu? Gila!” gerutu Warchief.
“Sudahlah, pak tua. Kau ini bukannya bersyukur kita tidak perlu capek-capek melawan mereka, malah menggerutu tidak jelas seperti itu,” celetuk Kravitz.
“Jangan berisik, kau! Mau kusumpal mulutmu dengan kapak ini hah?” Warchief mengacungkan salah satu kapaknya. “Dari pengalamanku berperang ratusan kali, tidak pernah ada musuh yang lari tunggang langgang tanpa sebab seperti itu, apalagi mereka sedang dalam posisi yang menguntungkan. Pasti ada sesuatu yang tidak beres!”
“Ah, terserah kau sajalah. Aku kembali ke pos dulu ya. Jatah makanku tadi pagi belum sempat kumakan,” jawab Kravitz santai.
Warchief kembali mengerutu tidak jelas sambil mengacungkan kapaknya, tapi Kravitz tidak mempedulikan hal itu dan tetap berjalan.
“Dasar tua bangka. Bisanya cuma mengomeeel saja. Kudoakan bair kau cepat mati.”
“Hei, kau bilang apa tadi? Sini biar kuhajar mulut besarmu itu!” Warchief kemudian berlari mengejar Kravitz.
“Wow, larimu cepat juga. Ampun, pak tua! Sini kejar aku kalau bisa! Ahahahahah!”
Secara mengejutkan, tubuh gempal Warchief sanggup bergerak sangat cepat sehingga hampir saja ia berhasil menangkap Kravitz. Mereka berlari hingga sampai di gerbang timur, namun tiba-tiba berhenti karena mendengar suara gaduh dari balik gerbang.

***